Senin, 02 April 2012

SIWA TATTVA
•BAGIAN I
•SUMBER SIWA TATTWA
•A.    BHUWANA KOSA
B.WRHASPATI TATTVA
C.GANAPATI TATTVA
•D.  SANGHYANG MAHA JNANA
•E.  TATTVA JNANA
F.JNANA SIDHANTA




•TUHAN DALAM SIWA TATTWA
A.PENGERTIAN UMUM
  DALAM SIWA TATTWA TUHAN DISEBUT SANG HYANG WIDHI WASA – SANG HYANG TITAH (BHS.BALI). SEBUTAN SANG HYANG WIDHI TIDAK DITEMUKAN DALAM LONTAR-LONTAR YANG ADA DI BALI, YANG ADA ADALAH BETARA SIWA. DI BALI BETARA SIWA ADALAH SEBUTAN DARI SANG HYANG WIDHI DAN SEBUTAN INI SANGAT POPULER DAN SANGAT DI AGUNGKAN OLEH MASYARAKAT BALI.
DALAM SASTRA HINDU INDONESIA AJARAN TSB DIATAS DISEBUT SEBAGAI AJARAN SAIVASIDDHANTA. NAMA INI MENGINGATKAN KITA KEPADA NAMA SAIVA SIDDHANTA DI INDIA SELATAN. NAMUN BILA DIAMATI TERDAPAT PERNEDAAN PERBEDAAN ANTARA SAIVASIDDHANTA INDONESIA DENGAN SAIVASIDDHANTA INDIA.

Ajaran Ketuhanan dalam Veda mengajarkan bahwa Tuhan adalah Esa, namun ia meliputi segalanya, mempunyai banyak nama. Dalam Rg.Veda I–164.46 disebutkan sebagai berikut:
Indram, mitram, varuna agnim, ahur, atho, divyah, sasuparno, garutman - Ekam sad vipra bahuda vadantyagnim yamam matarisvanam ahuh
Artinya:
Mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni, dan Dia yang bercahaya, yaitu Garutman yang bersayap elok. Satu itu (Tuhan), sang bijaksana menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama Matarisvan.




Dalam Lontar Jnanasiddhanta Tuhan dinyatakan
sebagai berikut:

Sa eko bhagavan sarvah, siva karana karanam
Aneko viditah sarvah, catur vidhasya karanam

Ekatwanekatwa swalaksana bhatara, ekatwa ngaranya, kahidep makalaksana ng Siwatattwa. Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepanire, mangelaksana siwa karana juga, tanpaprabheda. Aneka ngaranya kahidepan bhatara makalaksana cathurda, caturdha ngaranya laksananiram sthuta suksme parasunya.


Berdasarkan etimologi istilah Siwa Tattwa terdiri dari dua kata yaitu Siwa dan Tattwa. Kata Siwa berasal dari bahasa Sansekerta yang dalam bentuk ajektivenya berarti mulia, dan dalam bentuk noun masculinenya bermakna dewa atau tunau. Sedangkan istilah Tattwa juga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti intisari kebenaran yang sejati. Dengan demikian istilah Siwa Tattwa berarti intisari kebenaran yang sejati daripada Tuhan atau yang disebut pula filsafat ke-Tuhanan atau Widhi Tattwa.

Dalam sudut pandang filsafat, dengan pengaruh maya terhadap Cetana, maka ia akan menjadi tiga wujud disebut Tri Purusa, yaitu :
qParama Siwa (Tuhan dalam keadaan Nirgunam atau Nirgunam Brahman),
qSada Siwa (Sagunam Brahman atau Tuhan dalam keadaan Sagunam) dan
qSiwatma (Tuhan dalam pengaruh maya menjadi jiwa semua makhluk).

Perbedaan wujud seperti tersebut di atas bukan mengandung arti politheis, karena inti pokoknya tetap tunggal namun di golongkan menjadi tiga wujud sedemikian itu ialah karena didasarkan atas sifat, fungsi, dan aktivitas tertentu sebagai akibat ada tidaknya pengaruh maya itu. Pada hakikatnya Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwatma itu adalah tunggal, ada nya perbedaan berupa tiga wujud itu semata-mata karena adanya pengaruh maya.

 Parama Siwa Tattwa
Parama Siwa adalah Tuhan yang belum kena pengaruh maya, ada dalam keadaaan tenang, tanpa aktivitas, kekal abadi, tiada berawal dan berakhir, ada dimana-mana, maha tahu dalam keadaan seperti ini beliau diberi gelar Nirgunam Brahman. Dalam hubungan ini perhatikanlah sloka berikut:
qApremeyam anirdesyam anaupamyam, suksmam sarwagatam nityam dhruwam awyayam Iswaram. Aprameyam anantatwad anirdesyam alaksanam, anaupamyam anadrsyam wimalatwad anamayam. Suksmanca anupalabhatwad wyapakatwacca sarwagam, nityakarena sunyatwam acalatwacca tad dhruwam. Awyayam paripurnatwad saumyabhawam tathaiwa ca, Siwa tattwam idam uktam sarwatah parisamsthitam. (Sudarshana Devi, 7-10, hal 38).


Artinya :
Yang disebut Paramasiwa Tattwa aialah Iswara yang tak dapat diukur, tak dapat diberi jenis, tak dapat diumpamakan, tak dapat dikotori, maha halus, ada dimana-mana, kekal abadi, senantiasa langgeng, tidak pernah berkurang, tidak dapat diukur, karena dia tidak terbatas, tidak dapat diberi jenis, karena dia tak punya sifat, tak dapat diumpamakan, karena tiada sesuatu seperti dia, tak dapat dikotori, karena dia tak bernoda.
Maha gaib, karena dia tak dapat diamati, berada dimana-mana, karena dia menembus dimana-mana, karena dia menembus segalanya, kekal abadi, karena suci dia suci murni, dan selalu langgeng, karena dia tidak bergerak. Tidak pernah berkurang, karena dia maha sempurna, begitu pula keadaannya adalah tenang, inilah Paramasiwa Tattwa yang menempati segalanya.


Dengan memperhatikan sloka di atas, maka dapat dibayangkan mengenai kemahagaiban sifat Paramasiwa itu. Karena kesuciannya, maka tidaklah ada sesuatu yang dapat mempengaruhi beliau, sehingga sangat sukarlah bagi kita untuk membanding-bandingkan dan memberikan pembatasan terhadap wujud beliau. Beliau tidak berawal dan tidak berakhir, tanpa batas, tanpa ada yang mengadakan, tiada terpengaruhi oleh waktu, tempat dan keadaan. Bagaimana mungkin kita membatasi sesuatu yang tidak terbatas, atau mengukur sesuatu yang tidak berukuran.
Sesungguhnya masalah ke-Tuhanan bukanlah masalah yang bersifat material, sehingga dengan demikian sukarlah bagi kita yang hidup atas dasar materi dan serba terbatas ini untuk dapat memberi pembatasan terhadap Tuhan Yang Maha Agung dan serba tak terbatas. Paramasiwa adalah transendental yang berada di luar batas pikir manusia, sehingga dengan demikian beliau tidak dapat dibayangkan karena kemahagaibannya.



Sadasiwa Tattwa
Sadasiwa adalah Tuhan yg telah dikenal oleh pengaruh maya, maka dia mulai memiliki sifta, fungsi dan aktivitas. Tuhan dlm wujud sebagai sadasiwa juga disebut dengan nama Saguna Brahman. Pengaruh maya kepada Sadasiwa berjumlah besar, sehingga kesadaran aslinya masih lebih besar daripada unsur mayanya. Oleh karena itulah Sagunam Brahman juga disebut dengan nama Siwasawyaparah, yaitu Paramasiwa yang telah bersemayam dengan saktinya, sehingga ia dapat melakukan utpeti, stiti dan pralina di alam semesta ini. Sehubungan dgn    itu perhatikan sloka berikut:

“sawyaparah siwah suryan caitta tattwah sadasiwah,
Sapadah saguno wyapi arupatwat pracaryate,
Utpadakona sadhakah tattasyanugraha parah,
Wirocanakaro nityah sarwajnah sarwakrdwibhuh.
(Sudharsana Devi,11-12,hal 38).



Artinya :
Sadasiwa adalah Cetana (Tuhan) yang telah aktif, telah berfungsi dan berkhasiat, suka mengampuni, memberi sinar penerangan, dapat menjadi kecil-sekecilnya, tiada berwujud, dan menjadi pujaan dari semua makhluk. Sebagai pencipta, pelebur, dan pemelihara alam semesta, memberi sinar cahaya, serba tahu, maha karya, ada dimana-mana dan kekal abadi.
Dengan memperhatikan sloka di atas jelaslah Sadasiwa itu tidak lain dari Paramasiwa juga, tetapi Paramasiwa yang telah bersenyawa dengan hukum kemahakuasaannya sendiri, sehingga dapat terlaksana segala yang dikehendakinya. Oleh karena beliau memiliki kesempurnaan dan kemahakuasaan yang memenuhi alam semesta ini, maka beliau diberi bermacam-macam gelar, sebagai Brahma, Wisnu, Rudra, Mahadewa, Sanghyang Widhi dan sebagainya. Berdasarkan atas kemahakuasaan yang tidak terbatas itu, sehingga beliaulah yang menjadi Sangkanparan atau asal dan kembalinya alam semesta dengan segala isinya.


Sesungguhnya Sadasiwa adalah penggambaran Tuhan menurut alam pikiran manusia secara impirisis. Penggambaran Tuhan secara impirisis pada hakikatnya tidak bertentangan dengan pengertian yang diberikan oleh kitab suci demi untuk kepentingan manusia. Penggambaran Tuhan sebagai yang dimaksud itu menyebabkan sifat Tuhan dibawa pada sifat-sifat manusiawi, menurut takaran manusia, sehingga menyebabkan timbulnya gambaran Tuhan secara pantheistis, Tuhan seperti manusia biasa dengan sifat yang lebih.
Dengan penggambaran sebagai manusia yang merupakan gambaran yang paling mudah  menurut manusia, secara abstrak dilukiskan Tuhan sebagai maha mendengar, maha melihat, maha mengetahui, maha pengasih, dan sebagainya yang kesemuanya itu adalah sifat yang didambakan oleh manusia. Penggambaran seperti itu bukanlah merupakan hal yang baru, karena gambaran seperti itu sudah kita jumpai di dalam kitab suci Weda. Kita mengenal Tuhan sebagai Maha Pelindung, sebagai Maha Ada, sebagai Maha Melihat, sebagai tanpa bentuk yang diwujudkan dalam bentuk dewa-dewa.


Kemahakuasaan Sadasiwa antara lain meliputi Guna, Sakti, dan Swabhawa. Guna terbagi dalam tiga sifat mulia, Sakti meliputi empat kekuataan yang disebut Cadusakti dan Swabhawa meliputi dekapan kemahakuasaan yang disebut Astaiswarya.
1.  Guna dari Tuhan (Sadasiwa)
Tuhan sebagai wujud Sadasiwa memiliki tiga macam guna, yaitu Durasrawana, Durasarwajna, dan Duradarsana. Durasrawana ialah dapat mendengar suara yang dekat dan sejauh-jauhnya atau dapat mendengar suara yang keras dan sehalus-halusnya termasuk bisikan hati semua makhluk. Durasarwajna ialah dapat mengetahui segala-galanya, baik yang telah lewat (Atita), sekarang (Wartamana), dan yang akan datang (Nagata). Duradarsana ialah dapat melihat segala sesuatu yang berwujud ataupun yang semu, yang ada ataupun yang akan ada dari semua tingkatan hidup. Dari adanya ketiga sifat mulia itulah beliau disebut Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Ada, dan Maha Sempurna.



2. Saksi dari Tuhan (Sadasiwa)
•Dalam wujud sebagai Sadasiwa itu, Tuhan memiliki empat macam kekuatan yang istimewa yang disebut Cadusakti yang terdiri dari Wibhusakti, Prabhusakti, Jnanasakti, dan Kriyasakti.
•Wibhusakti berarti Maha Ada. Istilah ini dalam sastra kerohanian sering dihubungkan dengan istilah Utaprota yang berarti ada dimana-mana, seperti keberadaan minyak dalam santan dan bagaikan api dalam kayu yang kering.
•Prabhusakti artinya Maha Kuasa, yakni menguasai segala-galanya, tidak ada sesuatu yang menyamai kekuasaannya, segala sesuatu ada di bawah kekuasaannya. Dalam hubungan ini beliau digelari Iswara atau Parameswara..
•Jnanasakti berarti Maha Tahu, Maha Bijaksana, dan dapat mengetahui segala sesuatu yang ada dan yang akan ada. Beliau sebagai sumber segala pengetahuan dan kebijaksanaan.
•Kriyasakti artinya Maha Karya, yakni dapat melakukan segalanya dengan sempurna.


3.  Swabhawa dari Tuhan (Sadasiwa)
Disamping Guna dan Cadusakti, Tuhan dlm wujud sbg Sadasiwa memiliki lagi ke-Mahaadaan atau ke-Mahamuliaan yang disebut Astaiswarya. Astaiswarya dlm bahasa Sansekerta berarti delapan      ke-Mahamuliaan.

Anima
Kata Anima adalah bentuk istilah noun-feminin dalam bahasa Sansekerta yang berasal dari kata anu yang berarti atoom. Dalam hubungannya dengan Astaiswarya, maka istilah Anima dapat diartikan kecil sekecil kecilnya. Jadi Anima sebagai salah satu sifat keistimewaan Tuhan (Sadasiwa) yang mengandung arti bahwa Tuhan dapat mengambil wujud yang sekecil-kecilnya.

Susuksmo wai yatha dehah athulam tyaktwa yathecchaya,
Animan tri sariranca yati tenocyatenima, Awak nira ikang aganal, yateka matemaham malit, Alit ngaranya wenang umajnani ikang ajnana, Masuk metu kadi raray masiluruping wwai, Yeka anima ngaranya. (Sudarshana Devi, 67, hal 68).


Artinya:
Badannya yang besar, jika dikehendaki dapat menjadi kecil sekecil-kecilnya, demikian yang disebut Anima. Badannya yang besar itu dapat menjadi kecil, kecil itu maksudnya bahwa dia dapat menjadi tidak tahunya orang yang bodoh, akan keluar masuk-nya, bagaikan bayi yang berkecimpung dalam air, itulah   yang disebut Anima.
Memperhatikan sloka tersebut di atas bahwa keistimewaan daripada animanya, maka Tuhan dapat meresapi segala sesuatu. Beliau dapat keluar masuk dalam semua benda di alam semesta ini, termasuk dalam diri manusia. Bagi mereka yang bijaksana mengetahui hakikat Tuhan dlm bentuk Anima, tetapi mereka yang bodoh sebaliknya karena diliputi oleh Awidya.



Laghima
Kata laghima adalah istilah yang berbentuk noun feminine dalam bahasa sansekerta dan berasal dari kata Laghu yang berarti ringan. Dalam hubungan dengan Astaiswarya kata Laghima dapat diartikan bahwa Tuhan dapat mengurangi beratnya sendiri sesuai dengan yang dikehendakinya. Beliau dapat menjadikan dirinya lebih ringan daripada udara, sehingga mudah pergi ke segala tempat yang diinginkannya.

Purwam asit gurutwam yat tat tyaktwa mahasaiwa tu,
Tulawallaghu dehah syat swecchaya laghima tatha.
Abwat nikawak nira ri tambayanya, wekasan hadangan kadi kapuk.
Asing saparanira, yang maring swarga, maring sapta dwipa,
Mareng sapta patala, dadi kumulilingi hengning anda bhuwana,
Wisata sakanyun ira pinaran ira, yeka laghima ngaranya.
(Sudarshana Devi, 68 hal 68).


Artinya:
Berat badannya semula, seketika bisa hilang jika dikehendaki, menjadi ringan seperti kapuk, demikianlah yang disebut Laghima. Berat badannya yang semula itu, kemudian dapat menjadi ringan seperti kapuk, segala yang ditujunya, jika ke sorga, ketujuh benua, ketujuh lapisan tanah, dan sukses dalam mengelilingi lingkaran luar alam semesta, serta tercapai dengan baik segala yang ditujunya, itulah yang dinamakan Laghima.


Mahima
Kata Mahima adalah suatu istilah dari bahasa Sansekerta dalam bentuk feminin yang berasal dari kata maha, yang berarti besar, agung, mulia, luhur, utama, dan tersohor. Adapun maksud yang tersimpul dalam istilah itu ialah menerangkan segala macam sifat dan keadaan yg amat besar dan selalu melebihi segala hal.

Nihan tang mahima ngarabya:
Yatraiwa swecchaya gacchet tatra tat swecchawasitam,
Sarwatah pujyate yasman mahima tena procayate,
Umahas sira ring desantara, pihuja sira sinembah wineh sarwa bhoga, Wineh bojana, apan aprabhrti, yeka mahimangarayanya (Sudarshana Devi, 69, hal 69).


  Artinya:
  Inilah yang disebut Mahima, kemana saja hendak pergi, disana juga ia senang berdiam, karena selalu dimuliakan di segala tempat, itulah yang dimaksud Mahima. Berkunjung beliau ke antar daerah, beliau selalu dipuja, dimuliakan dan dipersembahkan aneka macam sesajen dan kenikmatan, oleh karena senantiasa diutamakan, begitulah yang disebut Mahima.


Prapti
Kata Prapti ialah istilah noun feminin dalam bahasa Sansekerta yang berbentuk compositum dari Pra yang berarti sebelum atau terlebih dahulu dan kata Apti (noun feminin) yang berarti pendapatan, manfaat, keuntungan atau hasil. Dalam bahasa jawa kuno istilah ini sering diartikan kedatangan, sampai tercapai. Dalam hubungan dengan astaiswarya istilah prapti mengandung arti serba sukses atau berhasil terlebih dahulu.

Asit tasmat wilasewa adhiwastu gatah bhawet, Nikhila drawya sampraptyai praptir namatra sarwatah, Asing sakahyun ira, irikang sarwa wastu teke juga tan Pinet tan pininta, maka phala sukha ri sira, Irika ta yan bhukti ikang sukna, sangka ri gya niran hentay Phalaning karma, wisata sira, tan kabadha dening phalan ikang Gawe hayu, yeka prapti ngaranya (Sudarshana Devi, 70, hal 69).


  Artinya:
  Segala sesuatu yang telah diingini, seketika ada dengan semestinya, itulah yang dimaksud dengan Prapti. Segala yang dikehendakinya, semuanya itu datang juga dengan sendirinya, tanpa diharap dan diminta hingga dapat menyenangkan dirinya. Bila menikmati kesenangan, oleh karena kebijaksanaannya maka tidaklah terikat dengan hasil perbuatan, sentosalah dia, sebab tidak ada yang memadainya dalam hal berbuat baik. Itulah yang disebut Prapti.


  Prakamya
  Kata Prakamya adalah suatu bentuk ajektif dari kata Prakama (noun masculine) yang berupa compositum dan terdiri dari kata Prama dan Kama (noun-masculinum) yang berarti cinta, ingin, senang, atau sudi. Dengan demikian istilah Prakamya berarti terwujud segala keinginannya.

  Nihan tang prakamya ngaranya;
  Atmanaiwa krtam rupam praptam syattu yadatmana,
  Yateccham yakrtam rupam pramyam samudahrtam.
  Asing sakahyun ira rupan ira, yang hyang, yan manusa,
  Yan tiryak, kapwa ikan dadin ira, pinaka temahan ira,
  Yeka prakamya ngaranya. (Sudarshana Devi, 71, hal 69).


  Artinya:
  Segala sesuatu bentuk yang terbayang dalam keinginannya, juga akan tercapai olehnya, seperti apa yang terwujud dalam pikirannya itu, demikianlah yang disebut Prakamya. Segala wujud yang diinginkannya, berupa dewa, manusia atau berupa binatang, pasti juga demikianlah manifestasinya, itulah yang disebut Prakamya.


Isitwa
Kata Isitwa adalah suatu istilah dari bahasa Sansekerta yang berbentuk ajektif dan berasal dari akar kata kerja ic (is) yang berarti mengatur, memimpin, memerintah, dan merajai. Dalam hubungan dengan Astaiswarya, Isitwa berarti pengatur segalanya. Yang dimaksud disini ialah salah satu sifat Tuhan (Sadasiwa) yang dianggap memiliki sifat sebagai Maha Pengatur.

Brahma wisnwindra-suryasya bhuwana yadyati sada, Dewanukula bhaktyartnam isitwam namehocyate. Yapwan lumaku mameng-ameng mareng kanyangan, wenang  Siran umadeh sanghyang Brahma, Wisnu, Indra, Surya ri kahyangan  Ira, nguniweh ikang watek dewata kaben, apan bhatara mahulun Nana ri sang yogiswara, ya ta matangyan wenang pramana irikang Dewata kabeh, yeka isitwa ngaranya. (Sudarshana Devi, 72, hal 70).


Artinya:
Dia selalu dapat keluar masuk kahyangan dari dewa Brahman, Wisnu, Indra, dan Surya, karena semua dewa-dewa itu tunduk dan bhakti kepadanya. Itulah yang disebut Isitwa. Jika pergi berjalan-jalan ke kahyangan, dia dapat menundukkan dewa Brahma, Wisnu, Indra dan Surya di kahyangannya, apalagi dewa-dewa yang lainnya, sebab sifat pelindung dan penguasa hanya ada pada Tuhan, itulah sebabnya maka dia dapat memerintah para dewa-dewa semua.
Wasitwa
Kata Wasitwa adalah istilah dari bahasa Sansekerta yang berstatus sebagai ajektif dan berasal dari kata Waca (noun masculinum) yang berarti kemahakuasaan.





Yatraiwa yad wasitwam syad wasitwad yatrakamata. Wenang siromuts ikang dewata kaben, dumwanya ri lwiranya, Apan sira maka drewya ikang rat kabeh, Yapwan tan pamituhuri sira, yeka wasistwa ngaranya. (Sudarshana Devi, 73, hal 70).

Artinya:
Berhubung beliau bersifat mahakuasa, dengan kemahakuasaannya itulah tercapai segala yang dikehendaki. Beliau dapat memerintah semua dewa-dewa, serta dihukumnya masing-masing apabila tidak menuruti perintahnya, sebab beliaulah penguasa alam semesta ini, demikianlah yang disebut Wasitwa.


Yatra kama wasayitwa
Kata Yatra kama wasayitwa adalah suatu istilah dari bahasa Sansekerta dlm bentuk compositum yg berstatus ajektive dan terdiri dari kata Yatra, Kama dan Was. Kata Yatra (adverbia) berarti dimana, sedangkan kata Kama (noun masculine) yg berarti Cin.
Kata Was (infinitif kelas 1 transitif) berarti bertempat tinggal atau berada. Jadi pengertian yg terkandung dlm istilah Yatrakamawasayitwa itu ialah apa atau dimana saja yg dike hendakinya, maka seketika itu pula berhasil dan tetap dalam keadaan mahakuasa. Misalnya jika Tuhan (Sadasiwa) ingin mengambil suatu wujud tertentu untuk mengawasi alam semesta berserta isinya, maka seketika itu pula bisa terlaksana dan mahakuasa. Bila diperhatikan data-data tersebut diatas, maka pengertian Yatrakamawasayitwa ini erat sekali hubungannya dengan pengertian yang terkandung dalam istilah Prakamya dan Wasitwa di depan.


Pengertian Yatra kama wasayitwa dalam sloka:
Dehena yatum icchasyad yatrakamawasayitwam. Irika ta siran mangka tawak nira, dumanda ikang dewa, Manusa, tiryak, asing langghana ri sira, yeka yatrakamawasayitwam. (Sudarshana Devi, 74, hal 70).
Artinya:
Yatrakamawasayitwam adalah kehendak untuk pergi dgn wujud tertentu. Disanalah beliau seketika mengambil suatu bentuk tertentu guna menghukum dewa-dewa, manusia, binatang, dan segala yang durhaka padanya.
Sehubungan dengan adanya kemahakuasaan Tuhan (Sadasiwa) yaitu Yatrakamawasayitwa ini, memiliki hubungan yang sangat erat dengan adanya keyakinan terhadap adanya Awatara dalam ajaran Agama Hindu. Awatara adalah suatu perwujudan Tuhan ke dunia untuk menegakkan Dharma dan menghancurkan Adharma. Perwujudan beliau ke dunia ada yang berupa manusia, binatang, dan setengah manusia atau binatang.


Dalam hubungannya dengan Awatara, Wisnu Purana menyebutkan adanya sepuluh Awatara, yakni Matsya watara (seperti ikan), Kurmawatara (seperti kura-kura), Warahawatara (seperti babi), Narasimhawatara (seperti manusia berkepala singa), Wamanawatara (seperti manusia kerdil), Parasuramawatara (seperti seorang Raja bersenjata kapak), Ramawatara (sebagai putra mahkota Ayodya), Krsnawatara (sebagai Raja Dwarawati dan ajarannya tercantum dalam Bhagawad Gita), Budha watara (sebagai putra Raja Kosala dan sebagai tokoh Agama Budha), dan yang terakhir adalah Kalkiwatara (sebagai penunggang kuda putih dengan bersenjatakan pedang). Melalui wujudnya sebagai Awatara itulah Tuhan dapat dikenal langsung dengan sifat cinta kasihnya yang tidak terhingga.


4.  Padmasana dan Mantratma
      dari Tuhan (Sadasiwa)
•Tuhan (Sadasiwa) pada saat menggerakkan hukum kemahakuasaannya atau sakti dan swabhawanya, untuk mengatur keharmonisan alam semesta beserta isinya, secara simbolik beliau dianggap seolah-olah bersinggasana ditengah-tengah kembang teratai yang disebut Padmasana.
•Padmasana adalah bahasa Sansekerta dalam bentuk compositum yang terdiri dari kata Padma dan Asana. Kata Padma (noun masculine) yang artinya teratai, sedangkan kata Asana (noun masculine) berarti sikap atau tempat. Maka dari itu kata padmasana diartikan singgasana kembang teratai.


•Bunga teratai dianggap sebagai salah satu bunga yang suci dalam Agama Hindu. Hal ini kiranya didasarkan kepada suatu logika bahwa bunga teratai itu tumbuhnya di lumpur yang berair, namun bunganya tidak dilekati oleh lumpur dan air itu. Demikian pula tumbuhnya bunga teratai itu ujungnya selalu menjulang ke atas dan daun kelopak bunganya senantiasa menunjukkan arah kiblatnya mata angin.

•Secara tradisi Indonesia, khususnya di Bali bahwa Padmasana itu merupakan suatu bangunan suci yang puncaknya berbentuk kursi dan dibawahnya terdapat Naga Basuki dan Badawangnala yang berfungsi sebagai pengikat dan penumpu bangunan itu. Bangunan suci ini secara khusus dipergunakan sebagai media untuk melakukan pemujaan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa.


•Disamping itu, di Bali juga terdapat gambar Padma berupa bulatan yang dikelilingi dengan daun kelompok yang menunjukkan arah kiblat mata angin. Gambar Padma itu dianggap sebagai simbol dari Bhuwana Agung atau Bhuwana Alit, yang sering pula dipergunakan dalam upacara tertentu. Di tengah-tengah gambar Padma itu ditulis huruf Omkara. Oleh karena itu, maka gambar itupun disebut Padmasana juga. Jadi dengan di Bali ada dua macam Padmasana, yaitu berupa bangunan dan yang berupa gambar seperti yang tersebut di atas.

•Pada waktu menggerakkan hukum kemahakuasaannya, beliau disimbolkan pula memakai suatu wujud yang disebut Mantratma yakni inti kekuatan gaib dari doa-doa mantra. Dalam bentuk aksara, Mantratma itu diwujudkan dengan Om atau Aum. Oleh karena itulah aksara Om atau Aum selalu diucapkan pada awal dari setiap mantra. Aksara Om itu adalah sebagai wujud Tuhan Yang Maha Esa dan sifatnya sangat rahasia.


•Sawyaparah Bhatara Sadasiwa Sira, hana padmasana pinaka palungguhan ira, aparan ikang padmasana ngaranya, saktinira, sakti ngaranya, wibhusakti, prabhusakti, jnanasakti, kriyasakti, nahan yang cadusakti ngaranya.
•Nahan yang cadusakti ngaranya padmakara, rimadhyan ika, ngkana ta palungguhan Bhatara, kalan iran masasira, mantratma ta sira, mantra pinaka sariranira, isana murdhaya, tapurusa waktraya, angora hrdayaya, bamadewa  guhyaya, sadyojata murti ya, AUM, nahan pitaka sarira bhatara. (Sudharsana Dewi, 13-14, hal 39).


•Artinya:
  Tuhan (Sadasiwa) ialah Sawyaparah (bersenyawa dengan hukum kemahakuasaannya). Ada Padmasana sebagai singgasananya. Apakah yang dimaksud dengan Padmasana. Yaitu saktinya, yakni Wibhusakti, Prabhusakti, Jnanasakti dan Kriyasakti. Itulah yang disebut Cadusakti.

•Cadusakti inilah yang disimbolkan berbentuk teratai, ditengahnya itulah Singgasana Tuhan (Sadasiwa) pada waktu beliau berwujud, mantramalah beliau, yakni mantra sebagai badannya, Isana sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka, Angora sebagai hati, Bamadewa sebagai anggota rahasia dan Sadyojata sebagai bentuknya. AUM itulah yang menjadi wujud beliau.


•Aksara AUM atau OM juga disebut Omkara atau Pranawa yang terdiri dari gabungan tiga huruf yaitu huruf A, huruf U, dan huruf M. Huruf A, U, dan M ini ketiganya disebut Tri Aksara, sedangkan Brahma, Wisnu, Iswara disebut Trimurti. Jika huruf A, U, dan M itu disandikan akan menjadi OM.
•Pada umumnya sistem penulisan huruf-huruf tersebut dituliskan bersengau sehingga menjadi Ong Ang Ung Mang. Bentuk-bentuk huruf singkat seperti ini disebut Wijaksara serta selalu dianggap huruf sakti yang mengandung kekuatan gaib.
•Menurut sloka di depan mengenai Isana, Tatpurusa, Aghora, Bamadewa, dan Sadyojata, semua ini disebut Panca Brahma atau Panca Dewata. Sebutan Panca Brahma atau Panca Dewata berbeda tetapi memiliki arti yang sama, yakni Iswara (Sadyojata), Brahma (Bamadewa), Mahadewa (Tatpurusa), Wisnu (Aghora), dan Siwa (Isana).


•Demikian pula dalam mantra-mantra, masing-masing dari Panca Brahma atau Panca Dewata itu disertai pula dengan Wijaksaranya sendiri-sendiri sebagai suatu partikel petunjuk yang sesuai dengan huruf awal dari istilahnya masing-masing, seperti halnya Sang untuk Sadyojata, Bang untuk Bamadewa, Tang untuk Tatpurusa, Ang untuk Aghora dan Ing untuk Isana, serta kelima Wijaksara ini disebut Panca Brahma Wijaksara.

•Selain Panca Brahma, terdapat pula mantra-mantra adanya huruf-huruf seperti Na, Ma, Si, Wa, Ya baik sebagai Wijaksara maupun sebagai bagian kalimat. Sebagai Wijaksara, maka Na adalah Maheswara sebagai penguasa kiblat tenggara, Ma adalah Rudra sebagai penguasa kiblat Barat Daya, Si adalah Sangkara sebagai penguasa kiblat Barat Laut, Wa adalah Sambu sebagai penguasa kiblat timur laut, dan Ya adalah Siwa sebagai penguasa tengah (nadir).
•Sebagai bahan kalimat, maka Na, Ma, Si, Wa, Ya berarti penghormatan dengan Siwa dan kelima huruf tersebut dinamakan Panca Aksara Siwa. Penggabungan Panca Brahma dengan Panca Aksara Siwa akan menjadi Dasa Aksara yaitu Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya dan jika ditambah lagi dengan OM maka ia akan menjadi Ekadasa Aksara.



•Ekadasa Aksara ini merupakan perwujudan Tuhan (Sadasiwa) sebagai inti kekuatan gaib dari mantra-mantra. Aksara OM adalah simbolik perwujudan Tuhan yang merupakan pusat daripada Dasa Aksara.
•Dasa Aksara merupakan personifikasi dari Sakti dan Swabhawa Tuhan (Sadasiwa) pada waktu beliau mengatur keharmonisan alam semesta beserta isinya.

•Demikianlah Padamasana dan Mantratma dari Tuhan (Sadasiwa) yang pada hakikatnya merupakan simbolik yg dianggap mengandung kekuatan gaib dan di pergunakan dlm bangunan suci, dlm perlengkapan upakara dan dalam mantra-mantra.


Siwatma Tattwa
  Siwatma adalah Cetana yang lebih banyak dipengaruhi oleh maya jika dibandingkan dengan Sadasiwa dimana kesadarannya telah mulai kena Awidya. Pada Sadasiwa, unsur maya yang mempengaruhinya itu hanya berupa sifat-sifat kemahakuasaannya saja, sedangkan unsur kesadarannya masih tetap dpt menguasai unsur maya itu. Sedangkan dalam Siwatma sifat ke-Mahakuasaan itu sudah berkurang dan mulai cenderung terpengaruh oleh unsur maya. Oleh karena itulah Siwatma-Tattwa juga dinamakan Mayasira Tattwa. Jika dilihat dari besar kecilnya pengaruh maya, maka Siwatma berada di bawah Sadasiwa.



•I sor nikang sadasiwa tattwa mayasira tattwa ngaranya, unggwan sanghyang astawidnyansana, ananta suksma, siwatama, ekarudra, ekanetra, trimurti, srikantha, srikhandi, Sanghyang Ananta sira kinon Bhatara umyapaka ikang bhuwana lawan jadat, api tuwi manglepasaken atma wyapara waneh, yapwan huwus wyapara pakon bhatara, irika ta yan mokta sanghyang ananta, sanghyang suksma gumanti ananta, siwatama gumanti suksma, ekarudra gumanti siwatama, ekanetra gumanti ekarudra, trimurti gumanti ekanetra, srikantha gumanti trimurti, srikhandi gumanti srikantha. Nahan yang mayasira tattwa ngaranya. (Sudarshana Dewi, 14 hal 39-40).


Artinya:
•Dibawah Saddsiwa Tattwa Mayasira Tattwa namanya, tempat Sanghyang Astawidyasana (delapan tempat pengetahuan), yaitu Ananta, Suksma, Siwatama, Ekarudra, Ekanetra, Trimurti, Srikantha, Sikhandi. Sanghyang Ananta dititahkan oleh Tuhan untuk meresapi alam dan dunia, dan juga untuk membebaskan atman yang sengsara, jika telah selesai menikmati penderitaan sesuai dengan perintah Tuhan. Pada saat itulah Sanghyang Ananta kembali, Sanghyang Suksma menggantikan Ananta (selanjutnya) Siwatama menggantikan Suksma, Ekarudra menggantikan Siwatama, Ekanetra menggantikan Ekarudra, Trimurti menggantikan Ekanetra, Srikantha menggantikan Trimurti, Sikhandi menggantikan Srikhanta. Itulah yang disebut Mayasira Tattwa.


•Dengan memperhatikan sloka di atas maka dapat dikemukakan bahwa Siwatma sudah kena Wyapara atau noda dari unsur maya.
•Berdasarkan atas adanya Wyapara atau noda itu maka Siwatma memiliki delapan tingkatan yang disebut Astawidyasana (delapan tingkat pengetahuan). Kedelapan tingkat pengetahuan itu secara berturut-turut dari tingkat yang terendah sampai dengan tingkat yang tertinggi yaitu Ananta, Suksma, Siwatama, Ekarudra, Ekanetra, Trimurti, Srikantha, dan Sikhandi.
•Demikianlah tingkat-tingkat pengetahuan dari Siwatma yang berhubungan dengan besar kecilnya Wyapara atau noda yang ditimbulkan akibat adanya pertemuan dengan unsur maya.


•Jika pengaruh maya itu telah besar terhadap Siwatma, maka sifatnya menjadi Awidya serta hilang kesadaran nya yang murni. Kemudian dari Siwatman yang telah dikenai Awidya ini memecah diri menjadi atman yang berjumlah banyak. Atman adalah bagian dari Siwatman yang menjadi jiwa setiap makhluk dan jumlahnya sangat banyak tak terhitung.
•Mari pweka siwa tattwa sarwajna sarwakarya karta, ya ta sinangguh atma ngaranya, cetana lengeng lengeng ngaranya, yata matangyan sesok tang maya tattwa, kadyangganing umahning tawwan, ikang atma yangken anakning tawwan, adnomukha tumungkul. Ngaranya mulat i sor juga tikang atma, tan weruh irikang tattwa i ruhurnya (Sudarsana Dewi, 14 hal 40).


Artinya :
•Jika Siwatattwa itu tidak lagi mahatahu dan mahakarya maka disebut atma yaitu cetana yang telah kena lupa. Banyaklah adanya atma itu, sehingga terpenuhi olehnya mayatattwa, seperti sarang lebah yang tersusun bertingkat-tingkat. Mayatattwa itu seumpama sarangnya lebah, doyan merunduk, selalu menghadap kebawah dan tidak mengetahui tentang keadaan di atasnya.


•Walaupun atman itu merupakan bagian dari Tuhan, namun ia tidak menyadari asalnya, karena diakibatkan oleh belenggu Awidya. Seperti yang telah disebutkan di depan bahwa dalam Cetana ada tiga wujud yang disebut Paramasiwa yaitu Tuhan dalam keadaan Nirgunam  atau disebut pula dengan istilah Impersonal God without attributes dan Sadasiwa yaitu Tuhan dalam keadaan Sagunam atau disebut pula dengan istilah personal God with attributes, sedangkan Siwatma yaitu Tuhan sebagai jiwa semua makhluk atau disebut pula dengan istilah Personal God as individual soul.


Pandangan Umum
•Kata maya berarti semu dan istilah Tattwa dalam hubungan ini berarti filsafat. Maya Tattwa berarti filsafat tentang segala sesuatu yang bersifat semu. Maya adalah segala sesuatu yang bersifat tidak kekal dan selalu mengalami perubahan.
•Alam semesta beserta isinya adalah bersifat maya, maka itu selalu mengalami perubahan. Misalnya dalam hidup ini kita selalu mengalami siang dan malam, panas dan dingin, hidup dan mati, susah senang. Hanya Tuhanlah yang bersifat abadi, selain daripada itu, semuanya bersifat maya. Dalam Wrhaspati Tattwa dikatakan bahwa Cetana bersifat kekal dan Acetana bersifat maya.

•Tentang asal usul adanya Cetana dan Acetana atau Maya Tattwa itu menurut Wrnaspati Tattwa tidak akan dijelaskan dengan pasti. Hal ini kita jumpai pula dalam filsafat Samkhya mengenai asal mula Purusa dan Prakerti yang tidak disebutkan dari mana asalnya. Purusa dan Prakerti menurut Samkhya dianggap sudah ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan nya, demikian pula halnya dengan Cetana dan Acetana atau Maya Tattwa dalam Wrhaspati Tattwa sudah ada dengan sendirinya tanpa ada penciptaan. Sedangkan dalam sistem filsafat yoga, purusa dan prakerti dinyatakan berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.
•Maya Tattwa itulah yang menyebabkan semua mahluk menjadi Awidya dan selalu mengalami Punarbhawa. Disamping itu maya juga merupakan Sadhana atau alat bagi orang beriman untuk mencapai kelepasan atau moksa.


  Maya Tattwa atau Acetana dalam Wrhaspati Tattwa sama dengan Prakerti dalam ajaran Samkhya Yoga atau juga sama dengan Pradana dalam lontar lontar. Prakertinya Samkhya tidak tergantung kepada sesuatu dan ada dengan sendirinya, sedangkan Prakertinya Samkhya dan Yoga tergantung kepada Tuhan dan berasal dari padanya. Tuhanlah yang menjadi asal mula dari segala sesuatu dan tidak ada sesuatu yang lebih tinggi dari padanya. Sehubungan dengan itu perhatikanlah sloka berikut:

  Etadyonini bhutani sarwaniti upadharaya, Aham krtanasya jagatah prabhawah pralayas tatha. (BG, I, 6-7, hal 125- 126).


Artinya:
Ketahuilah bahwa semua makhluk ini asal kelahirannya di alamku ini. Aku adalah asal mula dari dunia ini dan juga kehancurannya. Tidak ada sesuatu apapun yang lebih tinggi dari aku, o Arjuna, semua yang ada dsini adalah terjalin dengan aku sebagai permata terjalin dengan benang sutra.

Dari petikan sloka ini dapat dikemukakan bahwa Tuhanlah yang menjadi asal mula dari segalanya. Tuhan menyediakan dua elemen pokok yaitu Purusa dan Prakerti untuk menciptakan alam semesta beserta isinya. Purusa adalah atma yang memiliki kesadaran dan bersifat kekal abadi. Purusalah yang menjadi sumber energi kehidupan alam semesta dan menjadi jiwa semua makhluk. Sedangkan Prakerti adalah sumber material dari alam semesta dan menjadi tubuh semua makhluk.

Hukum Evolusi dari Mayatattwa (Acetana)
•Segala sesuatu di alam semesta ini mengalami masa penciptaan dan masa pralaya. Masa penciptaan disebut Srsti atau Brahma Diva yaitu siang harinya Brahman dan masa pralaya adalah Brahman-Nakta yaitu malam harinya Brahman. Pada waktu penciptaan Acetana mengalami perubahan, sedangkan pada masa pralaya Acetana tidak mengalami perubahan.
•Perubahan yang terjadi pada Acetana disebabkan oleh kehendak Tuhan dan dari evolusi itu lahirlah Pradhanatattwa, Trigunatattwa, Antakarana, Pancabudhiindriya, Panca karmendriya, Pancatanmatra, dan Panca Mahabhuta. Antahkarana merupakan unsur alam pikiran yang terdiri dari Budhi, Ahamkara, dan Manas, sedangkan Indriya adalah alat dari Antahkarana. Panca Tanmatra dan Panca Mahabhuta adalah merupakan unsur materi yang mewujudkan benda-benda di alam semesta ini.

•Evolusi dari unsur alam pikiran dan unsur materi menimbulkan alam semesta beserta isinya. Proses terjadinya evolusi itu diatur oleh suatu hukum tertentu yang merupakan komponen dari Prakerti yang disebut Guna. Guna itu terdiri dari tiga bagian, yaitu : Satwam, Rajas, Tamas. Karakter dari segala sesuatu yang ada di alam ini ditentukan oleh Tiga Guna tersebut. Maka itulah kita jumpai adanya sifat makhluk yang berbeda-beda di dunia ini, yang semua itu ditentukan oleh banyak sedikitnya pengaruh tiga guna tersebut. Hal ini dapat kita lihat pada manusia dalam kehidupan sehari-harinya, ada yang bersifat tenang, gelisah, acuh tak acuh dan malas.
•Karena dunia ini terbentuk dari Triguna, maka dalam dunia inipun kita saksikan selalu ada pertentangan dan kerjasama dalam kesatuan. Ketiga Guna itu selalu bekerjasama dalam masa penciptaan dan berpisah pada waktu Pralaya, sehingga mereka ada dalam keadaannya semula.


Selanjutnya akan diuraikan mengenai unsur alam pikiran, indriya, dan unsur materi:
1.  Budhi
Kata Budhi adalah istilah noun feminine dalam bahasa Sansekerta yang berarti kecerdasan, pengertian, pemikiran, pengetahuan, dan kebijaksanaan. Kata Budhi berasal dari akar kata kerja Budh (kelas IV intransitif) dengan makna, mengetahui, berpikir, memahami. Budhi merupakan alam pikiran yang tertinggi pada diri manusia yang berfungsi untuk mengklasifikasi dan menentukan segala keputusan. Budhi bersifat Sattwam, maka itu segala yang diputuskan akan bersifat baik dan bijaksana. Untuk dapat selalu memiliki pikiran yang baik dan kebijakan hendaklah seseorang meningkatkan nilai kesucian dari Budhi, sebab Budhi merupakan sumber moral yang baik. Seseorang yang selalu bertindak atas keputusan Budhiya itulah orang yang bijaksana.


2.  Ahamkara, manas, dan indriya
•Dalam perkembangan selanjutnya dari Budhi muncullah Ahamkara yakni bagian dari alam pikiran yang merupakan alat untuk dapat merasakan berpikir dan berbuat. Menurut sifat dan fungsinya, Ahamkara dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu:
•Ahamkara-Waikerta adalah bagian dari alam pikiran yang bersifat Sattwam dan merupakan asal mula dari Manas dan Indriya. Fungsinya adalah untuk berpikir dan merasakan sesuatu.
•Ahamkara-Taijasa yakni bagian dari alam pikiran yang bersifat Rajas dan berfungsi untuk membantu Ahamkara Waikerta dan Ahamkara Bhutadi.
•Ahamkara Bhutadi adalah bagian dari alam pikiran yang bersifat Tamas dan berfungsi untuk menumbuh kembang kan unsur-unsur jasmani yang terdiri dari Panca Tanmatra dan Panca Mahabhuta.



Untuk mengetahui hubungan antara Budhi, Ahamkara, Manas, dan Indriya perhatikan sloka berikut:
•Sangka ring budhi metu tan ahamkara, telu prakaranya, lwirnya: satwika, rajaka, tamasa. Nahan bhedanya, si waikerta yeka satwika, si taijasa yeka rajah, si bhutadi yeka tamah. Sangka ring ahamkara si waikerta metu tan manah lawan dasendriya, lwirya : srota, twak, caksu, jihwa, ghrana, wak, pani, pada, payu, upasta. Sangka ring ahamkara si bhutadi metu tan panca tan matra. Ikang ahamkara si taijasa yeka umilu mametwaken karyan ikang ahamkara si waikerta lawan sibhutadi, apan maka swabhawa mangulah aken. (sudarshana Devi, 33, hal 48-49).


Artinya:
Dari budhi timbullah Ahamkara, ada tiga macam yaitu Satwika, Rajasa, dan Tamasa. Bedanya ialah Ahamkara si Waikerta bersifat Satwika, Ahamkara   si Taijasa bersifat Rajas dan Ahamkara si Bhutadi bersifat Tamah.

Dari Ahamkara si Waikerta timbullah Manas dan Dasendriya, yakni Srotendriya, Twak indriya, Caksuindriya, Jihwendriya, Panindriya, Padendriya, Payuindriya, dan Upastendriya. Dari Ahamkara si Bhutadi timbullah Panca Tan Matra. Sedangkan Ahamkara si Taijassa itu membantu aktivitas Ahamkara si Waikerta dan si Bhutadi tersebut karena bersifat dinamis.

Indriya membantu Antahkarana untuk mengetahui dunia luar, apa yang disadap oleh indriya disampaikan kepada Manas, Ahamkara dan kemudian diolah oleh Budhi. Indriya dalam tubuh manusia berjumlah sepuluh yang disebut Daseindriya, yang terdiri dari Panca Budhi Indriya, dan Panca Karmendriya.
Panca Budhi Indriya terdiri dari Srotendriya ialah indria pendengar yaitu telinga, Twakindriya ialah indria peraba yaitu kulit, Caksuindriya ialah indriya pelihat yaitu mata, Jihwendriya ialah indriya pengecap yaitu lidah dan Granendriya ialah indriya pencium yaitu hidung.
Sedangkan yang termasuk dalam Panca Karmendriya adalah Wakindriya ialah indriya bicara yaitu mulut, Panindriya ialah indriya berbuat yaitu tangan, Padendriya ialah indriya bertindak atau berjalan yaitu kaki, Payuindriya ialah indriya buang kotoran yaitu anus/dubur dan Upastendriya/ Bagendriya ialah indriya seksual laki atau perempuan.


•Pada umumnya indriya-indriya itu bersifat ingin mencapai kepuasan. Adapun sumber kepuasan indriya itu dinamakan Wisaya dan berasal dari alam lingkungan sekitarnya, obyeknya ada yang berwujud nyata dan abstrak. Obyek-obyek indriya atau Wisaya itu mula-mula memberi perangsang kepada alat-alat indriya  kemudian indriya menyampaikan kepada Manas, Ahamkara dan akhirnya diolah dan diberi keputusan Budhi.
•Setelah mendapat keputusan dari Budhi maka keputusan itu dikirim kembali melalui Ahamkara, Manas, dan Indriya, sehingga Indriya dapat menikmati nilai daripada Wisaya atau obyek itu sebagaimana mestinya. Proses ini berlangsung dengan sangat cepat sekali, tetapi ada kalanya lambat yang semua ini tergantung daripada jenis tanggapan dan pengamatan masing-masing.


•Dalam mengambil dan merealisasikan putusan itu, yang memegang peranan penting adalah Budhi, Ahamkara dan Manas, tetapi tidak terlepas dari pengaruh tiga Guna yaitu Sattwam, Rajas, Tamas. Pengaruh tiga Guna inilah yang menyebabkan adanya perbedaan kualitas penilaian tentang sesuatu dari setiap orang.
•Demikianlah adanya unsur alam pikiran selanjutnya akan diuraikan tentang unsur materi.
•Perubahan yang terjadi pada Acetana disebabkan oleh kehendak Tuhan. Dari evolusi Acetana itu muncullah unsur alam pikiran dan unsur materi. Unsur materi terdiri dari Panca Tan Matra dan Panca Mahabhuta.
•Yang disebut Panca Tan Matra adalah benih dari Panca Maha Bhuta. Mengenai Panca Tan Matra itu dalam Wrhaspato Tattwa disebutkan:


  Aparan sinangguh panca tanmatra ngaranya, nyapan tahankwa linganta, nahan yang sabda, sparsa, rupa, rasa, gandha, wyaktinya, tutupanatalingan ta, hana sabda karango, yeka sabda tanmatra ngaranya. Hanata hangin maderes lit-lit nikang rumesep ing kulit kahidepannya, yeka sparsa tan matra ngaranya. Hana ta sandhyawela ngaranya, huwus sumurup Sanghyang Aditya, hanata tejanira kawekas, lit-litnikang teja katon, yeka rupa tanmatra ngaranya. Rasa tanmatra ngaranya, ikang pinangan mapahit mamanis kunang, litlitikang rasa rinasan kawekas ing lidah tan wawang hilang, hana sesanya kari, yeka rasa tanmatra ngaranya. Gandha tan matra ngaranya, hana ta candana tinunu, litlitning gandhanya inambung, yeka gandha tan matra ngaranya. Samangkana panca tanmatra ngaranya. (Sudarshana Devi, 33 hal 49).


Artinya:
•Yang manakah dimaksud degan Panca Tan Matra, berhubung hendak kujelaskan, perhatikanlah yaitu Sabda, Sparsa, Rupa, Rasa dan Gandha. Tegasnya tutuplah telingamu, ada suara terdengar, bekas-bekasnya suara yang terdengar itulah Sabda Tan Matra namanya. Ada angin deras, bekas-bekas rasanya yang meresap pada kulit itulah yang disebut Sparsa Tan Matra. Ada yang disebut senja kala, yakni setelah terbenamnya matahari, masih ada sinar yang berbekas, bekas bekas sinar yang nampak itulah rupa tan matra namanya. Rasa Tan Matra ialah sesuatu yang dimakan pahit atau manis, bekas-bekasnya rasa Tan Matra. Gandha Tan Matra maksudnya, adalah kayu cendana terbakar, bekas-bekas baunya yang tercium, itulah yang bernama Gandha Tan Matra. Demikianlah yang disebut Gandha Tan Matra.


Walaupun Panca Tan Matra itu sangat halus, tetapi karena adanya perubahan yang terus-menerus akhirnya Panca Tan Matra menjadi Paramanu atau Atoom. Paramanu atau Atoom dari Panca Tan Matra itu terus mengalami evolusi, maka makin lama makin bertambah besar dan akhirnya disebut Panca Maha Bhuta. Panca Maha Bhuta terdiri dari Pertiwi, Apah, Teja, Wayu dan Akasa. Untuk lebih jelasnya perhatikanlah sloka berikut:
  “Sangkeng panca tanmatra metu tang panca mahabhuta. Akasa metu sangkang sabda tanmatra, wayu metu sangkeng sparsa tanmatra, teja metu sangkeng rupa tanmatra, apah metu sangkeng rasa tan matra, pertiwi metu sangkeng gandha tanmatra. Nahan tang panca mahabhuta. (Sudarshana Devi, 33 hal. 49).


Artinya:
•Dari Panca Tan Matra timbullah Panca Mahabhuta. Akasa timbul dari Sabda Tan Matra, Wayu keluar dari Sparsa Tan Matra, Teja muncul dari Rupa Tan Matra, Apah lahir dari Rasa Tan Matra, Pertiwi timbul dari Gandha Tan Matra. Itulah yang disebut Panca Maha Bhuta.
•Unsur-unsur Panca Maha Bhuta ini terus berevolusi serta berkumpul dan semakin besar, dimana akhirnya unsur Pertiwi menjadi bumi, unsur Apah menjadi sat cair, unsur Teja menjadi matahari, bulan bintang dan planet, dan unsur Akasa menjadi eter. Semua ini memiliki gaya tarik menarik satu dengan yang lainnya.

Untuk lebih jelasnya perhatikanlah sloka berikut:
  Ikang pertiwi, apah, teja, wayu, akasa, ya ta ginawe bhuwana de bhatara, ardha ruhur suminduhur, matumpang-tumpangan lakasananya. (Ganapati Tattwa, lampiran 10).
Artinya:
  Adapun Pertiwi, Apah, Teja, Wayu, dan Akasa itulah yang dijadikan alam semesta oleh Tuhan, berbagian atas mengatasi, bagaikan bersusun susun keadaannya.

  Berkat kemahakuasaan Tuhan, maka proses evolusi terjadinya alam semesta beserta isinya berlangsung dengan sangat harmonisnya. Panca Maha Bhuta bukan saja mewujudkan terbentuknya alam semesta, tetapi juga tubuh manusia yang disebut mikro kosmos yang pada hakikatnya memiliki asal usul yang sama.


Mikro Kosmos (Bhuwana Alit)
•Pada tubuh manusia ada indriya yang berjumlah sepuluh yang disebut Dasendriya. Kesepuluh indriya itu ada kaitannya dengan atman yang menempati tubuh kita. Untuk lebih jelasnya perhatikan sloka berikut:
•Srotendriya munggwing talinga, pinaka karananing atma pangrengo sabda panekannya.
•Ikang  twakendriya munggwing kulit, pinaka karananing atman panghidep panas-tis panekannya.
•Ikang caksuindriya munggwing mata, pinaka karananing atman panon rupa warna panekanya. Ikang jihwendriya munggwing ilat, pinaka karananing atman pangrasa sad rasa.

Ikang ghranendriya munggwing hirung, pinaka karananing atman pangambung gandabo awangi.
Ikang wagindriya munggwing tutuk, pinaka karananing atman pasabda pakenanya.
Ikang padendriya munggwing suku, yeka pinaka karananing atman lumaku pakenanya.
Ikang payunindriya munggwing silit, pinaka karananing atman pangising angentut pakenanya. Ikang upasthendriya munggwing purusbhaga, pinaka karananing atman pangeyeh mwang ametwaken sukla swanita pakenanya. Nahan ta kramananing dasendriya haneng sarira. (Sudarshana Devi, 33 hal 50).




Artinya:
•Srotendriya terdapat pada telinga, yang menyebab kan atman bisa mendengar suara olehnya.
•Twakindriya terletak pada kulit, yang menyebabkan atman dapat merasakan panas dingin olehnya.
•Caksuindriya terdapat pada mata, yang menyebab kan atman dapat melihat bentuk dan warna oleh nya.
•Jihwendriya terletak pada lidah, yang menyebabkan atman dapat mengecap macam-macam rasa.
•Granendriya terdapat pada hidung, yang menyebab kan atman bisa mencium bau yang busuk dan harum.
•Wakindriya berada pada mulut, yang menyebabkan atman dapat berbicara olehnya.


•Panindriya terletak di tangan, oleh karenanya atman itu bisa berpegangan akibatnya. Padendriya berada di kaki, maka dari itu atman dapat berjalan olehnya.
•Payuindriya terletak pada dubur, yang menyebabkan atman bisa membuang kotoran dan kentut akibatnya.
•Upasthendriya terdapat pada alat kelamin laki dan perempuan, oleh karena itu atman dapat membuang air seni dan mengeluarkan benih keturunan akibatnya. Demikianlah halnya Dasendriya dalam tubuh. Kesepuluh indriya itu berpusat pada Manas, karena manaslah indriya itu dapat menikmati Wisaya atau kepuasannya.
•Selain indriya dalam tubuh itu terdapat pula sepuluh macam pembuluh yang disebut nadi. Diantara sepuluh nadi itu yang terpenting di antaranya ada tiga macam, yaitu Ida, Pinggala, dan Susumna yang terdapat pada tulang punggung dan erat sekali hubungannya dengan Sapta Cakra.





Yang disebut dengan Sapta Cakra itu yaitu tujuh simpul syaraf yang merupakan tempat naik turunnya  Kundalini. Adapun bagian dari Sapta Cakra itu adalah Muladhara, Swadhistana, Manipura, Anahata, Wisudha, Ajna dan Sahasra Cakra.
•Muladhara Cakra terletak pada tulang punggung di antara dubur dan kelamin. Disinilah pusatnya nadi dan tempatnya Kundalini. Swasdhistana Cakra tempatnya di tulang punggung di antara pusar dan kelamin. Manipura Cakra terletak pada tulang punggung sejajar dengan pusar, dan Anahata Cakra terletak pada tulang punggung sejajar dengan jantung. Wisudha Cakra terdapat pada tulang punggung dan sejajar dengan kerongkongan. Ajna Cakra terdapat pada tulang punggung yang sejajar dengan kening. Sedangkan Sahasra Cakra tempatnya di ubun-ubun atau Siwadwara dan Cakra ini sering disebut Siwastana.


•Demikianlah tempat Kundalini pada tubuh manusia. Jika Kundalini itu sudah hidup, maka ia akan bergerak ke atas dari tempat tidurnya di Muladhara dan melalui cakra-cakra yang lainnya, sehingga sampai pada cakra yang terakhir di Siwadwara yaitu Sahasra Cakra maka ia telah mencapai tingkat Yogi yang tertinggi dan dapat menikmati faedah ketenangan Samadhi dan dapat hidup selama ia inginkan.
•Untuk dapat menghidupkan Kundalini yang menjadi sumbernya kekuatan batin dan Brahman itu. Maka orang harus tekun melatih Pranayama yaitu pengendalian prana dengan jalan mengatur nafas dan samadhi. Prana adalah tenaga hidup jamani yang erat sekali hubungannya dengan ketiga nadi sebagai yang tersebut di atas.
•Dengan melakukan latihan Pranayaman dan samadhi secara tekun maka isa, pinggala, dan susumna menjadi aktif untuk menggerakkan kundalini, karena ketiga nadi itu merupakan alat untuk membangunkan kundalini. Demikianlah hubungan antara prana, nadi, dan sapta cakra itu dalam tubuh manusia, yang merupakan sarana untuk meningkatkan hidup kebatinan dan keilahian.



Dasa Prana (Wayu)
•Selain indriya dan nadi dalam tubuh manusia terdapat pula Prana, yaitu tenaga hidup material yang muncul dari atman. Prana yang disebut dengan Wayu yang menurut fungsinya dapat digolongkan menjadi sepuluh macam yang disebut Dasa-Prana atau Dasa Wayu. Kesepuluh Prana itu adalah Prana, Apana, Samana, Udana, Wyana, Naga, Kurmara, Krkara, Dewa Datta dan Dhananjaya. Untuk lebih jelasnya perhatikan sloka berikut:
•Dasa pranawa atah, pradhana nadyah samsmrtah, paranopanah samanasca udhano wyana ewa ca. Nagah kurmo tha krkaro dewa datta dhananjayah, dasa pranah samakhyatan siwena paribhasitah. (Sudarshana Devi, 39-40, hal 54).


Artinya:
•Ketahuilah bahwa kesepuluh nadi yang besar itu adalah merupakan tempatnya dasaprana yang diajarkan oleh Tuhan, yaitu Prana, Apana, Samana, Udana, Wyana, Naga, Kurmara, Krkara, Dewadatta dan Dhananjaya.
•Dasa Prana itu erat sekali hubungannya dengan nadi yang terdapat diseluruh tubuh dan masing-masing memiliki fungsinya sendiri-sendiri untuk menggerakkan organ tubuh.
•Prana terletak pada hidung dan mulut serta merupakan sumber penggerak semua prana yang lainnya. Prana berfungsi untuk menggerakkan alat pernafasan dan alat yang terdapat pada mulut.
•Apana tempatnya pada dubur dan alat kelamin, fungsinya adalah untuk mengatur pembenihan guna mengadakan keturunan dan untuk membuang kotoran.


•Samana, bertempat pada hati dan berfungsi untuk meng klasifikasikan sari-sari makanan dan minuman serta bekas-bekas penciuman.
•Udana, terletak pada kepala fungsinya untuk menggerakkan dahi, kelopak mata dan menumbuhkan rambut.
•Wyana, terdapat pada seluruh persendian dan fungsinya untuk menggerakkan semua persendian.
•Naga, yaitu tenaga yang gunanya untuk bergulat atau membelit.
•Kurmara, adalah tenaga yang gunanya untuk menggerakkan badan.
•Krkara, adalah yang berfungsi untuk mengeluarkan bersin.
•Dewadatta, yaitu tenaga yang fungsinya untuk menguap.
•Dhananjaya, adalah tenaga yang berfungsi menciptakan suara, tenaga ini akan menetap pada mayat semua makhluk bila makhluk itu telah mati.

Pancakosa (lima selubung jiwa).
•Disamping prana ada lagi yang disebut pancakosa dalam tubuh manusia, yaitu lima macam selubung jiwa. Kelima kosa itu adalah anna-maya-kosa, prana-maya-kosa, mano-maya-kosa, wijnana-maya-kosa, dan ananda-maya-kosa. Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat mengenai pancakosa tersebut, ikutilah uraian berikut.
•Anna-maya-kosa, adalah badan kasar yang juga disebut lapisan makanan yang terdiri dari unsur-unsur tanah, air, api yang ketiganya itu berada di cakra-cakra yang terbawah, yaitu muladhara, swadhistana dan manipura cakra.
•Prana-maya-kosa adalah lapisan yang kedua atau lapisan nafas/prana yang memanifestasikan dirinya di udara dan di dalam ruang (eter) dan unsur-unsurnya terletak di anahata dan wisudha cakra.


•Dua kosa berikutnya yaitu mano-maya-kosa dan wijnana-maya-kosa, kedua kosa ini membentuk antah-karana yang terdiri dari budhi, ahamkara, dan manas. Mano-maya-kosa merupakan unsur-unsur pembungkus yang berasal dari gabungan bekas-bekasnya alam pikiran. Sedangkan wijana-maya-kosa adalah unsur-unsur pembungkus yang berasal dari kumpulan bekas-bekasnya ilmu pengetahuan dan pengalaman biasa.
•Anandamaya-kosa yaitu unsur-unsur pembungkus yang berasal dari himpunan bekas-bekasnya laksana dharma yang tinggi yang juga disebut dengan badan bahagia. Ketiga kosa ini ada pada cakra-cakra yang lebih di atas daripada cakra-cakra yang tersebut di atas.

•ATMA TATTVA
Sifat-Sifat Atma
•Kata atma adalah istilah noun feminine dlm bhs Sansekerta yg berarti jiwa atau roh. Dgn demikian atma-tattwa berarti filsafat yang membicarakan perihal mengenai keadaan jiwa atau roh.
•Dalam kitab suci Hindu dinyatakan bahwa atma adalah bagian dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dapat kita lihat dalam kitab Upanisad yang menyatakan bahwa “Brahma atma aikyam” yang artinya Brahman dan atman adalah tunggal. Atma diumpamakan sebagai setitik embun yang berasal dari penguapan air laut, karena adanya pengaruh suatu temperatur tertentu kemudian embun itu terpencar ke seluruh alam semesta.
•Demikian keadaan atma yang mula-mula berasal dari Brahman, kemudian terpencar memasuki serta memberi energi hidup pada jasmani dari semua makhluk. Atma juga disebut Siwatma atau Jiwatma, yaitu roh yang berasal dari Tuhan dalam fungsi memberi tenaga hidup kepada alam semesta beserta isinya.


•Oleh karena atma itu merupakan bagian dari Tuhan, maka sifat aslinya pun adalah gaib, tidak mengenal kelahiran, kematian dan kekal abadi. Selanjutnya perhatikanlah sloka berikut:
•“na jayate mriyate va radacinnayam bhutva bhavita va na bhuyah, ajo nityah sasawatoyam purano na hanyate hanyamane sarira.
  (Bhagawad Gita, II, hal 30-31).
Artinya:
•Roh tidak pernah dilahirkan dan juga tidak pernah binasa, ataupun tidak pernah ada karena dilahirkan.    Ia adalah kekal dan tetap ada serta pernah terbunuh meskipun badan jasmani terbunuh atau hancur.
•Demikianlah mengenai sifat kegaiban atma yang pada hakikatnya adalah suci murni. Karena hubungannya dengan maya, maka atma mengalami awidya.




Hubungan Atma Dengan Maya-Tattwa (Acetana)
•Setelah atma bersenyawa dengan maya tattwa atau acetana tattwa, maka ia menjadi linglung karena ter pengaruh oleh sifat-sifat kemayaan itu, maka atma menjadi awidya yaitu tidak menyadari sifat-sifat aslinya.
•Akibat pengaruh maya menyebabkan atma menjadi semakin jauh dari sumbernya yaitu Tuhan, akhirnya atma mengalami suka dan duka dalam hidupnya di bumi dan juga di akhirat. Dalam Sudarshana Devi   sloka 47, hal 57 dinyatakan:
  Ikang pradhana tattwa yeka acetana maka swabha wang lupa, wyapaka pwekang atma ring pradhana tattwa, alupa ta ya, apan pradhana gumawe lupa      ring atma


Artinya:
  Pradhana itu adalah acetana atau maya yang bersifat lupa atau awidya. Jika atma bersenyawa dengan unsur-unsur maya itu, maka lupalah ia, sebab unsur-unsur maya itulah yang membuat atma itu menjadi awidya.

Bandingkan pula sloka di atas dengan sloka di bawah ini:
Prusah prakrtistho hi bhunkte prakrti jan gunan,
Karanam guna sangosya sada sadyoni janmasu.
(Swami Vireswarananda, hal 384).
Artinya:
  Oleh karena Purusa (Atma) berada dalam Prakerti (Maya), maka ia mengalami segala objektivitas dari triguna yang ditimbulkan oleh unsur-unsur Maya itu. Dengan adanya ikatan daripada objektivitasnya triguna itulah yang menjadi sebab kelahirannya dalam keadaan suka dan duka.



  Dalam hubungannya dengan maya, maka atma dapat dikatakan seolah-olah terhukum dan dalam menjalankan hukuman itu ia memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai berikut:
•Sebagai sumber hidup dari alam pikiran (citta) dan badan jasmani semua makhluk.
•Bertanggung jawab terhadap perbuatan semua makhluk.
•Menjadi tenaga hidup dari badan halus semua makhluk.

  Kaitan fungsi di atas satu dengan lainnya sangat erta sekali sebab fungsi yang satu sering menjadi akibat dari fungsi yang lainnya atau sebaliknya. Oleh karena demikian halnya, maka kedudukan atma dalam hubungannya dengan setiap makhluk adalah sangat penting, karena tanpa atma makhluk itu tidak akan dapat hidup dan atma tetap bertanggung jawab terhadap perbuatan semua makhluk.


Hubungan atma dengan unsur alam pikran dan badan jasmani sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Dlm Wrhaspati-tattwa dinyatakan:
Ikang sarira yata kaharan kadhatwan, ikanang tryantah-karana ngaranya ikang budhi, manah, ahamkara yata kaharan senapatya, ikang indriya ya ta kaharan punpunanya lawan katika, ikang wisaya sabdadi ngaranya, ikang sabda, sparsa, rupa, rasa, gandha, yekangken bhoga pinangan ininum sadakala, sanghyang Atma sirangken ratwa, mamukti ika kabeh. Jenek pwa sanghyang Atma mabhoga-bhoga ngkana ring sarira, yata matangyan tar weruh ri awak nira, tan matuturi jatinira. Nimittanya nihan, inget-ingeten temen-temen, ia weruhaning atmeriya mangde yan pamuharang sukaning sarira, yata matangyan hanamrih mabawah-bawah, hana sawan-sawan, magaga, mapande, hundagi, asing atah saprakaraning mangdadya kena suka, ya ta ginawenya helem-helem, tapwan ketemu ikang suka, ya ta hetunya kasakitan, nghel ning maikul-mikul, manglangdak, manghudan, kapwa yan malapa, welekang, panastis, ndoyan, dadyaning suka pawehnya, irikag dasendriya, padhanya kadyangganing katik tunggal, ngka tan angga tan lakwakena pakonkonya sowang-sowang, matangyan sangsarekang katik tunggal. (Sudarshana Devi, 35, hal 52-53).


Artinya:
•Adapun badan itu bagaikan istana, tri antah karana ; budhi, manas, ahamkara itu adalah bagaikan senapati, indriya itu seumpama pelayan, segala objek kepuasan indriya itu adalah bagaikan sabda-perintah; suara, rabaan, bentuk, rasa dan ciuman adalah ibarat bhoga atau kepuasan yg dimakan dan diminum setiap hari. Dan atma sendiri ibarat raja, yang menikmati itu semuanya. Jika atma tekun berfoya-foya menikmati kepuasan di dalam badan, itulah yang menyebabkan ia lupa akan dirinya serta tidak menyadari lagi sifat aslinya.

•Oleh karena itu, sadarilah baik-baik untuk mengetahui atma yg begitu hanya utk memuaskan kenikmatan hidup jasmani saja. Faktor itulah yg menyebabkan ada orang yg senang bersolek,  ada yg senang bekerja di sawah, di kebun, menjadi pande besi dan menjadi tukang. Pokoknya, apa saja yg menyebabkan senang itulah yang dikerjakan selalu.

•Bila kesenangan itu blm tercapai, maka ia rela menjadi susah, tahan memikul berat, rela hujan-hujanan, kelaparan, kehausan, kepanasan dan kedinginan, tujuannya selalu hendak dapat menikmati kepuasan daripada kesepuluh hawa nafsunya. Sama halnya dengan seorang budak yang tidak bisa melaksanakan perintahnya satu persatu, maka sengsaralah pelayan itu.


•Dalam melangsungkan masa hidupnya, manusia senantiasa melakukan bermacam-macam gerak dan aktivitasnya. Semua ini dilakukan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya secara lahiriah dan baitiniah. Dalam melakukan gerak dan aktivitas ini manusia selalu ditarik oleh kecenderungan-kecenderungan untuk berbuat baik dan buruk. Akibat perbuatan baik dan buruk itulah kemudian menimbulkan karma wasana yang mempengaruhi suka dukanya kehidupan manusia di dunia ini dan sesudahnya.

•Pada dasarnya manusia itu memiliki kehendak yang baik untuk mencapai suatu tujuan karena adanya keserakahan, egoisme, ingin mengatasi yang lain, merasa diri super dan sejenisnya yg mengakibatkan manusia lupa akan kesejatian dirinya dan akhirnya berbuat buruk. Perbuatan yang buruk jelaslah melanggar norma-norma yang ada sehingga menyebabkan seseorang mengalami penderitaan dalam hidup ini.


•Selama manusia hidup di dunia ini, selama itu pula ia melakukan karma. Pahala dari karma yang dilakukan pada masa hidupnya itu, semuanya akan dinikmati tanpa kecualinya. Adapun waktu menikmati pahala dari karma itu dalam ajaran agama Hindu dibagi menjadi tiga macam yaitu sancita, pradabda, dan kriyamana.

oSancita adalah pahala pahala perbuatan yang belum habis dinikmati pada masa hidup yang lampau dan akan merupakan benih untuk menentukan corak hidup pada masa yang akan datang.
oPradabda adalah karma yang dilakukan pada masa hidup sekarang ini dan hasilnya pun telah habis dinikmati pada hidup ini juga.
oSedangkan kriyamana adalah sisa-sisa pahala dari perbuatan yang belum habis dinikmati dalam hidup ini dan akan dinikmati pada waktu penjelmaan yang akan datang.

•Sesungguhnya karena karma itulah yang menyebabkan seseorang mendapatkan sorga, neraka dan moksa. Maka itu agama Hindu selalu menganjurkan terhadap semua umatnya untuk berbuat baik sesuai dengan ajaran.


Sorga dan Neraka
•Menurut kepercayaan agama Hindu bahwa sorga dan neraka itu adalah suatu kondisi bagaikan tempat peristirahatan bagi atma dengan sukma sariranya untuk menikmati pahala dari karma yang pernah dilakukan ada kehidupan di dunia.
•Jika perbuatan baik atau subha karma yang dilakukan semasa hidupnya di dunia, maka dalam sukma sariranya pun kebaikan itu akan berbekas, sehingga atma itu kelak akan dapat mencapai sorga. Demikian pula sebaliknya, bila perbuatan tidak baik atau asubha karma yang dilakukan pada saat hidupnya terdahulu maka sukma sariranya pun ditandai oleh bekas-bekas dari perbuatan buruk itu, akibatnya atma jatuh ke jurang neraka.
•Jadi secara singkat dapat disebutkan bahwa sorga itu adalah kebahagiaan akhirat yang dinikmati oleh atma sebagai akibat dari perbuatan baik, sedangkan neraka adalah penderitaan yang harus diterima oleh atma sebagai akibat dari perbuatan buruk yang dilakukan pada masa hidupnya di dunia. Sehubungan dengan itu perhatikanlah sloka berikut:
•“kunang apan alit ikang panca tan matra pinaka sariraning atma, matangyan sukma sarira ngaranya, yatika sariraning atma an paka sarira ring naraka loka, mawak ta ya ngkana, pinaka panghidepnya sangsara, yan ahala gawenya nguni ring manusa, yata hetunyan tibeng naraka. Yan ahayu gawenya nguniring manusa, yata matangyan pasarira ring swarga, pinaka panghidepnya sukha (Sudarshana Devi, 3, hal 35).

Artinya:
•Oleh karena halusnya unsur panca tanmatra yang menjadi badanya atma, itulah sebabnya maka disebut sukma sarira. Demikianlah perwujudan atma dengan badan itu di alam neraka. Dengan badan inilah dia di sana menikmati penderitaan, jika buruk perbuatannya dahulu pada waktu menjadi manusia, itulah sebabnya ia jatuh ke alam neraka. Jika baik perbuatannya dahulu pada saat hidup menjadi manusia, menyebabkan ia dapat berada di sorga, maka kebahagiaannlah yang akan dinikmatinya.

•Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam cerita-cerita agama Hindu sering dinyatakan, bahwa atma yang telah mencapai sorga itu senantiasa dapat menikmati bermacam-macam kesenangan, misalnya mendapat tempat yang baik dan indah yang dihibur oleh para bidadari yang cantik-cantik dan sejenisnya. Sedangkan atma yang berada di alam neraka itu adalah selalu mengalami penderitaan dan bermacam-macam siksaan antara lain: dijemur di lapangan yang panas terik (tegal penangsaran), diikat di bawah kayu curiga, yaitu pohon kayu yang berdaun keris, direbus dalam jambangan yang besar dan banyak lagi macam siksaan yang dialami oleh atma di alam neraka itu.


•Kendatipun demikian beratnya penderitaan yang dialami oleh atma yang berdosa itu tetapi atma tidak akan dapat mati, karena bersifat kekal. Rasa sakit akibat penderitaan itu dirasakan oleh sukmasarira yang masih bersama dengan atma itu sendiri. Selama atma masih bersama dengan sukmasarira, selama itu pula ia dapat merasakan adanya kebahagiaan dan penderitaan.

•Yang menentukan pahala terhadap amal dosa perbuatan atau subha asubha karma yang dibawa oleh atma di akhir itu adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab Tuhanlah sebagai saksi agung dan yang mahatahu terhadap segala sesuatu, baik yang pernah ada dan yang sedang ada maupun yang akan ada. Oleh karena itu, maka manusia dan semua makhluk lainnya tidak akan dapat berbohong terhadapnya dalam pengadilan akhirat.


Pada waktu beliau mengadili amal dosa daripada karma yang dibawa oleh atma itu beliau digelari Sang Hyang Yamadipati yang diiringi oleh para cikrabala dengan tugas untuk menyiksa atma yang berdosa. Dan pada saat Tuhan memberkati kebahagiaan terhadap atma yang beramal jasa, beliau digelari Sang Hyang Dharma. Dalam agastya-parwa lampiran 15 dinyatakan:

Bhatara Dharma ngaranya Bhatara Yama, sang umayatnaken subha asubha prawrttin ikang sakala janma.

Artinya:
Bhatara Dharma juga bergelar bhatara Yama, yang mengamat-amati (mengadili) amal dosa perbuatan manusia (semua makhluk).

Demikian keadaan atma dengan sukma sarira dlm hubungannya dgn sorga dan neraka. Setelah atma selesai mengalami pahala karmanya di alam sorga dan neraka, ia pun akan menjelma kembali, dan dalam penjelmaannya di dunia ini pahala dari karma itu selalu menyertainya, itulah yang menyebabkan adanya perbedaan tingkat kehidupan di dunia ini.





Moksa
•Moksa adalah suatu kebenaran dan kesempurnaan jiwa yang suci murni dan merupakan tujuan hidup tertinggi menurut ajaran agama Hindu. Dalam pembicaraan tentang moksa ini akan dikemukakan pengertian moksa, tempat moksa dan jalan untuk mencapai moksa. Selanjutnya ikutilah uraian berikut:
Pengertian Moksa
•Kata moksa adalah suatu istilah noun masculine dalam bhs Sansekerta, yang berasal dari urat kata kerja kelas enam (VI) yaitu: muc yg berarti membebaskan, memerdekakan, mengeluarkan, melepaskan. Dari urat kata kerja itu kemudian berubah menjadi mukta dalam bentuk ajektive dan mukti atau moksa dlm bentuk noun masculine. Maka itu istilah moksa mengandung makna kebebasan, kelepasan yg juga dlm istilah lain disebut nisrayasa, kaparamartan dan kadyatmikan. Dalam agama Budha istilah moksa disebut nirwana.
•Dalam ajaran Hindu yang dimaksud dengan moksa adalah terlepasnya atma dari belenggu maya (bebas dari pengaruh karma dan punarbawa) dan akhirnya bersatu dengan Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan atas keadaan atma dalam hubungannya dengan Tuhan maka moksa itu dapat dibedakan menjadi empat yaitu Samipya, Sarupya/Sadarmya, Salokya dan Sayujya. Adapun penjelasan keempat bagian moksa itu adalah itu adalah sebagai berikut:


a.Samipya adalah  suatu kebebasan yang dapat dicapai semasa hidup di dunia ini. Hal ini dapat dilakukan oleh para Yogi dan para Maharesi, Beliau dlm melakukan samadhi telah dapat melepaskan unsur-unsur maya sehingga Beliau dapat mendengar wahyu Tuhan. Dalam keadaan demikian itu atma berada sangat dekat sekali dengan Tuhan. Setelah Beliau selesai melakukan samadhi, maka keadaan Beliau kembali sebagai biasa dimana emosi, pikiran dan organ jasmaninya aktif kembali.
b.Sarupya/Sadharmya adalah suatu kebebasan di dunia, kedudukan atma telah dapat mengatasi pengaruh unsur-unsur maya. Dalam hal ini atma merupakan pancaran dari kemahakuasaan Tuhan, seperti halnya Sri Kresna dlm Bhagawad Gita menyatakan; walaupun atma mengambil suatu perwujudan tertentu, namun tdk terikat oleh segala sesuatunya.
c.Salokya adalah suatu kebebasan yang dapat dicapai oleh atma, dimana atma itu sendiri telah berada dlm posisi dan kesadaran yg sama dengan Tuhan. Dlm keadaan seperti itu dpt dikatakan bhw atma itu telah mencapai tingkatan Dewa yg merupakan manifestasi dari Tuhan itu sendiri.
d.Sayujya adalah suatu tingkat kebebasan yang tertinggi, dimana atma telah dapat bersatu dengan Tuhan. Dalam keadaan seperti inilah muncul sebutan Brahma atma aikyam yakni atma dengan Tuhan telah menjadi satu.




Lain daripada yg telah tersebut di atas, maka ada lagi istilah lain yg dipakai untuk mengklasifikasi tingkat kebebasan atau moksa itu, yaitu Jiwan Mukti, Wideha Mukti/Krama Mukti dan Purna Mukti.
§Jiwan Mukti ialah suatu kebebasan yang dapat dicapai semasa hidup, dimana atma tidak terpengaruh oleh indriya dan unsur-unsur maya lainnya. Dengan demikian maka Jiwan Mukti ini sifatnya sama dengan Samapya dan Sarupya/Sadharmya.
§Wideha Mukti/Krama Mukti ialah suatu kebebasan yang dapat dicapai semasa hidup, dimana atma telah meninggalkan badan kasar, tetapi wasana dari unsur maya tidak kuat lagi mengikat atma itu. Dalam keadaan seperti ini kesadaran yang dicapai oleh atma sudah setarap dengan Tuhan, tetapi belum dapat bersatu karena masih adanya imbas dari unsur maya. Dengan demikian maka Wideha Mukti/Krama Mukti ini dapat disamakan dengan Salokya.
§Purna Mukti ialah suatu kebebasan yang paling sempurna dan tertinggi, dimana atma telah dapat bersatu dengan Tuhan. Purna Mukti sama sifatnya dengan Sayujya.
Demikianlah tingkatan-tingkatan moksa yang dialami oleh atma dari tahap permulaan sampai dengan tahap yang terakhir sesuai dengan keadaan dan posisi dari atma itu sendiri.



Tempat Moksa
•Dimanakah sesungguhnya tempat moksa itu, adakah tempat tertentu yang khusus untuk bertemunya atma dengan Tuhan untuk menikmati kepasan itu? Demikianlah pertanyaan yang muncul. Untuk mendapatkan gambaran jawaban dari pertanyaan itu, ikutilah uraian berikut.
•Agama Hindu tidak mengajarkan adanya suatu kerajaan Tuhan yang berada di suatu tempat tertentu yang khusus untuk itu. Dalam ajaran tattwa dinyatakan bahwa Tuhan ada dimana-mana, oleh karena demikian maka kebebasan atau moksa itu tidaklah terikat oleh sesuatu tempat tertentu dan mengkhusus. Dalam sloka dibawah ini dinyatakan:
  Moksasya na hi wasosti na gramantaram ewa wa, Ajnana hrdaya
  granthi naso moksa iti smrtah (S.Radhakrisnan, hal 118).
Artinya:
Moksa itu bukan berada dalam suatu tempat tertentu dan bukan pula seperti suatu kampung yang mudah dituju oleh seseorang yang ingin mendapatkannya. Hancurnya kegelapan dalam alam pikiran itulah yang disebut moksa.
Oleh karena itu, maka yang menjadi kunci pertama membuka jalan menuju moksa adalah lenyapnya maya dalam pikiran itu sendiri, sehingga atma mendapatkan kebebasan yang sempurna.




Jalan Untuk Mencapai Moksa.
•Sebab utama yang menjadi kendala untuk mencapai moksa adalah alam pikiran yang diselubungi oleh unsur maya. Bila alam pikiran itu diselubungi oleh maya, maka terjadilah kegelapan yang dapat membawa kepada tindakan yang bertentangan dengan dharma. Atas dasar inilah agama Hindu senantiasa selalu menganjurkan kepada umatnya untuk menyucikan pikirannya. Salah satu jalan untuk menyucikan pikiran itu adalah Yoga. Sehubungan dengan itu perhatikanlah sloka berikut.
  Yunjannewam sadatmanam yogi wigata kalmasah,
  Sukhena brahma samsparsam atyantam sukham asnute
  (Swami Vireswarananda, hal 197).
Artinya:
•Seorang Yogi yang bebas dari segala noda dan dapat mengendalikan pikirannya, adalah sudah dapat mencapai kebahagiaan yang tertinggi, yaitu bersatu dengan Tuhan.
•Sesungguhnya banyak jalan untuk mencapai moksa, tetapi dalam uraian ini akan dikemukakan beberapa jalan saja, yaitu; Tri Karana/Tri Sadhana dan Catur Marga/Yoga. Semua jalan tersebut diatas, bila dijalankan dengan kesungguhan hati akan membawa seseorang kepada kelepasan. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:

Tri Karana/Tri Sadhana
•Tri Karana atau Tri Sadhana adalah tiga sebab (karana) atau alat (sadhana) yang dapat menuntun manusia untuk mencapai moksa. Ketiga sebab atau alat itu adalah jnanabhyudreka, indriyayogamarga, dan tresnadosa ksaya. Ketiga bagian ini memiliki hubungan yang erat sekali satu dengan lainnya dan tidak dapat dipisahkan.
•Jnanabhyudreka adalah mahir dalam segala macam ilmu pengetahuan mengenai ajaran filsafat kerohanian. Dengan mengetahui hakikat dari kebenaran yang diajarkan oleh tattwa darsana, maka orang akan mendapat pedoman dan tuntunan untuk mengenal dirinya sendiri, dari mana asalnya dan kemana perginya setelah ia meninggal. Seseorang yang telah dapat mencapai hakikat kebenaran itu, maka ia akan dapat mencapai moksa.


•Indriya yoga marga adalah pengendalian aktivitas indriya atau emosi. Jika indriya atau emosi itu selalu diikuti geraknya dan dipenuhi kepuasannya akan sangat berbahaya. Karena pada umumnya segala keinginan yang muncul dari nafsu yang berlebihan akan menimbulkan dosa. Maka itulah indriya atau emosi itu dikendalikan agar seseorang mencapai ketenangan dalam dirinya. Jika seseorang telah mencapai ketenangan dalam dirinya, maka ia tidak lagi terikat akan suka dan duka. Sehingga dengan demikian ia akan mudah mencapai kelepasan, karena dalam dirinya telah terdapat ketenangan yang mendalam.
•Tresnadosa ksaya adalah mengurangi dosa dan rasa cinta kasih yang lekat. Adapun cara untuk mengurangi dosa dan rasa cinta kasih yang lekat itu adalah dengan melaksanakan ajaran indriya marga yoga yang tersebut di atas dengan sebaik-baiknya.


•Dalam kehidupan ini memang perlu adanya rasa kasih sayang antara sesama, akan tetapi janganlah terikat atau lekat terhadap apa yang dicintai atau disayanginya itu. Sebab kalau seseorang yang tetap lekat terhadap apa yang dicintai, itu berarti mereka memberi kebebasan terhadap indriyanya sehingga bertentangan dengan ajaran indriya marga yoga itu.

•Dan rasa yang lekat terhadap sesuatu itu biasanya cenderung mengarah kepada asubha karma yang menyebabkan atma terikat oleh unsur maya. Oleh karena atma terikat oleh maya, maka muncullah kelahiran yang berulang-ulang dan penderitaan silih berganti.



Catur Marga Yoga
Catur marga yoga ialah empat jalan atau cara untuk bersatu dengan Tuhan. Adapun yang termasuk catur yoga marga itu adalah jnana yoga marga, karmayoga marga, bhakti yoga marga, dan raja yoga marga. Keempat ajaran itu memiliki keterkaitan yang erat satu dengan lainnya sehingga dengan demikian sulit untuk dipisahkan dalam pelaksanaannya. Walaupun demikian dominasi dari setiap ajaran ini akan dapat terlihat, dan semua itu tergantung dari kemampuan setiap orang. Untuk jelasnya catur marga akan diuraikan sebagai berikut.
qJnana yoga marga adalah jalan atau cara untuk dapat bersatu dengan Tuhan berdasarkan atas pengetahuan atau kebijaksanaan terutama mengenai yang diajarkan oleh Weda. Dalam kitab Upanisad dinyatakan bahwa pengetahuan itu ada dua macam yaitu apara widya dan para widya. Apara widya ialah pengetahuan tingkat bawahan, yang meliputi pengetahuan duniawi dan pengetahuan ajaran Weda. Sedangkan para widya ialah pengetahuan tingkat-tingkat tinggi yakni pengetahuan langsung tentang hakikat mengenai atma dan Brahman. Pengetahuan yang tergolong apara widya adalah merupakan dasar untuk mencapai para widya, maka itu kedua macam pengetahuan ini tidak dapat dipisahkan.


Seorang Jnanin yang telah memiliki pengetahuan apara widya dan para widya, mereka akan dapat mencapai hakikat kebenaran yang sempurna, karena mereka telah dapat membedakan yang kekal (nitya) dan yang tidak kekal (anitya). Sehubungan dengan itu perhatikanlah sloka berikut ini.
ksetra ksetrajnayor evam antaram jnanacaksuna,
Bhutaprakrti  moksam ca ye widuryanti te param.
(Swami Vireswarananda, hal 394).
Artinya:
•Mereka yang telah dapat melihat pandangan yang bijaksana terhadap perbedaan antara yang tidak kekal dengan yang kekal, serta bebas dari segala sebab yang menimbulkan hidupnya maya itu adalah dapat mencapai moksa.
•Hanya mereka yang telah dapat membedakan sesuatu yang kekal dan yang tidak kekal itulah sesungguhnya orang yang mengetahui dan pada akhirnya mereka akan dapat mencapai persatuan dengan Tuhan tanpa mengalami suatu rintangan.


qKarma yoga marga adalah jalan atau cara untuk dapat mencapai persatuan dengan Tuhan melalui kerja tanpa terikat. Seorang karmayogi memiliki bahwa segala apa yang dikerjakannya adalah sebagai suatu pengabdian bukan sebagai suatu usaha untuk mencapai kemewahan dan kemasyuran. Sebab pada hakikatnya kemewahan dan kemasyuran itu adalah bersifat tidak kekal, bahkan sering menimbulkan keangkuhan dan kesombongan.
Untuk dapat bekerja tanpa terikat akan hasilnya, hendaklah seseorang dapat menguasai pikiran dan gerak indriyanya dengan pengertian bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya adalah merupakan suatu kewajiban bukan yang lain. Sehingga dengan demikian unsur-unsur maya tidak dapat mempengaruhi atmanya, maka dengan demikian mereka dapat mencapai kebenaran yang tertinggi atau moksa. Selanjutnya ikutilah sloka berikut:
Asakta budhin sarwatra jitatma wigatasprhan,
Naiskarmya siddhim paramam samnyasenadhigacchati.
(Swami Vireswarananda, hal 511).
Artinya:
Dia yang pengetahuannya tidak lekat kesana kesini yang pikirannya terkendali kan dan bebas dari pengaruhindriya serta tidak terikat oleh sesuatu harapan, akan dapat mencapai kebebasan yang tertinggi dalam pelaksanaan karma.


GANAPATI TATTWA

•Ganapati tattwa merupakan salah satu ajaran tattwa dalam agama Hindu yang ditulis dalam lontar. Sama halnya dengan ajaran tattwa yang lain seperti whraspati tattwa, tattwa jnana maupun bhuwana kosa, ganapati tattwa juga mengajarkan tentang hakikat kebenaran alam semesta (bhuwana agung) maupun manusia itu sendiri (bhuwana alit), konsepsi tentang ketuhanan, etika dan jalan untuk mencapai tujuan yang tertinggi (moksa). Dalam hubungan dengan teori tentang ciptaan, diuraikan tentang proses penciptaan alam semesta itu berawal dari tidak ada apa-apa hingga pada perkembangan maupun proses kembalinya ciptaan itu ke sumber asalnya, yaitu Tuhan itu sendiri sebagai kebenaran yang paling absolut.


•Tujuan hidup manusia yang dipandang paling utama adalah mengusahakan agar pada waktunya nanti dapat mencapai alam moksa, yaitu kembalinya bersatu atma dengan sumber asalnya. Usaha ke arah itu diantaranya diajarkan melalui yoga yang dilandasi dengan pengetahuan kerohanian tentang hakekat yang maha gaib, karenanya pengetahuan yang diajarkan dalam ganapati tattwa bersifat rahasia. Seseorang yang hendak memperdalam ajaran ganapati tattwa tersebut perlu terlebih dahulu melaksanakan ajaran kesusilaan dengan baik. Sangat dipantangkan untuk menyampaikan ajaran ini kepada orang yang ajaran kesusilaan dengan baik. Sangat dipantangkan untuk menyampaikan ajaran ini kepada orang yang tidak memiliki kepercayaan dan kesusilaan dalam hidupnya.



Setelah mempelajari modul ini anda diharapkan mampu memahami konsep ajaran ganapati tattwa secara umum serta mengambil inti sarinya untuk menunjang pengetahuan ajaran agama Hindu umumnya. Lebih lanjut setelah mempelajari dan memahami keseluruhan daripada kegiatan belajar yang disajikan dalam modul ini secara khusus anda diharapkan dapat:
a.Memahami konsep ajaran ganapati tattwa secara utuh.
b.Membandingkan konsep ajaran ketuhanan antara ganapati tattwa dengan konsep Ketuhanan menurut ajaran dalam sumber yang lain.
c.Memahami teori tentang ciptaan alam semesta (bhuwana agung) maupun manusia (bhuwana alit).
d.Meningkatkan kesusilaan dan disiplin kehidupan yang selaras dengan ajaran dharma.
e.Meningkatkan keimanan dan keyakinan terhadap Kemahakuasaan Hyang Widhi sebagai Maha Pencipta dan sumber segala ciptaan yang ada.


GAMBARAN UMUM GANAPATI TATTWA
A.   Bentuk penyajian ganapati tattwa.
Ganapati tattwa sebagai salah satu ajaran tattwa agama Hindu dalam penyajian memakai bentuk percakapan atau dialog. Tokoh utama yang ditampilkan sesuai dengan nama ajaran ini adalah Bhatara Gana yang juga disebut Sanghyang Ganapti atau Sanghyang Ganadipa. Tokoh ini ditampilkan sebagai penanya yang ingin mengetahui ajaran tentang kebenaran terutama yang menyangkut sumber ciptaan yang ada serta kembalinya nanti. Sebagai tokoh yang memberikan wejangan atau ajaran adalah Bhatara Siwa. Beliau dilukiskan memberikan tuntunan dan penjelasan kepada Sanghyang Ganapati atas pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan.


Penyajian dalam bentuk dialog atau percakapan lebih-lebih untuk menyampaikan ajaran tattwa yang sering materinya sulit dipahami memang terasa memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan penyajian dalam bentuk uraian biasa.
Dalam bentuk percakapan atau dialog penyajian menjadi lebih menarik dan tidak menjemukan karena disela-sela penjelasan yang disampaikan diselingi pertanyaan. Disamping itu untuk bagian-bagian ajaran yang dipandang sulit dan memerlukan penjelasan yang agak panjang, pembaca diajak untuk lebih memusatkan perhatiannya, karena diselingi dengan bentuk pertanyaan untuk mendapat uraian yang lebih jelas lagi.
Hampir sama dgn bentuk penyajian dalam ganapati tattwa, ajaran wrharpati tattwa yang juga merupakan ajaran ttg tattwa, juga memakai penyajian dalam bentuk percakapan. Di samping beberapa materi ajarannya yg berbeda, tokoh penanya nya juga lain. Dalam ganapati tattwa yang bertanya adalah bhatara gana sdgkn dlm wrharpati tattwa tokoh yg bertanya adalah Bhagawan Werhaspati. Keduanya bertanya kepada Bhatara Siwa sebagai tokoh yg membeikan ajarannya.


Ganapati tattwa dalam bentuk penyajiannya mempergunakan bahasa Jawa Kuno dengan disana sini diselingi dengan teks berbahasa sansekerta. Oleh karena materi ajarannya menyangkut hal yang bersifat abstrak (niskala) banyak istilah yang sulit untuk siterkemahkan dan harus diterima dan diyakini sebagaimana adanya.

Ditampilkannya tokoh dewa-dewa seperti Bhatara Siwa sebagai maha guru yang memberikan pelajaran maupun Bhatara Gana yang meminta pelajaran menjadikan bentuk ajaran Ganapati Tattwa lebih mantap diyakini sebagai suatu ajaran tentang kebenaran, karena sumber ajarannya adalah dari Bhatara Siwa, Tuhan Yang Maha mengetahui.

Dalam modul ini hanya akan diketengahkan ajaran-ajaran yang bersifat umum sedangkan ajaran yang lebih mendalam yang memerlukan tuntunan seorang guru secara mengkhusus tidak disajikan.


B.  Jenis materi dan sifat ajaran ganapati tattwa

  Ajaran Ganapati tattwa mengetengahkan materi ajaran tentang kebenaran yang menyangkut konsepsi Ketuhanan, teori tentang ciptaan, yang diawali dari tidak ada apa-apa yang ada hanya Tuhan Yang Maha Tunggal dalam aspek yang Nirguna. Setelah mengambil bntuk Saguna Tuhan melahirkan ciptaan yang bersumber dari diri beliau sendiri.

  Ciptaan tentang alam semesta (bhuwana agung) maupun manusia (bhuwana alit) diajarkan sejak awal ciptaan itu, proses kejadiannya hingga pada saat kembalinya ciptaan itu kesumber asalnya bila saatnya telah tiba. Jalan atau cara yang dapat mengantarkan manusia khususnya untuk kembali ke asalnya juga diajarkan dalam bentuk ajaran tentang yoga, yang agak berbeda bila dibandingkan dengan yoga patanjali. Pelaksanaan yoga dilandasi dengan pengetahuan tentang kehidupan yang sangat rahasia itu.


Sifat ajaran Gnapati tattwa dengan mudah dapat diterka bahwa ajaran itu adalah ajaran yang bersifat Siwaistis. Hal itu jelas sekali dapat diketahui antara lain:
a.Tokoh yang ditampilkan sebagai maha guru yang memberikan ajaran tentang kebenaran itu adalah Bhatara Siwa, sehingga ajarannya pun sudah jelas adalah ajaran yang bersifat Siwaistis.
b.Dilihat dari materi ajarannya yang mengungkapkan tentang konsepsi panca dewata, dimana Siwa sebagai sumber segalanya.
c.Brahma, Wisnu Iswara merupakan tiga unsur manifestasi Tuhan yang dipandang sebagai badannya Tuhan itu sendiri. Hal itu juga dengan jelas mengingatkan kita pada ajaran tentang Tri Murti yang merupakan ajaran Siwa Sidhanta.
d.Lebur dan menyatunya kembali atma dengan sumber asalnya pada waktu mencapai moksa dilukiskan dengan Ganapati tattwa menyatu ke dalam Parama Siwa.


Dari semuanya itu Ganapati tattwa dapat disimpulkan sebagai ajaran yang bersifat Siwaistis. Ajaran itu memandang sumber semuanya itu berasal dari yang Tunggal dan pada waktunya juga akan kembali kepada yang Tunggal. Adanya keragaman penampakan setelah proses penciptaan itu sendiri, pada hakekatnya dipandang sbg bayangan kegaiban Tuhan Yang Tunggal.

Ajaran Ganapati tattwa banyak mengungkapkan hal-hal yg berhubungan dengan rohani maupun bersifat abstrak dan rahasia. Oleh karena itu sangat ditekankan bagi seseorang yang hendak mendalami, landasan kesusilaan yang tinggi patut diwujudkan terlebih dahulu.pada bagian akhir daripada naskah Ganapati tattwa tersebut bahwa dengan tegas juga disampaikan bahwa tidak dibenarkan untuk memberikan kepada orang lain, bila tidak benar-benar bhakti, suci dan tulus hatinya. Hal ini menunjukkan bahwa ajaran itu patut dirahasiakan.


Namun demikian tidaklan berarti bahwa ajaran Ganapati tattwa tersebut tidak boleh dipelajari, melainkan yang dikehendaki dari tuntutan tersebut adalah perlunya melaksanakan kesusilaan sebagai landasan mempelajari dharma atau agama.  Dalam Sarasamuccaya juga dapat diketahui akan hal itu sebagai kutipan di bawah ini:
Prawrtti rahayu kta sadhananing rumaksang dharma, yapwan sanghyang aji, jnana pageh ekatana sadhana ri karaksanira, kunang ika rupa, si radin pangraksa irika, yapwan kasujanman, kesusilaan sadhananing rumaksa ika.
Artinya:
Tingkah laku yang baik merupakan alat untuk menjaga dharma, akan sastra suci atau ilmu pengetahuan dharma, akan sastra suci atau ilmu pengetahuan pikiran yang tetap teguh dan bulat saja merupakan upaya untuk menjunjungnya. Adapun keindahan paras adalah kebersihan pemeliharaannya, mengenai kelahiran mulia maka budi pekerti susila yang menegakkan.


Demikian keteguhan dalam keimanan serta ketekunan dlm melaksanakan ajaran dharma sangat ditekankan sebagai landasan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan suci seperti halnya dengan ajaran Ganapati tattwa tersebut.

Disinilah letak rahasianya ajaran tersebut sebab kesucian itu akan menjadi ternoda bila berada pada tempat yang tidak suci. Di samping itu karena ajarannya sendiri banyak mengungkapkan hal yang bersifat abstrak dan gaib.

Pada bagian akhir dari naskah Ganapti tattwa juga terdapat beberapa mantra suci untuk memohon menyucian (penglukatan) serta memohon perlindungan agar dari segala bentuk halangan itu penyakit yang ditujukan kehadapan Bhatara Gana sebagai dewa pelindung dan penyelamat.



METAFISIKA DALAM GANAPATI TATTWA
A.  Konsepsi Ketuhanan dalam Ganapati Tattwa
  Ganapati tattwa mengajarkan bahwa awal mula sebelum terjadinya ciptaan dilukiskan sebagai keadaan yang tidak ada apa-apa. Tidak ada alam, tidak ada ruang angkasa, tidak ada sunia, tidak ada nirwana, tidak ada ilmu, tidak ada keanekaan, tidak ada itu semua, yang ada hanyalah Tuhan dalam aspeknya yang Nirguna.
  Beliau berkenaan Parama Sukha yaitu bukan sukha karena sunia, tidak berkenaan sunia, bukan sukha karena nirwana, tidak berkeadaan nirwana, bukan sukha karena jnana, tidak berkeadaan jnana, bukan sukha karena wisesa, hanya Maha Bahagia keadaannya. Tidak berjarak, tidak dapat ditentukan tengahnya, tidak berwujud tdk berwarna tidak berartribut, halus tidak dapat dilukiskan. Tidak sukha karena ucapan, tidak berkeadaan bunyi tidak sukha karena pikiran tidak berkeadaan pikiran. Hanya berkeadaan sukha acintya, yaitu keadaan Maha Bahagia yang tidak terpikirkan.


Demikianlah keadaan Tuhan yang dilukiskan serta tidak dalam aspek Nirguna, oleh karena manusia tidak mampu memikirkan sampai ke arah itu, karena tidak ada pengetahuan dan serba tidak.
Dari Sanghyang Sukha Acintya, dalam evolusinya muncullah Sanghyang Jnana Wisesa yaitu pengetahuan yang maha mulia. Tidak ternoda berkeadaan sebagai jnana, tidak terjangkau dan berkeadaan wisesa (maha kuasa). Beliau tidak terpengaruh oleh sunia, sebab beliau berkeadaan sunia. Tidak terpengaruh oleh norwana, sebab beliau berkeadaan nirwana itu sendiri. Beliau sendiri berbadankan alam semesta ini. Beliau tidak terkena pengaruh gaib, sebab beliau sendiri berkeadaan maha gaib.
Demikianlah beliau disebut Sanghyang Jnana Wisesa dan disebut juga dengan gelar Sanghyang Jagat Karana, karena beliau memiliki pengetahuan yang maha kuasa, dan beliau sendiri juga dipandang sebagai sebab dari dunia atau alam semesta serta semua ciptaan itu. Dalam keadaan serupa Tuhan yang Tunggal tampil dalam aspek Saguna, yang menjadi penyebab dan sumber segala ciptaan selanjutnya.

Karena hendak beliau sendiri untuk menyaksikan diri beliau mengembang serta menikmati keadaan diri beliau sendiri yang berkeadaan nyata dan tidak nyata (sekala niskala), itulah sebabnya kemudian beliau menciptakan paras-para.

Yang disebut paras adalah keadaan nyata. Yang disebut para adalah keadaan yang tidak nyata. Beliau kemudian menciptakan senia sebagai bayangan beliau. Tidak ada yg mampu mengetahui bagaimana beliau menciptakan itu. Setelah Sanghyang Jagat Karana bersemayam pada sinia, munculah ciptaan beliau secara berturut-turut mulai dari Ongkaar Sudha, serta suara, kemudian keluarlah Windu Prana Suci, cemerlang warnanya ditengah-tengahnya berisi nada Prana Jnana. Sudha (bersih) keadaannya seperti kumpulan matahari bulan dan bintang sinarnya.


Demikianlah windu, bagikan embun pada ujung alang-alang yang disinari matahari, hening bagaikan pelita cahayanya memancar berkilauan. Dari windu kemudian menjadi panca dewata yaitu Brahma, Wisnu, Rudra, Iswara serta Sanghyang Sada Siwa. Demikianlah proses penciptaan Dewa Atma itu. Dari Panca Dewa Atma atau Panca Dewata itulah kemudian menjadi sumber ciptaan selanjutnya.

Diantara panca dewata tersebut, tiga diantaranya yaitu brahma, Wisnu, Siwa dipandang sebagai badannya atau wujud Tuhan itu sendiri. Ketiganya dilukiskan dalam posisi wisnu berada di sebelah kirinya Brahma dan Bhatara Siwa ada ditengah-tengah. Seperti telah diungkapkan di depan keadaan Tuhan (Bhatara Siwa beliau Maha Gaib dan tidak terpikir acintya).

Untuk memahami keadaan beliau yang Maha Gaib itu hanyalah dengan mengetahui rohaniah. Beliau dilukiskan berada dalam bathin atau dalam hati yang suci. Tempat beliau dalam bathin disebut Guhyalaya, yaitu tersembunyi dalam kegaiban. Beliau juga dilukiskan berkeadaan sebagai Sunianya sunia, lebih kecil dari yang terkecil atau disebut juga parama kaiwalya nisreyasa. Beliau tidak terpengaruh oleh suka dan duka. Disanalah pada ujung batin beliau bersemayam.




Ganapati tattwa mengajarkan untuk memuja beliau yang Maha Gaib hendaknya mempergunakan catur dasaksara atau empat belas aksara suci yaitu:

SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, YANG, ANG, UNG, MANG, ONG. Keempat belas aksara suci tersebut disebut sebagai Puspa Sumekar yang artinya bunga yang mekar serta berbau harum tiada hentinya. Dengan itulah pemujaan kehadapan Bhatara Siwa yang bersembunyi dalam kegaiban dilakukan setiap saat.

Dalam prakteknya menurut ajaran agama Hindu pemujaan kehadapan Tuhan dalam berbagai manifestasinya memang dilakukan dengan sarana bunga yang mekar dan segar serta berbau harum, disertai dengan doa-doa pujaan yang dirangkai dari aksara-aksara suci.

Manifestasi Tuhan dalam aspek beliau sebagai Brahma dilukiskan berwarna merah, bermuka empat, bermata tiga dan bertangan empat. Bhatara Wisnu dilukiskan berwarna hitam, bertangan empat bermata tiga. Bhatara Wisnu dilukiskan bermata tiga, bertangan empat dan berwarna putih.

2 komentar:

  1. saya mau saran kak unt penggunan fontnya mungkin bisa di rubah, atau tulisannya tidak di kapital semua, sebab saya menemukan kesulitan saat membacanya, terima kasih.

    BalasHapus
  2. Sebenernya bagus, tapi fontnya bikin sakit mata

    BalasHapus