|
Mata
Kuliah : Acāra Agama Hindu II
Pokok
Bahasan : Yajña
Sub
Pokok Bahasan : Upakāra Yajña
Materi : Banten Pejati
Semester : VI (Empat)
Pertemuan
ke : 4
Hari
/Tanggal : Kamis,…….
Pengampu : made
waisnawa putra
Teknik : Partisipatif (diskusi)
Media : Infocus
Oṁ
Swastyastu
A.
Pendahuluan
Upakāra dan Upacāra merupakan bagian dari ajaran
agama Hindu yang sering disebut dengan “Yajña”. Yajña berasal dari kata “Yaj”
yang artinya ”korban suci atau persembahan suci”. Korban suci yang dimaksud
adalah suatu korban yang dilandasi pengabdian, cinta kasih dengan niat hati
yang suci dan tulus ikhlas. Yang dimaksudkan dengan tulus ikhlas dengan tidak
mengikatkan diri pada hasil. Sedangkan Upakāra itu sendiri berasal dari kata
“Upa” yang artinya berhubungan dengan, dan “Kara yang berarti
perbuatan/pekerjaan/tangan. Jadi pengertian Upakāra di sini berarti segala
sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan/pekerjaan/tangan, yang pada umumnya
berbentuk materi, seperti daun, bunga, buah-buahan, air, dan api, sebagai
kelengkapan dari suatu Upacāra. Kemudian Upacāra berasal dari kata “Upa” yang
artinya berhubungan dengan, dan kata “Car” yang berarti gerak, kemudian
mendapat akhiran “a”, merubah kata kerja menjadi kata sifat yang artinya
gerakan. Jadi upacāra adalah sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan
(pelaksanaan) dari suatu Yajña.
Upakāra dan Upacāra adalah salah satu bagian dari
pelaksanaan Yajña sebagai dasar pengembalian tiga hutang manusia (Tri Rna).
Weda mengajarkan bahwa Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, menciptakan
alam semesta ini berdasarkan Yajña. Karena itu manusia yang bermoral akan
merasa berhutang kepada Sanghyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa. Leluhur/Orang tua,
dan Para Maharsi, yang telah memberikan kehidupan, tuntunan, dan pengetahuan
suci sehingga seseorang mampu untuk hidup, berbuat, dan berkarya di jalan
Tuhan.
Umat Hindu di Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari mengamalkan ajaran agamanya melalui simbolisasi pemaknaan terhadap
berbagai sarana prasarana sebagai kelengkapan dari suatu upacāra keagamaan. Dan
ini merupakan bentuk aktivitas keberagamaan yang dapat menjangkau semua tingkat
kemampuan umat untuk memahami akan nilai-nilai spiritualnya. Oleh karena itu upakāra-upacāra
(Yajña) memberikan wahana pendakian secara bertahap kepada setiap umat Hindu
yang melaksanakan upacāra Yajña tersebut. Pendakian bertahap yang dimaksud
adalah pendakian menuju tahapan kerohanian yang semakin hari semakin meningkat.
Dalam kitab Manawa Dharma Sastra menyatakan bahwa pelaksanaan Yajña itu harus
disertai dengan ketulusan hati dan
keyakinan diri, sebab pada hakekatnya dengan berYajña seseorang dapat menolong
dirinya untk mencapai tingkat hidup yang lebih sempurna.
“Śraddhāyestam
ca purtam ca, nityam kuryuda tandritah, Śraddhākrite hyaksaye te bhawatah
swagatairdhanaih”.
Artinya :
Ia hendaknya tanpa mengenal jerih payah, selalu
menghaturkan Upacāra-Upacāra korban serta melakukan pekerjaan-pekerjaan amal
yang dilaksanakan penuh kepercayaan kepada Tuhan, sebab persembahan dan pekerjaan
amal dilakukan dengan kepercayaan dan dengan uang yang didapat secara halal,
mendapatkan pahala yang tak henti-hentinya.
Sloka tersebut menjelaskan bahwa Yajña merupakan
korban suci yang dipersembahkan kepada siapa pun yang patut menerimanya, dimana
pemberian itu disertai dengan ketulusan hati, cinta kasih, dan kepercayaan yang
membathin demi kesejahteraan bersama dan kedamaian abadi.
a.
Dasar Pelaksanaan Upakāra-Upacāra(Yajña)
Hakikat hidup dan kehidupan
manusia tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena hidup dan kehidupan
seseorang tergantung daripada hidup dan kehidupan dengan sesamanya. Itulah yang
menyebabkan setiap insan hamba Tuhan yang sadar akan kehidupannya sebagai umat
beragama untuk selalu ingin berkorban, saling tolong menolong dan saling
memberi secara timbal balik. Tingginya tarap kehidupan manusia ditandai oleh
budhi pekertinya, tingkah laku, dan pengorbanannya demi kepentingan umum dan kesejahteraan
dunia, bahkan sampai rela mengorbankan jiwa raganya. Dan ini dilakukannya
dengan ketulusan, keikhlasan, dan dengan niat hati yang suci demi kesentosaan
serta dengan lebih meningkatkan kwalitas
Śraddhā dan bhaktinya kepada Yang Maha Kuasa/Sanghyang Widhi Wasa. Dalam kitab
Manawa Dharma Sastra disebutkan : “Agnon prastha hutih samyang, adityam
upastistate, adityayate wretir, wreste rsnam tatah pryah”.
Artinya :
Persembahan yang
dipersembahkan ke dalam api suci, akan mencapai matahari, dari matahari
turunlah hujan, dari hujan maka tumbuhlah makanan, dari makanan mahkluk hidup
mendapatkan hidupnya.
Sloka tersebut menjelaskan
bahwa dari makananlah manusia dapat mempertahankan hidupnya, makanan tumbuh
karena adanya pancaran sinar Matahari yang mengabkibatkan menguapnya
titik-titik air di Samudera, yang kemudian turun menjadi hujan. Demikian siklus
kehidupan ini, yang selalu dilandasi oleh adanya pengorbanan yang tulus ikhlas
(Yajña).
b.
Tujuan Melakukan Yajña.
Semua perbuatan tentu memiliki tujuan,
tanpa tujuan semua perbuatan ibarat perahu tanpa kendali sehingga terOṁ bang-ambing
tidak menentu. Begitu pula halnya dengan kita melakukan Yajña, sudah barang
tentu memiliki tujuan, yang pasti disini adalah dalam rangka menciptakan suatu
kehidupan yang bahagia, dan sejahtera, lahir maupun bahtin. Dalam kitab Manawa
Dharma Sastra VI.35 menyebutkan bahwa pikiran (manah) baru dapat ditujukan
kepada kelepasan setelah manusia membayar hutang moral (rna), yakni kepada
Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa, orang tua/leluhur, dan kepada para maharsi. Untuk membayar hutang moral tersebut, manusia memiliki kewajiban
moral pula untuk membayarnya melalui korban suci (Yajña). Hutang moral kepada Tuhan/Sanghyang Widhi
Wasa diwujudkan dalam bentuk Dewa Yajña dan Bhūta Yajña, hutang moral kepada orang tua/leluhur di
wujudkan dalam bentuk Pitra Yajña dan Manusa Yajña, sedangkan hutang moral
kepada para maharsi diwujudkan dalam bentuk Rsi Yajña.
Disamping itu pula tujuan kita melaksanakan upakāra-upacāra (Yajña),
pertama : sebagai pengejawantahan
ajaran agama, melalui bentuk simbol-simbol (niyasa) agar mudah dipahami,
dihayati, dan dilaksanakan oleh umat
Hindu dalam rangka meningkatkan kemantapan diri didalam pelaksanaan kegiatan keagamaan
itu sendiri. Kedua, sebagai ungkapan rasa terima kasih, karena pada hakikatnya manusia tidak
dapat lepas dari ketergantungan dengan yang lain. Ada tiga jenis ketergantungan
manusia, yakni ketergantungan manusia dengan Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa yang telah
menciptakan kehidupan, memelihara, dan memberi kebutuhan hidup. Kemudian
ketergantungan kepada orang tua/leluhur yang telah melahirkan, mengasuh, dan
membesarkannya, selanjutnya ketergantungan yang ketiga adalah ketergantungan
kepada para maharsi yang telah memberikan ilmu pengetahuan suci untuk
membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan menuju suatu kehidupan yang
sejahtera dan bahagia lahir bathin. Kemudian tujuan yang ketiga kita melaksanakan upakāra-upacāra (Yajña) adalah untuk
meningkatkan kualitas diri melalui proses penyucian diri dengan menumbuhkan
rasa keikhlasan dengan mengurangi keakuan, dalam bentuk byakala, prayascita,
dan lain sebagainya. Dan tujuan keempat
adalah meningkatkan kesucian Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit, melalui upacāra
Caru, Tawur Agung dan Penglukatan.
B.
Upakāra Bebantenan Dan Makna Simbolisnya
- Landasan Filosofis.
Banten atau bebantenan merupakan ciri khas yang
unik bagi masyarakat Hindu di Bali, dan ini dikaitkan dengan daya cipta
masyarakat setempat, yang memiliki nilai religius, magis, yang mengandung nilai
budaya seni dan adat. Banten membuat orang menjadi terpesona karena daya seni
yang ditampilkannya dengan berbagai keindahan dalam penataan sebuah karya
spiritual, sebagai sarana untuk mendekatkan diri penyembah dengan yang disembah
yakni Tuhan Yang Maha Esa/Sanghyang Widhi Wasa. Dalam kitab Bhagawad Gita
disebutkan bahwa dunia mengalir dari tubuhKu. Dunia Aku jadikan dengan
pengorbanan diriKu. Manusia Aku jadikan atas dasar hukum Yajña, karena itu
manusia wajib melakukan Yajña. Barang siapa tidak melakukan Yajña adalah dosa.
Yajña yang paling mulia adalah penyerahan diri sepenuhnya hanya kepada-Ku.
Pernyataan inilah yang kemudian menggerakkan
kegiatan keagamaan dalam bentuk Upakāra bebantenan. Banten atau bebantenan
sesungguhnya dalam penataannya merupakan perwujudan Manu (manusia) yang
dikorbankan kepada Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa. Karena itu pula, dalam
mempersembahkan banten kehadapan Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa, disusun atas dasar
konsep triangga, sehingga ada banten
yang berkedudukan sebagai utama angga atau hulu (kaja atau kangin), kemudian
madya angga atau bagian badan (tengah)
dan nista angga atau bagian kaki yakni di teben (kelod kauh).
Dalam filsafat Samkhya disebutkan bahwa dunia
terdiri dari dua unsur yakni purusa dan pradana (prakerti). Purusa merupakan
jiwa alam semesta, sedangkan pradana atau prakerti merupakan unsur jasmani yang
terdiri dari unsur Panca Maha Bhūtadan Panca Tan Matra. Konsepsi ini pula yang
melandasi dalam pembuatan banten khususnya dilihat dari unsur-unsur banten,
terutama untuk banten yang berfungsi sebagai hulu atau linggih Sanghyang Widhi
Wasa misalnya banten Suci, Catur atau Dewa-dewi, dan Daksina.
- Banten sebagai simbol penyerahan diri secara total.
Mengingat banten merupakan perwujudan dari
manusia, maka dengan demikian banten memiliki makna sebagai simbol penyerahan
diri manusia secara totalitas, yang didasari ketulusan hati dan niat yang suci.
Hal ini tercermin dari tatuasannya (potongannya), yang menunjukkan keindahan seni
yang ditampilkan, menyimbolkan perasaan cinta kasih dan bakti yang demikian
agungnya sehingga melahirkan getaran hati dan pikiran untuk mempersembahkan
yang terbaik dan termulia kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Sanghyang Widhi Wasa
sebagai pemberi anugrah berupa kesejukan kepada sang pemuja. Dunia ini tercipta
karena adanya unsur purusa dan pradana (prakerti).
Pradana (prakerti) sebagai unsur
jasmani terdiri dari
unsur Panca Maha Bhūtayakni dari unsur apah, teja, pretiwi, bayu dan
akasa. Kelima inilah yang membentuk unsur-unsur
banten terutama untuk banten hulu (lingga Sanghyang Widhi Wasa). Dari
kelima unsur inilah kemudian berkembang menjadi berbagai bentuk unsur. Unsur kehidupan dalam air (apah) ada dua jenisnya, yakni air tawar
dan air laut. Mahkluk hidup diair tawar misalnya ikan nyalian, lele, yuyu,
udang, kakul dan sebagainya, sedangkan yang hidup diair laut ikan teri
(gerang), teripang, ikan pari (be pai). Unsur kehidupan dalam tanah (pertiwi),
misalnya kacang-kacangan dan ini termasuk jenis pala gantung, sedangkan
umbi-umbian tergolong jenis pala bungkah. Kemudian yang mewakili unsur akasa,
adalah binatang buruan, sedangkan yang mewakili unsur teja, adalah asap, dupa
dan lain-lain. Semua disusun demikian indahnya yang samar-samar menggambar Manu
atau manusia. Dalam memilih unsur-unsur tersebut sebagai bahan banten tidak
terlepas dari prinsip nama dan rupa.
Karena
banten merupakan wujud Manu atau manusia, maka dalam menata unsur-unsur
materinyapun hendaknya disesuaikan, misalnya dapat dilihat pada banten gebogan, kakinya disimbolkan
dengan dulang atau bokoran, badannya disimbolkan dengan raka-raka, jajan, penek
dan ayam panggangnya, sedangkan kepalanya disimbolkan dalam bentuk
jejahitan berupa kepet-kepetan. Sehingga
dalam menempatkan atau meletakkan ayam panggang, tidak boleh dipuncak banten
gebogan melainkan pada bagian badan dekat dengan dulang (bokoran). Jadi, bila
kita perhatikan secara seksama dari ketiga bagian yang menggambarkan kaki,
badan dan kepala (hulu) yang ditandai dengan canang pelausan atau
kepet-kepetan, maka dalam penggunaan kembangpun hendaknya dipilih yang dapat
memberikan arOṁ a yang demikian harum, seharum hati sang pemuja dalam melakukan
bakti persembahan.
- Arti dan fungsi Upakāra bebantenan.
Seperti telah diketahui bahwa Upakāra mempunyai
bentuk dan nama yang sangat banyak dengan susunannya cukup rumit jika dilihat
secara sepintas, apalagi bila tidak dipahami secara rinci yang akan membuat
kita semakin bingung, Suatu contoh dalam hal membuat Upakāra bebantenan canang,
apakah itu canang genten, canang sari, canang gantal, canang pengraos maupun
lainnya. Begitupun halnya dengan Upakāra
bebantenan sayut, ada sayut pengambean,
sayut sida karya, sida purna dan lain sebagainya. Yang patut untuk kita
ketahui dan perhatikan disini adalah bagaimana menyusunnya, jenis materinya dan
kegunakan dari Upakāra bebantenan tersebut serta tingat Upacāra yang akan
dibuat.
Namun secara umum Upakāra bebantenan memiliki arti
dan fungsinya dalam kita melakukan bakti persembahan, antara lain :
a)
Upakāra
bebantenan merupakan cetusan hati, untuk menyatakan rasa terima kasih baik itu
kehadapan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, maupun manifestasiNya.
b)
Upakāra
bebantenan adalah sebagai alat konsentrasi dari pikiran kita untuk memuja
Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai suatu contoh bilamana
seseorang tengah membuat atau menyusun Upakāra (bebantenan) maka ia akan
membayangkan kemana akan dibawa atau kepada siapa Upakāra bebantenan tersebut
akan dipersembahkan. Oleh karena itu wajar, bila orang tua menasehati agar pada
waktu membuat banten tidak melontarkan kata-kata yang tidak mengenakkan,
marah-marah dan lain sebagainya.
c)
Sebagai
perwujudan dari pada Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa beserta
manifesatsiNya dan juga orang yang akan di-Upacārai, misalnya daksina
palinggih, kewangen, puspa (sekah) sanggah urip dan lain sebagainya.
d)
Upakāra
bebantenan dapat dipergunakan sebagai alat penyucian, misalnya dengan
mempergunakan banten prayascita, durmanggala, byakala, penyeneng dan pesucian
serta lain sebagainya.
C.
TINGKATAN UPAKĀRA-UPACĀRA (YAJÑA)
- Tingkatan Upakāra-Upacāra (Yajña).
Dalam pelaksanaan Yajña, keikhlasan merupakan kata
kunci untuk mencapai keberhasilan dan mendapatkan kepuasan rohani. Besar
kecilnya Upacāra diatur dalam tingkatan-tingkatan yang telah ditentukan dalam
kitab Mpu Lutuk dan disesuaikan pula menurut tempat, waktu dan keadaan serta
kesucian (desa, kala, patra dan kesucian).
Dalam kitab/lontar Mpu Lutuk lebih menekankan mengenai besar kecilnya
Upakāra bebantenan di Sanggah Surya,
sedangkan dalam kitab/lontarWraspati kalpa mengatur tentang banten
ayaban di balai pesambyangan dan Bhagawan Yogis Wara menjelaskan tentang
Upakāra bebantenan lembaran. Adapun mengenai tingkatan Upakāra/Upacāra.Yajña
dibagi dalam tiga tingkatan yakni :
a)
Tingkat
Nista/Kanistama (sederhana). Tingkat nista ini dibagi pula dalam tiga bagian.
§ Kanistaning Kanistama yakni Upacāra yang
paling kecil dari tingkatan Upacāra terkecil. Disanggar pesaksi (Surya) memakai
Pras Daksina.
§ Madyaning Kanistama yakni Upacāra yang
lebih besar dari tingkatan Upacāra yang terkecil. Disanggar pesaksi (Surya)
memakai banten Suci.
§ Utamaning Kanistama yakni Upacāra yang
lebih besar dari tingkatan Upacāra yang tergolong madyaning nista. Disanggar
pesaksi (Surya) memakai Dewa - Dewi.
b)
Tingkat
madya (menengah). Tingkat menengah ini dibagi tiga bagian.
·
Kanistaning
madyama yakni Upacāra yang paling kecil dari tingkatan Upacāra yang menengah.
Disanggar pesaksi (Surya) memakai Dewa-Dewi.
· Madyaning madyama yakni Upacāra yang lebih
besar dari tingkatan Upacāra yang tergolong nistaning madya. Disanggar pesaksi
(Surya) memakai Catur rebah.
· Utamaning madyama yakni Upacāra yang lebih
besar dari tingkatan Upacāra yang tergolong madyaning madya. Disanggar pesaksi
(Surya) memakai Catur Niri dan banten dibawah/sor sanggar pesaksi menggunakan
Caru lantaran memakai Angsa.
c)
Tingkat
utama (yang paling besar/utama) juga dibagi dalam tiga bagian.
v Kanistaning utama yakni Upacāra yang
paling kecil dari tingkatan Upacāra yang besar/utama. Disanggar pesaksi (Surya)
sama dengan yang ada pada tingkatan Upacāra Utamaning madya.
v Madyaning utama yakni Upacāra yang lebih
besar dari tingkatan
Upacāra yang tergolong madyaning utama. Disanggar
pesaksi (Surya) memakai Catur Muka, sedangkan banten dibawah sanggar pesaksi (Surya) menggunakan Caru lantara memakai
Kambing.
v Utamaning utama yakni Upacāra yang lebih
besar diantara Upacāra-Upacāra Yajña lainnya. Disanggar pesaksi (Surya) memakai
Catur Kumba, sedangkan banten dibawah/sor sanggar pesaksi (Surya) menggunakan
Caru lantaran memakai Kerbau.
Pada umumnya Upacāra apapun yang dilaksanakan oleh
umat Hindu selalu berpedOṁ an pada tingkatan-tingkatan Upacāra yang telah
ditentukan. Besar atau kecil bukan berarti yang besar dan
utama itu yang baik, dan sebaliknya, akan tetapi Upakāra bebantenan yang besar itu memerlukan materi
yang banyak, sedangkan dalam Upacāra yang kecil memerlukan bahan materi yang
sedikit bahkan mungkin sangat sederhana, seperti hanya dengan dupa, bunga, dan
air. Dan juga bukan Upakāra bebantenan yang besar akan mendapatkan pahala yang
besar, atau sebaliknya akan tetapi semuanya tergantung dari keikhlasan, kesucian
dan niat hati yang luhur, yang terpenting baimana dapat menampilkan banten yang
segar. Disamping itu pula tingkatan Upacāra
yang ada, dan tertuang dalam kitab/lontar Mpu Lutuk merupakan suatu ukuran yang
tentunya disesuai dengan kemampuan atau strata sosial dari masing-masing orang
dalam masyarakat.
Dalam tingkatan Upakāra dan Upacāra yang ada dan
tertuang dalam lontar Mpu Lutuk tersebut diatas maka batasan yang menjadi
kewenangan para Pemangku (Pinandita) dalam menyelesaikan Upacāra-Yajña, menurut
Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu, menyebutkan
adalah sampai dengan medudus alit, sesuai dengan tingkat pewintenannya dan juga
atas penugrahan sang Nabe. Bila kita mengacu pada Keputusan Kesatuan Tafsir
Maha Saba PHDI, maka pengertian pedudusan alit adalah sampai tingkat Madyaning
Nista, yakni Upacāra yang lebih besar dari tingkatan Upacāra terkecil dimana di
Sanggar Pesaksi (Surya) memakai Banten
Suci. Dan ini sesuai yang tertuang dalam lontar Mpu Lutuk. Sedangkan pengertian
pedudusan agung adalah Upacāra tingkat Utamaning Nista, yakni Upacāra yang
lebih besar dari tingkat Madyaning Nista, dimana di Sanggar pesaksi (Surya)
menggunakan banten Dewa-Dewi, dan juga banten Catur. Pada tingkatan ini,
dilaksanakan oleh para Sulinggih atau Pandita.
D.
Banten Pejati
a.
Daksina
Alasnya memakai wakul / srembeng / katung yang terbuat
dari janur / slepan / blarak, kemudian di dalamnya diisi tampak, uang, porosan
/ base tempel, beras secukupnya, sebutir kelapa yang telah dibersihkan, 7 buah
kojong yang masing-masing berisi kluwek, kemiri, bumbu-bumbuan,
kacang-kacangan, telor itik mentah 1, papeselan (5 jenis dedaunan seperti :
daun salak, daun durian, daun nangka, daun manggis dan daun duku) dan
buah-buahan (pisang). Kelapa disisipi benang berwarna putih, memakai sampyan
payasan atau sampyan pusung, canang sari dan sesari daksina : adalah simbol
stana Tuhan, simbol makro kosmos
Gambar :
b.
Peras
Alasnya tamas / aledan / ceper, berisi kulit peras
kemudian disusun di atasnya beras, benang dan base tempel serta uang. Diisi
buah-buahan dan pisang secukupnya, kue, tumpeng 2 buah, rerasmen (lauk pauk)
yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari peras adalah jenis
banten permohonan agar upacara tersebut sukses (prasida)
Gambar :
c.
Soda / Ajuman
Alasnya tamas / aledan : berisi buah, pisang, kue dan
nasi berbentuk penek (bundar) 2 buah, rerasmen yang dialasi Tri Kona, sampyan
plaus / petangas, canang sari
Soda / ajuman dipakai sarana untuk memuliakan,
mengagungkan Hyang Widhi dan lambang keteguhan / kokoh.
Gambar :
d.
Ketipat Kelanan
Alas tamas / aledan / ceper berisi buah, kue dan pisang,
ketupat 6 buah (1 kelan) rerasmen dialasi tri kona ditambah 1 butir telor
mateng, sampyan plaus / petangas, lambang terkendalinya sadripu sehingga ada
keseimbangan.
e.
Penyeneng / Tehenan / Pabuat
Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga
masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok)
dan porosan adalah jejaitan yang berfungsi sebagai alat untuk nuntun,
menurunkan prabhawa Hyang Widhi (antena receiver)
Mantra :
Oṁ kaki penyeneng nini panyeneng kajenengan iru
sanghyang Brahma Wisnu Iswara Chandra Lintang terang gona
Oṁ Shri ya namah swaha
f.
Pasucian/ Pangresikan
Alas ceper yang di dalamnya berisi 7 buah tangkih kecil
yang masing-masing tangkih berisi bedak (dari tepung), bedak kuning (tepung
berwarna kuning), ambuh (kelapa diparut), kakosok (kue rengginang dibakar
hingga gosong), daun kembang sepatu dirajang, pasta (asem,jeruk) dan minyak
wangi. Di atasnya diisi takir dan aseban air cendana, dibuatkan sampyan payasan,
sisir terbuat dari janur dan cerin dari janur. Mantra Pasucian/Pangresikan:
Oṁ asta sastra empu sarining
visesa
Tepung tawar amunahaken
angilangaken sahananing sebel kandel
Cuntakaning pebhaktyaning hulun
Oṁ sanut sang kala pegat
Pegat
rampung sahananing visesa
Oṁ shri Devi bhatrimsa yogini ya namah
Oṁ gagana murcha ya namah svaha.
g.
Segehan
Alasnya aledan / ceper diisi 12 tangkih dan 1 trikona
dan masing-masing berisi nasi dengan lauk pauk bawang, jahe, garam.
Pejati Katur ring Sanghyang Catur
Lokaphala :
1.
Peras : kepada Sanghyang Iswara
2.
Daksina : kepada Sanghyang Brahma
3.
Tipat : kepada Sanghyang Wisnu
4.
Soda : kepada Sanghyang Mahadewa
h.
Beberapa makna filosfis dalam pejati
1.
Srembeng / wakul / srobong /
katung adalah lambang Hukum Rta yaitu hukum abadi Tuhan
2.
Tampak dara merupakan simbol
keseimbangan baik makro kosmos maupun mikro kosmos
3.
Porosan / base tumpel merupakan
lambang dari konsep Tuhan sebagai Brahma (pinang), Wisnu (sirih), Iswara
(kapur) dan Mahadewa (plawa)
4.
Kelapa simbol pawitra (air
keabadian / amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari 7 lapisan sapta
loka karena ternyata kelapa terdiri dari 7 lapisan dari kulit luar hingga air
di dalamnya.
5.
Kluwek lambang pradhana /
prakerti / unsur kebendaan / perempuan
6.
Kemiri lambang purusa / unsur
kejiwaan / laki-laki
7.
Papeselan lambang Panca Dewata
; daun duku : Iswara; daun manggis : Brahma; daun durian : Mahadewa; daun
salak: Wisnu; dan daun nangka : Siwa
8.
Bumbu-bumbuan dan
kacang-kacangan lambang sad rasa dan lambang kemakmuran
9.
Beras lambang ibu pertiwi
(Anantha Boga)
10.
Benang pada daksina lambang
naga Anantha Boga, Bhasuki dan Taksaka dalam proses pemutaran mandara giri
untuk mencari amertha. Benang disini juga berarti alat/media penghubung antara
pemuja dan yang dipuja
11.
Telor mentah (itik) simbol awal
dari kehidupan / getar-getar kehidupan, lambang bhuana alit. Telor terdiri dari
3 lapisan seperti pada manusia yaitu badan wadag, badan roh dan badan penyebab
12.
Sesari pada daksina sebagai
lambang saripati dari pekerjaan
13.
Sampyan payasan / pusung /
simbol dari konsep utpati, sthiti dan pralina (tri kona)
14.
Aled peras / kulit peras untuk
dapat berhasil diperlukan persiapan yaitu pikiran benar, ucapan benar,
pandangan benar dan tujuan benar
15.
Daun plawa è
lambang kesejukan
Bunga è lambang cetusan perasaan
Bija è benih-benih kesucian
Ari è lambang pawitra / amertha
Api è saksi dan pendetanya Yajña
16.
Tri kona : upti, sthiti,
pralina
17.
Tamas : cakra atau perputaran
hidup atau windu (simbol kekosongan yang murni/ananda)
18.
Ceper : catur marga (bhakti,
karma, jnana dan raja marga)
i.
Mantra Pejati (
Daksina, Ajuman, Katipat Kelanan)
Oṁ
Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ
Siva sutram yajna pavitram paramam
pavitram
Prajapatir
yogayusyam
Balam
astu teja paranam
Guhyanam
triganam trigunatmakam
Oṁ
namaste bhagavan Agni
Namaste
bhagavan Harih
Namaste
bhagavan Isa
Sarva
bhaksa utasanam
Tri
varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara
Saktikam
pastikanca raksananca saiva bhicarukam.
Oṁ
Paramasiva Tanggohyam Siva Tattva
Parayanah
Sivasya
Pranata Nityam Candhisaya Namostute
Oṁ
Naividyam Brahma Visnuca
Bhoktam
Deva Mahesvaram
Sarva
Vyadi Na Labhate
Sarva
Karyanta Siddhantam.
Oṁ
Jayarte Jaya mapnuyap
Ya
Sakti Yasa Apnoti
Siddhi
Sakalam Apnuyap
Paramasiva
Labhate ya namah svaha
j.
Mantra Canang
Sari
i.
Oṁ
Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ
tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah
swaha
Oṁ
shri Deva Devi Sukla ya namah svaha
k. Mantra ngayabang upakara
Oṁ
Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ
Deva Bhatyam Maha Sukham
Bojanam
Parama Saamerthan
Deva
Baksya Mahatustam
Boktra
Laksana Karanam
Oṁ
Bhuktyantu Sarva Ta Deva
Bhuktyantu
Triloka Natha
Sagenah
Sapari Varah Savarga Sada Sidha Sah
Oṁ
Deva Boktra Laksana ya namah
Deva
Tripti Laksana ya namah
Treptya
Paramesvara ya namah svaha
l.
Mantra
Peras
Oṁ
Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ Pañca
wara bhawet Brahma
Visnu sapta wara waca
Sad wara Isvara Devasca
Asta wara Śiva jnana
Oṁ kāra muktyate sarva peras prasidha siddhi
rahayu ya namah svaha.
m.
Pemercikan
Tirtha ke semua upakara
Oṁ Pratama Sudha,
Dvitya Sudha
Tritya Sudha
Caturti Sudha
Pancami Sudha
Sudha Sudha Variastu Ya namah svaha.
Oṁ Puspam Samarpayami
Oṁ Dupam Samarpayami
Oṁ Toyam Samarpayami
Sarva Baktyam Samarpayami
n. Mantra Segehan
Oṁ Puspa
Danta Ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ Atma Tattvātma suddha mām svaha
Oṁ svasti-svasti sarva bhūta suka pradhana ya
namah svaha
Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ .
o. Mantra Metabuh Arak Berem
Oṁ
ebek segara, ebek danu
Ebek
banyu premananing hulun ya namah swaha.
E. Penutup
Demikian kupasan banten (upakāra) baik cara
membuat, kegunaan maupun kajian
filosofisnya, sehingga dengan pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran,
keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam
membuat dan menghaturkan Banten dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh
dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto”, di masa
yang akan datang. Dan yang terpenting
para Orang tua (sebagai Guru) dapat menjadi sumber tauladan bagi
angoota keluarga terutama anak-anaknya, dengan memberikan pelatihan secara
konfrehensif sebagai bentuk kepedulian akan tradisi Veda yang penuh dengan
Nyasa/simbol, serta dalam penerapan Sistem Pembelajaran Tuntas. Dengan demikian akan terlahir peserta didik
yang memiliki kualifikasi kecerdasan IQ (kecerdasan intelek), EQ (kecerdasan
emosional), SQ (kecerdasan spiritual), ESTQ (kecerdasan estetika) sehingga
eksistensi kita sebagai manusia Hindu tidak akan memudar.
Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ
RADDHA: YAJNA (PERSEMBAHAN)
|
Written by I W Sudarma
|
Monday, 25 January 2010 05:48
|
Om Swastyastu
Pengertian umum
Salah
satu bagian dan merupakan aspek terakhir dari unsur keimanan (sraddha) di
dalam agama Hindu, Atharwa Weda XII,1.1 adalah mengenai yajna (baca :
yadnya). Dalam pengertian populernya istilah ini dipersamakan dengan
pengertian rituil. Kalau kita perhatikan secara lebih mendalam lagi, istilah
yadnya mempunyai arti yang sangat luas karena dengan kata yadnya dapat pula
diterjemahkan dengan kata kurban atau berkurban. Dengan pengertian ini
istilahnya mengandung pengertian yang sangat luas.
Menurut
etimologi, Yajna berasal dari bahasa Sanskerta, dengan urat kata “yaj”, yang
artinya memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan suci. Kata ini juga
diartikan mempersembahkan ; bertindak sebagai perantara. Dari urat kata itu
timbul kata yajna (kata-kata dalam pemujaan), yajata (layak memperoleh
penghormatan) yajus (sacral, ritus agama) dan yajna (pemujaan, doa,
persembahan), yang kesemuanya berarti sama dengan Brahma. Di dalam Rg Weda
VII1,40,4 kata yaja berarti kurban atau pemujaan. Dari istilah Yajus yang
juga bersumber dari urat kata yaj, timbul pula istilah yajur weda, yaitu
himpunan weda mantra yang menguraikan mengenai pokok-pokok ajaran tentang
beryadnya atau hubungan antara manusia dengan yang disembah.
Di
samping itu, kata yajna juga dihubungkan pula dengan konsepsi penciptaan alam
semesta ini. Yajna adalah semacam simbol bahasa yang mengandung pengertian
sebagai satu proses kejadian. Di dalam Rg Weda X.92 (Nasadiya Sukta)
mengemukakan bahwa penciptaan ini terjadi dari yajna. Yajna adalah satu
proses, satu phenomena yang dinamis mengenai penciptaan alam semesta.
Adapun
pengertian yajna yang dipergunakan dalam bahasa sehari-hari, kata yadnya
dimaksudkan sebagai upacara keagamaan yang sama artinya dengan samskara atau
sangaskara. Terjemahan arti kata yadnya menjadi samskara kurang tepat karena
kata samskara itu sendiri masih sangat kabur pengertiannya.
Di
dalam berbagai terjemahan yang dilakukan, kata samskara diterjemahkan dengan
kata ceremony di dalam bahasa Inggris, sedangkan di dalam bahasa Latin
disebut caerimonia. Kalau kata “ceremony” diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, kata itu berarti “upacara”, sehingga dengan demikian kata samskara
berarti upacara pula.
Di
samping istilah yajna yang diterjemahkan sebagai samskara, terdapat juga
pengertian lain, di mana kata itu diterjemahkan atau diganti dengan istilah
“karman”. Kata karman berarti upacara keagamaan yang di dalam bahasa Jawa
Kuno ditulis “krama”, misalnya dipergunakan dalam penulisan Wedaparkrama.
Dari
semua istilah itu, kata yajna mengandung pengertian yang lebih luas dari pada
istilah lain-lainnya, tetapi penggunaannya tetap dalam pengertian yang lebih
sempit, yaitu yang diartikan sama dengan samskara. Kata samskara itu sendiri
berasal dari bahasa Sanskerta yang mempunyai arti yang luas pula. Dari
berbagai terjemahan atas kata samskara itu, kata itu menurut beberapa penulis
ada yang berarti melatih, mensucikan, membiasakan, menjadikannya sempurna,
memberi bentuk, melengkapi, memperindah, membentuk, membudayakan, dan
sebagainya. Kalau kita rumuskan dari berbagai terjemahan itu maka kata
samskara adalah karman pula, yaitu semacam rituil yang bertujuan untuk
membuat sempurna atau mensucikan badan ini sehingga layak untuk dapat memuja
Tuhan.
Dengan
dinyatakannya di dalam Atharwa Weda, bahwa yajna merupakan bagian dari pada
dharma sehingga merupakan unsur ajaran keimanan yang penting, ini menyebabkan
ajaran yajna merupakan bagian dari penghidupan beragama menurut agama Hindu.
Yajna bukan sekadar ajaran formalistis, melainkan masalah ibadah yang
hukumnya adalah wajib. Hanya saja di dalam melaksanakan ajaran yadnya itu
terjadi variasi yang berbeda-beda menurut daya pemikirnya, karena dinyatakan
bahwa ajaran yajna itu supaya dikembangkan dan disempurnakan.
Tujuan yajna atau samskara
Yajna
merupakan aspek ajaran karma margha karena yajna adalah sama dengan karman.
Di dalam Rg. Weda X,71 dikemukakan ada empat macam cara untuk mencapai tujuan
atau pemujaan kepada Tuhan, yaitu :
1.
Dengan melalui cara pengucapan mantra-mantra. Cara ini dikenal pula dengan
istilah bhakti margha.
2.
Dengan melalui cara menyanyikan lagu-lagu
pujaan (hymn), misalnya melagukan mantra dan stotra. Cara ini dikenal dengan
istilah wibhuti margha.
3.
Dengan melalui cara keilmuan, misalnya mengamati dan mengamalkannya. Cara ini
dikenal dengan jnana margha.
4.
Dengan melalui cara melakukan yajna, yaitu yang disebut ajaran karma margha.
Jadi
berdasarkan kitab Rg Weda di atas, yajna adalah salah satu di antara empat
jalan yang dapat dipergunakan untuk memuja Tuhan. Dalam melaksanakan margha
itu, dapat dilakukan dengan menggabungkan dari berbagai cara itu dan dapat
pula dilakukan dengan hanya memilih satu di antara empat jalan itu. Di samping itu, peranan
yajna dianggap penting di dalam agama Hindu karena di dalam Rg. Weda VIII, 19
ditegaskan bahwa yajna mempunyai peranan penting karena yajna adalah laksana
kapal yang merupakan kapal yang suci yang akan mengantar manusia kepada
tujuannya.
Setiap
penyelenggaraan yajnya dilakukan untuk tujuan tertentu dan untuk memperoleh
suasana kesucian alam lahir dan bathin. Kesucian ini dicapai karena dalam
yajna tardapat pula salah satu disiplin mental yang disebut brata (wrata)
sehingga dengan kesucian itu mereka dapat melakukan yadnya. Jadi suasana suci
itu ditimbulkan karena melakukan yajna.
Kalau kita pelajari baik-baik tentang berbagai macam
yajna yang patut dilakukan, tujuan yajna samskara dapat kita bagi atas dua
macam, yaitu :
1.
Tujuan yajna menurut pengertian populer dan bersifat ghaib .
2.
Tujuan yajna menurut pengertian pembudayaan dan kesucian.
Di
dalam pengertian populer dan yang bersifat ghaib, tujuan samskara adalah
untuk menciptakan suasana suci sehingga memungkinkan seseorang yang melakukan
yajna dapat memperoleh tujuannya sebaik mungkin. Dalam hal ini maka tujuan
samskara itu mempunyai arti yang sangat luas dan banyak, yaitu :
a.
untuk melenyapkan atau mengusir pengaruh jahat dari rokh-rokh jahat.
b.
untuk menarik atau mendatangkan pengaruh yang baik dari pada rokh-rokh suci
yang bersifat baik dan penolong.
c.
untuk mencapai tujuan materiil.
d.
untuk sebagai pernyataan tanda syukuran atau terima kasih.
Adapun
cara pelaksanaannya tidak ada petunjuk-petunjuknya dan karena itu
pengembangannya dapat bersifat lokal. Mengusir atau menarik rokh tergantung
pada jenis rokh yang dihadapi. Untuk rokh-rokh yang bersifat tidak baik
diadakan upacara pengusiran atau pemindahan atau pembersihan yang dapat
dilakukan melalui pengucapan mantra atau lafal, pemberian sedekahan yang
disebut caru atau lainnya seperti melakukan segahan, dan lain-lainnya.
Sebaliknya bagi rokh-rokh yang baik, seperti dewa-dewa, Bidadari, Arwah
leluhur seperti Pitara, dan lain-lainnya didatangkan untuk membuat suasana
menjadi suci.
Di
samping itu, yajna dalam arti dimaksudkan sebagai pembudayaan dan kesucian,
karena tujuan yajna adalah sebagaimana artinya sendiri, yaitu untuk
menjadikan lebih baik. Dalam hal ini kita lihat upacara pensucian
(playascitta) dan lain-lainnya.
Pensucian
yang merupakan tujuan dari pada hidup beragama dapat dicapai dengan berbagai
cara. Di dalam kitab Manawadharma sastra dikemukakan berbagai cara untuk
melakukan pensucian, yaitu, dengan cara mandi untuk mensucikan badan, dengan
pengucapan mantra atau doa untuk pensucian pikiran, dengan cara membakar
untuk mensucikan benda-benda metal, dengan mengendalikan tingkah laku untuk
mensucikan diri. Dengan semua cara itu akan terwujud kepribadian yang menjadi
sifat hakiki dari pada hidup beragama itu. Dengan kata lain, upacara menurut
tujuan ini ialah :
a.
untuk pembinaan dan pengembangan moral
b.
untuk penumbuhan atau pengembangan kepribadian diri seseorang
c.
untuk tujuan spirituil
d.
untuk sebagai tanda peningkatan dari satu fase ke fase yang baru (diksa).
Adapun
yang dimaksud dengan pembinaan moral yang menjadi dasar dari pada upacara
yajna itu ialah karena didasarkan atas penumbuhan delapan sifat-sifat yang
baik, yaitu suka memaafkan, gembira, tenang, suci, berprilaku yang benar,
tidak serakah, tidak terikat, dan lain-lainnya. Kesemuanya itu akan
menumbuhkan bentuk-bentuk pribadi tertentu pada diri manusia itu.
Di
samping tujuan yang bersifat penumbuhan moral dan kepribadian itu, yajna juga
merupakan dasar yang bertujuan untuk menanamkan rasa suci dan iman yang
disebut sraddha dan sadhana. Upacara yajna adalah merupakan ajaran jalan
tengah antara ekstrim materialisme dengan ekstrim spiritualisme yang banyak
dilakukan oleh seorang sanyasi. Karena itu yajna itu merupakan jalan yang
paling populer dan yang paling banyak dapat dilakukan oleh orang-orang awam
dalam lingkungan masyarakat Hindu.
Macam-macam yajna samskara
Banyak
buku yang menjelaskan mengenai macam-macam yajna itu. Kitab yang penting yang
memuat ajaran Yajna dan samskara itu antara lain adalah kitab
Manawadharmasastra, kitab Grihyasutra, dan lain-lainnya, kesemuanya merupakan
kitab Wedasmriti.
Menurut
kitab Dharmasastra, kitab ini memerinci adanya lima macam jenis upacara besar
yang disebut Panca Maha Yajna. Adapun kelima macam yajna itu,
masing-masingnya ialah :
a.
Dewayajna
b.
Rsi yajna
c.
Pitri yajna
d.
manusya yajna
e.
bhuta yajna.
Penguraian
dari pada masing-masing jenis yajna itu macam-macam. Tiap-tiap jenis itu
merupakan kelompok jenis yang masing-masingnya terdiri dari berbagai macam
jenis yajna dan samskara pula. Di samping cara penggolongan yang lima itu,
kitab Dharma sastra itu membedakan pula cara pengelompokannya menurut cara
pelaksanaan dari pada upacara itu sendiri, yang dibedakan menjadi lima macam
pula. Adapun nama-namanya yang disebut di dalam kitab Manusmsriti itu ialah :
1.
Upacara yang dinamakan AHUTA, yaitu upacara rituil yang dilakukan tanpa
mempergunakan kesaksian api (Agni), misalnya bila upacara itu hanya dilakukan
dengan cara pembacaan mantra-mantra pujaan saja. Dasar dari pada ajaran ini
adalah bersumber pada kitab Rg. Weda IV.25.
2.
Upacara yang dinamakan HUTA, yaitu upacara rituil yang dilakukan dengan
mempergunakan api sebagai unsur yang penting, misalnya dengan mempergunakan
dupa, dipa atau api iainnya (membakar kemenyan). Dalam upacara ini ada pula
benda-benda upacara yang kemudian dibakar (dimasukkan ke dalam api upacara).
3.
Upacara yang dinamakan PRAHUTA, yaitu jenis upacara rituil yang dilakukan
dengan cara penyebaran benda-benda upacara di tanah, misalnya pada waktu
upacara bhuta yajna dan lain-lainnya.
4.
Upacara yang dinamakan BRAHMAHUTA, yaitu upacara rituil yang ditujukan
sebagai penghormatan kepada para pendeta Brahmana, misalnya dengan mengundang
para Brahmana dalam satu upacara dan kemudian dalam kesempatan itu kepadanya
diberikan dana berupa apa saja. Umumnya upacara ini dilakukan pada waktu
melakukan Pitra yajna atau Sraddha.
5.
Upacara yang dinamakan PRASITA, yaitu upacara rituil yang diselenggarakan
dengan cara penyuguhan jenis-jenis makanan, buah-buahan, kapur sirih, dan
lain-lainnya, terutama ditujukan kepada yang meninggal. Prasita ini adalah
semacam “tarpana”.
Di
samping cara pembagian tersebut, ada pula cara pembagian yang lebih lengkap,
yaitu dengan menyebutkan semua macam upacara yang harus dilakukan. Jumlah
jenis macam upacara ini sangat banyak macamnya dan tidak sama antara berbagai
buku. Umumnya jenis yang banyak itu dihubungkan dengan samskara, yaitu mulai
dari melakukan upacara Brahmacari sampai pada upacara antyesti (kematian).
Dari jenis-jenis upacara ini, yang penting adalah yang ada hubungannya dengan
pembentukan diri pribadi seseorang, mulai dari garbhadana (upacara bayi dalam
kandungan) sampai dengan anak itu lahir dan berakhir pada upacara kematian.
Jumlah upacara ini sangat banyak dan tidak semuanya dapat dilakukan.
Di
samping kitab Dharmasastra, kitab Grihyasutra memberikan berikan
keterangan yang lain pula tentang berbagai yajna itu. Di dalam kitab
ini kits jumpai istilah Panca bhusamskara dan paka samskara. Jenis paka yajna
menurut Grihyasutra sama dengan jenis-jenis upacara yang digolongkan Huta,
Prahuta, Ahuta dan Prasita. Jadi banyak istilah yang sama yang masih dipergunakan.
Penggolongan berbagai jenis upacara itu hanya diperlukan untuk
sistematisasinya saja sedangkan makna dan tujuannya tetap sama.
Yang
berbeda dari semua kitab itu ialah masalah penulisan upacara yang mencoba
menguraikan mengenai upacara kematian. Pada umumnya kitab-kitab itu
memisahkan upacara kematian itu dari berbagai jenis upacara lainnya. Di
samping itu masih banyak aspek dari pada yajna yang perlu kita ketahui
seperti masalah bentuk serta unsur-unsur dalam yajna, ke semuanya itu
merupakan unsur-unsur penting dalam memahami arti yajna, baik sebagai dasar
keimanan maupun sebagai ritus dalam pembentukan kepribadian manusia itu
sendiri. Kesemuanya itu akan dibahas dalam buku tersendiri, dalam buku
pengantar agama Hindu V1. Yang terpenting dalam peninjauan kita ialah bahwa
berdasarkan uraian yang telah kita lihat di atas, yajna merupakan unsur yang
amat penting di dalam penumbuhan pengertian pokok-pokok ajaran Hindu itu
sebagai salah satu dari pada unsur sraddha dalam agama Hindu.
Om
Santih Santih Snatih Om
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar