Rabu, 09 Mei 2012

Acāra Agama Hindu II



CONTOH FORMAT
 
SATUAN ACUAN PEMBELAJARAN


Mata Kuliah              : Acāra Agama Hindu II
Pokok Bahasan         :  Yajña
Sub Pokok Bahasan  :  Upakāra Yajña
Materi                         : Banten Pejati
Semester                     : VI (Empat)
Pertemuan ke                        : 4
Hari /Tanggal            :  Kamis,…….
Pengampu                  : made waisnawa putra
Teknik                        : Partisipatif (diskusi)
Media                         : Infocus

Oṁ  Swastyastu

A.           Pendahuluan

Upakāra dan Upacāra merupakan bagian dari ajaran agama Hindu yang sering disebut dengan “Yajña”. Yajña berasal dari kata “Yaj” yang artinya ”korban suci atau persembahan suci”. Korban suci yang dimaksud adalah suatu korban yang dilandasi pengabdian, cinta kasih dengan niat hati yang suci dan tulus ikhlas. Yang dimaksudkan dengan tulus ikhlas dengan tidak mengikatkan diri pada hasil. Sedangkan Upakāra itu sendiri berasal dari kata “Upa” yang artinya berhubungan dengan, dan “Kara yang berarti perbuatan/pekerjaan/tangan. Jadi pengertian Upakāra di sini berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan/pekerjaan/tangan, yang pada umumnya berbentuk materi, seperti daun, bunga, buah-buahan, air, dan api, sebagai kelengkapan dari suatu Upacāra. Kemudian Upacāra berasal dari kata “Upa” yang artinya berhubungan dengan, dan kata “Car” yang berarti gerak, kemudian mendapat akhiran “a”, merubah kata kerja menjadi kata sifat yang artinya gerakan. Jadi upacāra adalah sesuatu yang ada hubungannya dengan gerakan (pelaksanaan) dari suatu Yajña.

Upakāra dan Upacāra adalah salah satu bagian dari pelaksanaan Yajña sebagai dasar pengembalian tiga hutang manusia (Tri Rna). Weda mengajarkan bahwa Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, menciptakan alam semesta ini berdasarkan Yajña. Karena itu manusia yang bermoral akan merasa berhutang kepada Sanghyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa. Leluhur/Orang tua, dan Para Maharsi, yang telah memberikan kehidupan, tuntunan, dan pengetahuan suci sehingga seseorang mampu untuk hidup, berbuat, dan berkarya di jalan Tuhan.

Umat Hindu di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari mengamalkan ajaran agamanya melalui simbolisasi pemaknaan terhadap berbagai sarana prasarana sebagai kelengkapan dari suatu upacāra keagamaan. Dan ini merupakan bentuk aktivitas keberagamaan yang dapat menjangkau semua tingkat kemampuan umat untuk memahami akan nilai-nilai spiritualnya. Oleh karena itu upakāra-upacāra (Yajña) memberikan wahana pendakian secara bertahap kepada setiap umat Hindu yang melaksanakan upacāra Yajña tersebut. Pendakian bertahap yang dimaksud adalah pendakian menuju tahapan kerohanian yang semakin hari semakin meningkat. Dalam kitab Manawa Dharma Sastra menyatakan bahwa pelaksanaan Yajña itu harus disertai dengan  ketulusan hati dan keyakinan diri, sebab pada hakekatnya dengan berYajña seseorang dapat menolong dirinya untk mencapai tingkat hidup yang lebih sempurna.
“Śraddhāyestam ca purtam ca, nityam kuryuda tandritah, Śraddhākrite hyaksaye te bhawatah swagatairdhanaih”.
Artinya :
Ia hendaknya tanpa mengenal jerih payah, selalu menghaturkan Upacāra-Upacāra korban serta melakukan pekerjaan-pekerjaan amal yang dilaksanakan penuh kepercayaan kepada Tuhan, sebab persembahan dan pekerjaan amal dilakukan dengan kepercayaan dan dengan uang yang didapat secara halal, mendapatkan pahala yang tak henti-hentinya.

Sloka tersebut menjelaskan bahwa Yajña merupakan korban suci yang dipersembahkan kepada siapa pun yang patut menerimanya, dimana pemberian itu disertai dengan ketulusan hati, cinta kasih, dan kepercayaan yang membathin demi kesejahteraan bersama dan kedamaian abadi.

a.                Dasar Pelaksanaan Upakāra-Upacāra(Yajña)
Hakikat hidup dan kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena hidup dan kehidupan seseorang tergantung daripada hidup dan kehidupan dengan sesamanya. Itulah yang menyebabkan setiap insan hamba Tuhan yang sadar akan kehidupannya sebagai umat beragama untuk selalu ingin berkorban, saling tolong menolong dan saling memberi secara timbal balik. Tingginya tarap kehidupan manusia ditandai oleh budhi pekertinya, tingkah laku, dan pengorbanannya demi kepentingan umum dan kesejahteraan dunia, bahkan sampai rela mengorbankan jiwa raganya. Dan ini dilakukannya dengan ketulusan, keikhlasan, dan dengan niat hati yang suci demi kesentosaan serta dengan lebih  meningkatkan kwalitas Śraddhā dan bhaktinya kepada Yang Maha Kuasa/Sanghyang Widhi Wasa. Dalam kitab Manawa Dharma Sastra disebutkan : “Agnon prastha hutih samyang, adityam upastistate, adityayate wretir, wreste rsnam tatah pryah”.
Artinya :
Persembahan yang dipersembahkan ke dalam api suci, akan mencapai matahari, dari matahari turunlah hujan, dari hujan maka tumbuhlah makanan, dari makanan mahkluk hidup mendapatkan hidupnya.

Sloka tersebut menjelaskan bahwa dari makananlah manusia dapat mempertahankan hidupnya, makanan tumbuh karena adanya pancaran sinar Matahari yang mengabkibatkan menguapnya titik-titik air di Samudera, yang kemudian turun menjadi hujan. Demikian siklus kehidupan ini, yang selalu dilandasi oleh adanya pengorbanan yang tulus ikhlas (Yajña).

b.                    Tujuan Melakukan Yajña.

Semua perbuatan tentu memiliki tujuan, tanpa tujuan semua perbuatan ibarat perahu tanpa kendali sehingga terOṁ bang-ambing tidak menentu. Begitu pula halnya dengan kita melakukan Yajña, sudah barang tentu memiliki tujuan, yang pasti disini adalah dalam rangka menciptakan suatu kehidupan yang bahagia, dan sejahtera, lahir maupun bahtin. Dalam kitab Manawa Dharma Sastra VI.35 menyebutkan bahwa pikiran (manah) baru dapat ditujukan kepada kelepasan setelah manusia membayar hutang moral (rna), yakni kepada Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa, orang tua/leluhur, dan kepada para maharsi. Untuk membayar hutang moral tersebut, manusia memiliki kewajiban moral pula untuk membayarnya melalui korban suci (Yajña).  Hutang moral kepada Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa diwujudkan dalam bentuk Dewa Yajña dan Bhūta Yajña,  hutang moral kepada orang tua/leluhur di wujudkan dalam bentuk Pitra Yajña dan Manusa Yajña, sedangkan hutang moral kepada para maharsi diwujudkan dalam bentuk Rsi Yajña.

Disamping itu pula tujuan kita melaksanakan upakāra-upacāra (Yajña), pertama : sebagai pengejawantahan ajaran agama, melalui bentuk simbol-simbol (niyasa) agar mudah dipahami, dihayati, dan  dilaksanakan oleh umat Hindu dalam rangka meningkatkan kemantapan diri didalam pelaksanaan kegiatan keagamaan itu sendiri. Kedua, sebagai ungkapan rasa terima kasih, karena pada hakikatnya manusia tidak dapat lepas dari ketergantungan dengan yang lain. Ada tiga jenis ketergantungan manusia, yakni ketergantungan manusia dengan Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa yang telah menciptakan kehidupan, memelihara, dan memberi kebutuhan hidup. Kemudian ketergantungan kepada orang tua/leluhur yang telah melahirkan, mengasuh, dan membesarkannya, selanjutnya ketergantungan yang ketiga adalah ketergantungan kepada para maharsi yang telah memberikan ilmu pengetahuan suci untuk membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan menuju suatu kehidupan yang sejahtera dan bahagia lahir bathin. Kemudian tujuan yang ketiga kita melaksanakan upakāra-upacāra (Yajña) adalah untuk meningkatkan kualitas diri melalui proses penyucian diri dengan menumbuhkan rasa keikhlasan dengan mengurangi keakuan, dalam bentuk byakala, prayascita, dan lain sebagainya. Dan tujuan keempat adalah meningkatkan kesucian Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit, melalui upacāra Caru, Tawur Agung dan Penglukatan.



B.                 Upakāra Bebantenan Dan Makna Simbolisnya

  1. Landasan Filosofis.

Banten atau bebantenan merupakan ciri khas yang unik bagi masyarakat Hindu di Bali, dan ini dikaitkan dengan daya cipta masyarakat setempat, yang memiliki nilai religius, magis, yang mengandung nilai budaya seni dan adat. Banten membuat orang menjadi terpesona karena daya seni yang ditampilkannya dengan berbagai keindahan dalam penataan sebuah karya spiritual, sebagai sarana untuk mendekatkan diri penyembah dengan yang disembah yakni Tuhan Yang Maha Esa/Sanghyang Widhi Wasa. Dalam kitab Bhagawad Gita disebutkan bahwa dunia mengalir dari tubuhKu. Dunia Aku jadikan dengan pengorbanan diriKu. Manusia Aku jadikan atas dasar hukum Yajña, karena itu manusia wajib melakukan Yajña. Barang siapa tidak melakukan Yajña adalah dosa. Yajña yang paling mulia adalah penyerahan diri sepenuhnya hanya kepada-Ku.

Pernyataan inilah yang kemudian menggerakkan kegiatan keagamaan dalam bentuk Upakāra bebantenan. Banten atau bebantenan sesungguhnya dalam penataannya merupakan perwujudan Manu (manusia) yang dikorbankan kepada Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa. Karena itu pula, dalam mempersembahkan banten kehadapan Tuhan/Sanghyang Widhi Wasa, disusun atas dasar konsep triangga, sehingga ada banten yang berkedudukan sebagai utama angga atau hulu (kaja atau kangin), kemudian madya angga atau bagian badan  (tengah) dan nista angga atau bagian kaki yakni di teben (kelod kauh).

Dalam filsafat Samkhya disebutkan bahwa dunia terdiri dari dua unsur yakni purusa dan pradana (prakerti). Purusa merupakan jiwa alam semesta, sedangkan pradana atau prakerti merupakan unsur jasmani yang terdiri dari unsur Panca Maha Bhūtadan Panca Tan Matra. Konsepsi ini pula yang melandasi dalam pembuatan banten khususnya dilihat dari unsur-unsur banten, terutama untuk banten yang berfungsi sebagai hulu atau linggih Sanghyang Widhi Wasa misalnya banten Suci, Catur atau Dewa-dewi, dan Daksina.

  1. Banten sebagai simbol penyerahan diri secara total.

Mengingat banten merupakan perwujudan dari manusia, maka dengan demikian banten memiliki makna sebagai simbol penyerahan diri manusia secara totalitas, yang didasari ketulusan hati dan niat yang suci. Hal ini tercermin dari tatuasannya (potongannya), yang menunjukkan keindahan seni yang ditampilkan, menyimbolkan perasaan cinta kasih dan bakti yang demikian agungnya sehingga melahirkan getaran hati dan pikiran untuk mempersembahkan yang terbaik dan termulia kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Sanghyang Widhi Wasa sebagai pemberi anugrah berupa kesejukan kepada sang pemuja. Dunia ini tercipta karena adanya unsur purusa dan pradana (prakerti).

Pradana (prakerti) sebagai  unsur  jasmani  terdiri  dari  unsur Panca Maha Bhūtayakni dari unsur apah, teja, pretiwi, bayu dan akasa. Kelima inilah yang membentuk unsur-unsur  banten terutama untuk banten hulu (lingga Sanghyang Widhi Wasa). Dari kelima unsur inilah kemudian berkembang menjadi berbagai bentuk unsur. Unsur kehidupan dalam air (apah) ada dua jenisnya, yakni air tawar dan air laut. Mahkluk hidup diair tawar misalnya ikan nyalian, lele, yuyu, udang, kakul dan sebagainya, sedangkan yang hidup diair laut ikan teri (gerang), teripang, ikan pari (be pai).  Unsur kehidupan dalam tanah (pertiwi), misalnya kacang-kacangan dan ini termasuk jenis pala gantung, sedangkan umbi-umbian tergolong jenis pala bungkah. Kemudian yang mewakili unsur akasa, adalah binatang buruan, sedangkan yang mewakili unsur teja, adalah asap, dupa dan lain-lain. Semua disusun demikian indahnya yang samar-samar menggambar Manu atau manusia. Dalam memilih unsur-unsur tersebut sebagai bahan banten tidak terlepas dari prinsip nama dan rupa.

Karena  banten merupakan wujud Manu atau manusia, maka dalam menata unsur-unsur materinyapun hendaknya disesuaikan, misalnya dapat dilihat  pada banten gebogan, kakinya disimbolkan dengan dulang atau bokoran, badannya disimbolkan dengan raka-raka, jajan, penek dan ayam panggangnya, sedangkan kepalanya disimbolkan dalam bentuk jejahitan  berupa kepet-kepetan. Sehingga dalam menempatkan atau meletakkan ayam panggang, tidak boleh dipuncak banten gebogan melainkan pada bagian badan dekat dengan dulang (bokoran). Jadi, bila kita perhatikan secara seksama dari ketiga bagian yang menggambarkan kaki, badan dan kepala (hulu) yang ditandai dengan canang pelausan atau kepet-kepetan, maka dalam penggunaan kembangpun hendaknya dipilih yang dapat memberikan arOṁ a yang demikian harum, seharum hati sang pemuja dalam melakukan bakti persembahan.


  1. Arti dan fungsi Upakāra bebantenan.

Seperti telah diketahui bahwa Upakāra mempunyai bentuk dan nama yang sangat banyak dengan susunannya cukup rumit jika dilihat secara sepintas, apalagi bila tidak dipahami secara rinci yang akan membuat kita semakin bingung, Suatu contoh dalam hal membuat Upakāra bebantenan canang, apakah itu canang genten, canang sari, canang gantal, canang pengraos maupun lainnya.  Begitupun halnya dengan Upakāra bebantenan sayut, ada sayut pengambean,  sayut sida karya, sida purna dan lain sebagainya. Yang patut untuk kita ketahui dan perhatikan disini adalah bagaimana menyusunnya, jenis materinya dan kegunakan dari Upakāra bebantenan tersebut serta tingat Upacāra yang akan dibuat.

Namun secara umum Upakāra bebantenan memiliki arti dan fungsinya dalam kita melakukan bakti persembahan, antara lain :

a)         Upakāra bebantenan merupakan cetusan hati, untuk menyatakan rasa terima kasih baik itu kehadapan Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, maupun manifestasiNya.
b)        Upakāra bebantenan adalah sebagai alat konsentrasi dari pikiran kita untuk memuja Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai suatu contoh bilamana seseorang tengah membuat atau menyusun Upakāra (bebantenan) maka ia akan membayangkan kemana akan dibawa atau kepada siapa Upakāra bebantenan tersebut akan dipersembahkan. Oleh karena itu wajar, bila orang tua menasehati agar pada waktu membuat banten tidak melontarkan kata-kata yang tidak mengenakkan, marah-marah dan lain sebagainya.
c)         Sebagai perwujudan dari pada Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa beserta manifesatsiNya dan juga orang yang akan di-Upacārai, misalnya daksina palinggih, kewangen, puspa (sekah) sanggah urip dan lain sebagainya.
d)        Upakāra bebantenan dapat dipergunakan sebagai alat penyucian, misalnya dengan mempergunakan banten prayascita, durmanggala, byakala, penyeneng dan pesucian serta lain sebagainya.


C.                TINGKATAN UPAKĀRA-UPACĀRA (YAJÑA)

  1. Tingkatan Upakāra-Upacāra (Yajña).

Dalam pelaksanaan Yajña, keikhlasan merupakan kata kunci untuk mencapai keberhasilan dan mendapatkan kepuasan rohani. Besar kecilnya Upacāra diatur dalam tingkatan-tingkatan yang telah ditentukan dalam kitab Mpu Lutuk dan disesuaikan pula menurut tempat, waktu dan keadaan serta kesucian (desa, kala, patra dan kesucian).  Dalam kitab/lontar Mpu Lutuk lebih menekankan mengenai besar kecilnya Upakāra bebantenan di Sanggah Surya,  sedangkan dalam kitab/lontarWraspati kalpa mengatur tentang banten ayaban di balai pesambyangan dan Bhagawan Yogis Wara menjelaskan tentang Upakāra bebantenan lembaran. Adapun mengenai tingkatan Upakāra/Upacāra.Yajña dibagi dalam tiga tingkatan yakni :
a)                   Tingkat Nista/Kanistama (sederhana). Tingkat nista ini dibagi pula dalam tiga bagian.
§  Kanistaning Kanistama yakni Upacāra yang paling kecil dari tingkatan Upacāra terkecil. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Pras Daksina.
§  Madyaning Kanistama yakni Upacāra yang lebih besar dari tingkatan Upacāra yang terkecil. Disanggar pesaksi (Surya) memakai banten Suci.
§  Utamaning Kanistama yakni Upacāra yang lebih besar dari tingkatan Upacāra yang tergolong madyaning nista. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Dewa - Dewi.

b)                            Tingkat madya (menengah). Tingkat menengah ini dibagi tiga bagian.
·           Kanistaning madyama yakni Upacāra yang paling kecil dari tingkatan Upacāra yang menengah. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Dewa-Dewi.
·      Madyaning madyama yakni Upacāra yang lebih besar dari tingkatan Upacāra yang tergolong nistaning madya. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Catur rebah.
·      Utamaning madyama yakni Upacāra yang lebih besar dari tingkatan Upacāra yang tergolong madyaning madya. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Catur Niri dan banten dibawah/sor sanggar pesaksi menggunakan Caru lantaran memakai Angsa.

c)                            Tingkat utama (yang paling besar/utama) juga dibagi dalam tiga bagian.
v Kanistaning utama yakni Upacāra yang paling kecil dari tingkatan Upacāra yang besar/utama. Disanggar pesaksi (Surya) sama dengan yang ada pada tingkatan Upacāra Utamaning madya.
v Madyaning utama yakni Upacāra yang lebih besar dari tingkatan
Upacāra yang tergolong madyaning utama. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Catur Muka, sedangkan banten dibawah sanggar pesaksi  (Surya) menggunakan Caru lantara memakai Kambing.
v Utamaning utama yakni Upacāra yang lebih besar diantara Upacāra-Upacāra Yajña lainnya. Disanggar pesaksi (Surya) memakai Catur Kumba, sedangkan banten dibawah/sor sanggar pesaksi (Surya) menggunakan Caru lantaran memakai Kerbau.

Pada umumnya Upacāra apapun yang dilaksanakan oleh umat Hindu selalu berpedOṁ an pada tingkatan-tingkatan Upacāra yang telah ditentukan. Besar atau kecil bukan berarti yang besar  dan  utama  itu yang baik,  dan sebaliknya,  akan tetapi Upakāra  bebantenan yang besar itu memerlukan materi yang banyak, sedangkan dalam Upacāra yang kecil memerlukan bahan materi yang sedikit bahkan mungkin sangat sederhana, seperti hanya dengan dupa, bunga, dan air. Dan juga bukan Upakāra bebantenan yang besar akan mendapatkan pahala yang besar, atau sebaliknya akan tetapi semuanya tergantung dari keikhlasan, kesucian dan niat hati yang luhur, yang terpenting baimana dapat menampilkan banten yang segar.  Disamping itu pula tingkatan Upacāra yang ada, dan tertuang dalam kitab/lontar Mpu Lutuk merupakan suatu ukuran yang tentunya disesuai dengan kemampuan atau strata sosial dari masing-masing orang dalam masyarakat.

Dalam tingkatan Upakāra dan Upacāra yang ada dan tertuang dalam lontar Mpu Lutuk tersebut diatas maka batasan yang menjadi kewenangan para Pemangku (Pinandita) dalam menyelesaikan Upacāra-Yajña, menurut Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu, menyebutkan adalah sampai dengan medudus alit, sesuai dengan tingkat pewintenannya dan juga atas penugrahan sang Nabe. Bila kita mengacu pada Keputusan Kesatuan Tafsir Maha Saba PHDI, maka pengertian pedudusan alit adalah sampai tingkat Madyaning Nista, yakni Upacāra yang lebih besar dari tingkatan Upacāra terkecil dimana di Sanggar Pesaksi (Surya) memakai  Banten Suci. Dan ini sesuai yang tertuang dalam lontar Mpu Lutuk. Sedangkan pengertian pedudusan agung adalah Upacāra tingkat Utamaning Nista, yakni Upacāra yang lebih besar dari tingkat Madyaning Nista, dimana di Sanggar pesaksi (Surya) menggunakan banten Dewa-Dewi, dan juga banten Catur. Pada tingkatan ini, dilaksanakan oleh para Sulinggih atau Pandita.


D.      Banten Pejati
a.      Daksina
Alasnya memakai wakul / srembeng / katung yang terbuat dari janur / slepan / blarak, kemudian di dalamnya diisi tampak, uang, porosan / base tempel, beras secukupnya, sebutir kelapa yang telah dibersihkan, 7 buah kojong yang masing-masing berisi kluwek, kemiri, bumbu-bumbuan, kacang-kacangan, telor itik mentah 1, papeselan (5 jenis dedaunan seperti : daun salak, daun durian, daun nangka, daun manggis dan daun duku) dan buah-buahan (pisang). Kelapa disisipi benang berwarna putih, memakai sampyan payasan atau sampyan pusung, canang sari dan sesari daksina : adalah simbol stana Tuhan, simbol makro kosmos
Gambar :


b.      Peras
Alasnya tamas / aledan / ceper, berisi kulit peras kemudian disusun di atasnya beras, benang dan base tempel serta uang. Diisi buah-buahan dan pisang secukupnya, kue, tumpeng 2 buah, rerasmen (lauk pauk) yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari peras adalah jenis banten permohonan agar upacara tersebut sukses (prasida)


Gambar :


c.       Soda / Ajuman
Alasnya tamas / aledan : berisi buah, pisang, kue dan nasi berbentuk penek (bundar) 2 buah, rerasmen yang dialasi Tri Kona, sampyan plaus / petangas, canang sari
Soda / ajuman dipakai sarana untuk memuliakan, mengagungkan Hyang Widhi dan lambang keteguhan / kokoh.
Gambar :




d.      Ketipat Kelanan
Alas tamas / aledan / ceper berisi buah, kue dan pisang, ketupat 6 buah (1 kelan) rerasmen dialasi tri kona ditambah 1 butir telor mateng, sampyan plaus / petangas, lambang terkendalinya sadripu sehingga ada keseimbangan.

e.       Penyeneng / Tehenan / Pabuat
Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan adalah jejaitan yang berfungsi sebagai alat untuk nuntun, menurunkan prabhawa Hyang Widhi (antena receiver)
Mantra :
Oṁ  kaki penyeneng nini panyeneng kajenengan iru sanghyang Brahma Wisnu Iswara Chandra Lintang terang gona

Oṁ  Shri ya namah swaha


f.       Pasucian/ Pangresikan
Alas ceper yang di dalamnya berisi 7 buah tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi bedak (dari tepung), bedak kuning (tepung berwarna kuning), ambuh (kelapa diparut), kakosok (kue rengginang dibakar hingga gosong), daun kembang sepatu dirajang, pasta (asem,jeruk) dan minyak wangi. Di atasnya diisi takir dan aseban air cendana, dibuatkan sampyan payasan, sisir terbuat dari janur dan cerin dari janur. Mantra Pasucian/Pangresikan:
Oṁ  asta sastra empu sarining visesa
 Tepung tawar amunahaken angilangaken sahananing sebel kandel
 Cuntakaning pebhaktyaning hulun
 Oṁ  sanut sang kala pegat
 Pegat rampung sahananing visesa
 Oṁ  shri Devi bhatrimsa yogini ya namah
 Oṁ  gagana murcha ya namah svaha.

g.      Segehan
Alasnya aledan / ceper diisi 12 tangkih dan 1 trikona dan masing-masing berisi nasi dengan lauk pauk bawang, jahe, garam.


Pejati Katur ring Sanghyang Catur Lokaphala :
1.      Peras             : kepada Sanghyang Iswara
2.      Daksina        : kepada Sanghyang Brahma
3.      Tipat             : kepada Sanghyang Wisnu
4.      Soda             : kepada Sanghyang Mahadewa

h.      Beberapa makna filosfis dalam pejati
1.      Srembeng / wakul / srobong / katung adalah lambang Hukum Rta yaitu hukum abadi Tuhan
2.      Tampak dara merupakan simbol keseimbangan baik makro kosmos maupun mikro kosmos
3.      Porosan / base tumpel merupakan lambang dari konsep Tuhan sebagai Brahma (pinang), Wisnu (sirih), Iswara (kapur) dan Mahadewa (plawa)
4.      Kelapa simbol pawitra (air keabadian / amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari 7 lapisan sapta loka karena ternyata kelapa terdiri dari 7 lapisan dari kulit luar hingga air di dalamnya.
5.      Kluwek lambang pradhana / prakerti / unsur kebendaan / perempuan
6.      Kemiri lambang purusa / unsur kejiwaan / laki-laki
7.      Papeselan lambang Panca Dewata ; daun duku : Iswara; daun manggis : Brahma; daun durian : Mahadewa; daun salak: Wisnu; dan daun nangka : Siwa
8.      Bumbu-bumbuan dan kacang-kacangan lambang sad rasa dan lambang kemakmuran
9.      Beras lambang ibu pertiwi (Anantha Boga)
10.  Benang pada daksina lambang naga Anantha Boga, Bhasuki dan Taksaka dalam proses pemutaran mandara giri untuk mencari amertha. Benang disini juga berarti alat/media penghubung antara pemuja dan yang dipuja
11.  Telor mentah (itik) simbol awal dari kehidupan / getar-getar kehidupan, lambang bhuana alit. Telor terdiri dari 3 lapisan seperti pada manusia yaitu badan wadag, badan roh dan badan penyebab
12.  Sesari pada daksina sebagai lambang saripati dari pekerjaan
13.  Sampyan payasan / pusung / simbol dari konsep utpati, sthiti dan pralina (tri kona)
14.  Aled peras / kulit peras untuk dapat berhasil diperlukan persiapan yaitu pikiran benar, ucapan benar, pandangan benar dan tujuan benar
15.  Daun plawa è lambang kesejukan
Bunga           è lambang cetusan perasaan
Bija               è benih-benih kesucian
Ari                è lambang pawitra / amertha
Api               è saksi dan pendetanya Yajña
16.  Tri kona : upti, sthiti, pralina
17.  Tamas : cakra atau perputaran hidup atau windu (simbol kekosongan yang murni/ananda)
18.  Ceper : catur marga (bhakti, karma, jnana dan raja marga)

i.               Mantra Pejati ( Daksina, Ajuman, Katipat Kelanan)

Oṁ  Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ  Siva sutram yajna pavitram paramam pavitram
Prajapatir yogayusyam
Balam astu teja paranam
Guhyanam triganam trigunatmakam

Oṁ  namaste bhagavan Agni
Namaste bhagavan Harih
Namaste bhagavan Isa
Sarva bhaksa utasanam
Tri varna bhagavan Agni Brahma Visnu Mahesvara
Saktikam pastikanca raksananca saiva bhicarukam.

Oṁ  Paramasiva Tanggohyam Siva Tattva Parayanah
Sivasya Pranata Nityam Candhisaya Namostute
Oṁ  Naividyam Brahma Visnuca
Bhoktam Deva Mahesvaram
Sarva Vyadi Na Labhate
Sarva Karyanta Siddhantam.
Oṁ  Jayarte Jaya mapnuyap
Ya Sakti Yasa Apnoti
Siddhi Sakalam Apnuyap
Paramasiva Labhate ya namah svaha


j.        Mantra Canang Sari
                                                                                                                                                                                                                      i.       
Oṁ  Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ  tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Oṁ  shri Deva Devi Sukla ya namah svaha

k.      Mantra ngayabang upakara

Oṁ  Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ  Deva Bhatyam Maha Sukham
Bojanam Parama Saamerthan
Deva Baksya Mahatustam
Boktra Laksana Karanam
Oṁ  Bhuktyantu Sarva Ta Deva
Bhuktyantu Triloka Natha
Sagenah Sapari Varah Savarga Sada Sidha Sah
Oṁ  Deva Boktra Laksana ya namah
Deva Tripti Laksana ya namah
Treptya Paramesvara ya namah  svaha


l.      Mantra Peras

Oṁ  Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ  Pañca wara bhawet Brahma
Visnu sapta wara waca
Sad wara Isvara Devasca
Asta wara Śiva jnana
Oṁ kāra muktyate sarva peras prasidha siddhi rahayu ya namah svaha.

m.    Pemercikan Tirtha ke semua upakara
O  Pratama Sudha,
Dvitya Sudha
Tritya Sudha
Caturti Sudha
Pancami Sudha
Sudha Sudha Variastu Ya namah svaha.
O  Puspam Samarpayami
O  Dupam Samarpayami
O  Toyam Samarpayami
Sarva Baktyam Samarpayami
                 
n.      Mantra Segehan

 Oṁ  Puspa Danta Ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ  Atma Tattvātma suddha mām svaha
Oṁ  svasti-svasti sarva bhūta suka pradhana ya namah svaha
Oṁ  Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ .

o.      Mantra Metabuh Arak Berem

Oṁ  ebek segara, ebek danu
Ebek banyu premananing hulun ya namah swaha.


E.  Penutup
Demikian kupasan banten (upakāra) baik cara membuat, kegunaan  maupun kajian filosofisnya, sehingga dengan pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam  membuat dan menghaturkan Banten  dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto”, di masa yang akan datang.  Dan yang terpenting para Orang tua (sebagai Guru) dapat menjadi sumber tauladan bagi angoota keluarga terutama anak-anaknya, dengan memberikan pelatihan secara konfrehensif sebagai bentuk kepedulian akan tradisi Veda yang penuh dengan Nyasa/simbol, serta dalam penerapan Sistem Pembelajaran Tuntas.  Dengan demikian akan terlahir peserta didik yang memiliki kualifikasi kecerdasan IQ (kecerdasan intelek), EQ (kecerdasan emosional), SQ (kecerdasan spiritual), ESTQ (kecerdasan estetika) sehingga eksistensi kita sebagai manusia Hindu tidak akan memudar.
Oṁ Śāntiḥ Śāntiḥ Śāntiḥ Oṁ
















RADDHA: YAJNA (PERSEMBAHAN)
PDF
Print
E-mail

Written by I W Sudarma   
Monday, 25 January 2010 05:48
Om Swastyastu
Pengertian umum
Salah satu bagian dan merupakan aspek terakhir dari unsur keimanan (sraddha) di dalam agama Hindu, Atharwa Weda XII,1.1 adalah mengenai yajna (baca : yadnya). Dalam pengertian populernya istilah ini dipersamakan dengan pengertian rituil. Kalau kita perhatikan secara lebih mendalam lagi, istilah yadnya mempunyai arti yang sangat luas karena dengan kata yadnya dapat pula diterjemahkan dengan kata kurban atau berkurban. Dengan pengertian ini istilahnya mengandung pengertian yang sangat luas.

Menurut etimologi, Yajna berasal dari bahasa Sanskerta, dengan urat kata “yaj”, yang artinya memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan suci. Kata ini juga diartikan mempersembahkan ; bertindak sebagai perantara. Dari urat kata itu timbul kata yajna (kata-kata dalam pemujaan), yajata (layak memperoleh penghormatan) yajus (sacral, ritus  agama) dan yajna (pemujaan, doa, persembahan), yang kesemuanya berarti sama dengan Brahma. Di dalam Rg Weda VII1,40,4 kata yaja berarti kurban atau pemujaan. Dari istilah Yajus yang juga bersumber dari urat kata yaj, timbul pula istilah yajur weda, yaitu himpunan weda mantra yang menguraikan mengenai pokok-pokok ajaran tentang beryadnya atau hubungan antara manusia dengan yang disembah.

Di samping itu, kata yajna juga dihubungkan pula dengan konsepsi penciptaan alam semesta ini. Yajna adalah semacam simbol bahasa yang mengandung pengertian sebagai satu proses kejadian. Di dalam Rg Weda X.92 (Nasadiya Sukta) mengemukakan bahwa penciptaan ini terjadi dari yajna. Yajna adalah satu proses, satu phenomena yang dinamis mengenai penciptaan alam semesta.

Adapun pengertian yajna yang dipergunakan dalam bahasa sehari-hari, kata yadnya dimaksudkan sebagai upacara keagamaan yang sama artinya dengan samskara atau sangaskara. Terjemahan arti kata yadnya menjadi samskara kurang tepat karena kata samskara itu sendiri masih sangat kabur pengertiannya.

Di dalam berbagai terjemahan yang dilakukan, kata samskara diterjemahkan dengan kata ceremony di dalam bahasa Inggris, sedangkan di dalam bahasa Latin disebut caerimonia. Kalau kata “ceremony” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata itu berarti “upacara”, sehingga dengan demikian kata samskara berarti upacara pula.

Di samping istilah yajna yang diterjemahkan sebagai samskara, terdapat juga pengertian lain, di mana kata itu diterjemahkan atau diganti dengan istilah “karman”. Kata karman berarti upacara keagamaan yang di dalam bahasa Jawa Kuno ditulis “krama”, misalnya dipergunakan dalam penulisan Wedaparkrama.

Dari semua istilah itu, kata yajna mengandung pengertian yang lebih luas dari pada istilah lain-lainnya, tetapi penggunaannya tetap dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu yang diartikan sama dengan samskara. Kata samskara itu sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yang mempunyai arti yang luas pula. Dari berbagai terjemahan atas kata samskara itu, kata itu menurut beberapa penulis ada yang berarti melatih, mensucikan, membiasakan, menjadikannya sempurna, memberi bentuk, melengkapi, memperindah, membentuk, membudayakan, dan sebagainya. Kalau kita rumuskan dari berbagai terjemahan itu maka kata samskara adalah karman pula, yaitu semacam rituil yang bertujuan untuk membuat sempurna atau mensucikan badan ini sehingga layak untuk dapat memuja Tuhan.

Dengan dinyatakannya di dalam Atharwa Weda, bahwa yajna merupakan bagian dari pada dharma sehingga merupakan unsur ajaran keimanan yang penting, ini menyebabkan ajaran yajna merupakan bagian dari penghidupan beragama menurut agama Hindu. Yajna bukan sekadar ajaran formalistis, melainkan masalah ibadah yang hukumnya adalah wajib. Hanya saja di dalam melaksanakan ajaran yadnya itu terjadi variasi yang berbeda-beda menurut daya pemikirnya, karena dinyatakan bahwa ajaran yajna itu supaya dikembangkan dan disempurnakan.
Tujuan yajna atau samskara
Yajna merupakan aspek ajaran karma margha karena yajna adalah sama dengan karman. Di dalam Rg. Weda X,71 dikemukakan ada empat macam cara untuk mencapai tujuan atau pemujaan kepada Tuhan, yaitu :
1.   Dengan melalui cara pengucapan mantra-mantra. Cara ini dikenal pula dengan istilah bhakti margha.
2.   Dengan  melalui  cara  menyanyikan  lagu-lagu  pujaan (hymn), misalnya melagukan mantra dan stotra. Cara ini dikenal dengan istilah wibhuti margha.
3.   Dengan melalui cara keilmuan, misalnya mengamati dan mengamalkannya. Cara ini dikenal dengan jnana margha.
4.   Dengan melalui cara melakukan yajna, yaitu yang disebut ajaran karma margha.

Jadi berdasarkan kitab Rg Weda di atas, yajna adalah salah satu di antara empat jalan yang dapat dipergunakan untuk memuja Tuhan. Dalam melaksanakan margha itu, dapat dilakukan dengan menggabungkan dari berbagai cara itu dan dapat pula dilakukan dengan hanya memilih satu di antara empat jalan itu. Di samping itu, peranan yajna dianggap penting di dalam agama Hindu karena di dalam Rg. Weda VIII, 19 ditegaskan bahwa yajna mempunyai peranan penting karena yajna adalah laksana kapal yang merupakan kapal yang suci yang akan mengantar manusia kepada tujuannya.

Setiap penyelenggaraan yajnya dilakukan untuk tujuan tertentu dan untuk memperoleh suasana kesucian alam lahir dan bathin. Kesucian ini dicapai karena dalam yajna tardapat pula salah satu disiplin mental yang disebut brata (wrata) sehingga dengan kesucian itu mereka dapat melakukan yadnya. Jadi suasana suci itu ditimbulkan karena melakukan yajna.
Kalau kita pelajari baik-baik tentang berbagai macam yajna yang patut dilakukan, tujuan yajna samskara dapat kita bagi atas dua macam, yaitu :
1.   Tujuan yajna menurut pengertian populer dan bersifat ghaib .
2.   Tujuan yajna menurut pengertian pembudayaan dan kesucian.

Di dalam pengertian populer dan yang bersifat ghaib, tujuan samskara adalah untuk menciptakan suasana suci sehingga memungkinkan seseorang yang melakukan yajna dapat memperoleh tujuannya sebaik mungkin. Dalam hal ini maka tujuan samskara itu mempunyai arti yang sangat luas dan banyak, yaitu :
a.   untuk melenyapkan atau mengusir pengaruh jahat dari rokh-rokh jahat.
b.   untuk menarik atau mendatangkan pengaruh yang baik dari pada rokh-rokh suci yang bersifat baik dan penolong.
c.   untuk mencapai tujuan materiil.
d.   untuk sebagai pernyataan tanda syukuran atau terima kasih.

Adapun cara pelaksanaannya tidak ada petunjuk-petunjuknya dan karena itu pengembangannya dapat bersifat lokal. Mengusir atau menarik rokh tergantung pada jenis rokh yang dihadapi. Untuk rokh-rokh yang bersifat tidak baik diadakan upacara pengusiran atau pemindahan atau pembersihan yang dapat dilakukan melalui pengucapan mantra atau lafal, pemberian sedekahan yang disebut caru atau lainnya seperti melakukan segahan, dan lain-lainnya. Sebaliknya bagi rokh-rokh yang baik, seperti dewa-dewa, Bidadari, Arwah leluhur seperti Pitara, dan lain-lainnya didatangkan untuk membuat suasana menjadi suci.

Di samping itu, yajna dalam arti dimaksudkan sebagai pembudayaan dan kesucian, karena tujuan yajna adalah sebagaimana artinya sendiri, yaitu untuk menjadikan lebih baik. Dalam hal ini kita lihat upacara pensucian (playascitta) dan lain-lainnya.

Pensucian yang merupakan tujuan dari pada hidup beragama dapat dicapai dengan berbagai cara. Di dalam kitab Manawadharma sastra dikemukakan berbagai cara untuk melakukan pensucian, yaitu, dengan cara mandi untuk mensucikan badan, dengan pengucapan mantra atau doa untuk pensucian pikiran, dengan cara membakar untuk mensucikan benda-benda metal, dengan mengendalikan tingkah laku untuk mensucikan diri. Dengan semua cara itu akan terwujud kepribadian yang menjadi sifat hakiki dari pada hidup beragama itu. Dengan kata lain, upacara menurut tujuan ini ialah :
a.   untuk pembinaan dan pengembangan moral
b.   untuk penumbuhan atau pengembangan kepribadian diri seseorang
c.   untuk tujuan spirituil
d.   untuk sebagai tanda peningkatan dari satu fase ke fase yang baru (diksa).

Adapun yang dimaksud dengan pembinaan moral yang menjadi dasar dari pada upacara yajna itu ialah karena didasarkan atas penumbuhan delapan sifat-sifat yang baik, yaitu suka memaafkan, gembira, tenang, suci, berprilaku yang benar, tidak serakah, tidak terikat, dan lain-lainnya. Kesemuanya itu akan menumbuhkan bentuk-bentuk pribadi tertentu pada diri manusia itu.

Di samping tujuan yang bersifat penumbuhan moral dan kepribadian itu, yajna juga merupakan dasar yang bertujuan untuk menanamkan rasa suci dan iman yang disebut sraddha dan sadhana. Upacara yajna adalah merupakan ajaran jalan tengah antara ekstrim materialisme dengan ekstrim spiritualisme yang banyak dilakukan oleh seorang sanyasi. Karena itu yajna itu merupakan jalan yang paling populer dan yang paling banyak dapat dilakukan oleh orang-orang awam dalam lingkungan masyarakat Hindu.
Macam-macam yajna samskara
Banyak buku yang menjelaskan mengenai macam-macam yajna itu. Kitab yang penting yang memuat ajaran Yajna dan samskara itu antara lain adalah kitab Manawadharmasastra, kitab Grihyasutra, dan lain-lainnya, kesemuanya merupakan kitab Wedasmriti.

Menurut kitab Dharmasastra, kitab ini memerinci adanya lima macam jenis upacara besar yang disebut Panca Maha Yajna. Adapun kelima macam yajna itu, masing-masingnya ialah :
a.   Dewayajna
b.   Rsi yajna
c.   Pitri yajna
d.   manusya yajna
e.   bhuta yajna.

Penguraian dari pada masing-masing jenis yajna itu macam-macam. Tiap-tiap jenis itu merupakan kelompok jenis yang masing-masingnya terdiri dari berbagai macam jenis yajna dan samskara pula. Di samping cara penggolongan yang lima itu, kitab Dharma sastra itu membedakan pula cara pengelompokannya menurut cara pelaksanaan dari pada upacara itu sendiri, yang dibedakan menjadi lima macam pula. Adapun nama-namanya yang disebut di dalam kitab Manusmsriti itu ialah :
1.   Upacara yang dinamakan AHUTA, yaitu upacara rituil yang dilakukan tanpa mempergunakan kesaksian api (Agni), misalnya bila upacara itu hanya dilakukan dengan cara pembacaan mantra-mantra pujaan saja. Dasar dari pada ajaran ini adalah bersumber pada kitab Rg. Weda IV.25.
2. Upacara yang dinamakan HUTA, yaitu upacara rituil yang dilakukan dengan mempergunakan api sebagai unsur yang penting, misalnya dengan mempergunakan dupa, dipa atau api iainnya (membakar kemenyan). Dalam upacara ini ada pula benda-benda upacara yang kemudian dibakar (dimasukkan ke dalam api upacara).
3.   Upacara yang dinamakan PRAHUTA, yaitu jenis upacara rituil yang dilakukan dengan cara penyebaran benda-benda upacara di tanah, misalnya pada waktu upacara bhuta yajna dan lain-lainnya.
4.   Upacara yang dinamakan BRAHMAHUTA, yaitu upacara rituil yang ditujukan sebagai penghormatan kepada para pendeta Brahmana, misalnya dengan mengundang para Brahmana dalam satu upacara dan kemudian dalam kesempatan itu kepadanya diberikan dana berupa apa saja. Umumnya upacara ini dilakukan pada waktu melakukan Pitra yajna atau Sraddha.
5.   Upacara yang dinamakan PRASITA, yaitu upacara rituil yang diselenggarakan dengan cara penyuguhan jenis-jenis makanan, buah-buahan, kapur sirih, dan lain-lainnya, terutama ditujukan kepada yang meninggal. Prasita ini adalah semacam “tarpana”.

Di samping cara pembagian tersebut, ada pula cara pembagian yang lebih lengkap, yaitu dengan menyebutkan semua macam upacara yang harus dilakukan. Jumlah jenis macam upacara ini sangat banyak macamnya dan tidak sama antara berbagai buku. Umumnya jenis yang banyak itu dihubungkan dengan samskara, yaitu mulai dari melakukan upacara Brahmacari sampai pada upacara antyesti (kematian). Dari jenis-jenis upacara ini, yang penting adalah yang ada hubungannya dengan pembentukan diri pribadi seseorang, mulai dari garbhadana (upacara bayi dalam kandungan) sampai dengan anak itu lahir dan berakhir pada upacara kematian. Jumlah upacara ini sangat banyak dan tidak semuanya dapat dilakukan.

Di samping kitab Dharmasastra, kitab Grihyasutra memberikan berikan keterangan  yang lain pula tentang berbagai yajna itu. Di dalam kitab ini kits jumpai istilah Panca bhusamskara dan paka samskara. Jenis paka yajna menurut Grihyasutra sama dengan jenis-jenis upacara yang digolongkan Huta, Prahuta, Ahuta dan Prasita. Jadi banyak istilah yang sama yang masih dipergunakan. Penggolongan berbagai jenis upacara itu hanya diperlukan untuk sistematisasinya saja sedangkan makna dan tujuannya tetap sama.

Yang berbeda dari semua kitab itu ialah masalah penulisan upacara yang mencoba menguraikan mengenai upacara kematian. Pada umumnya kitab-kitab itu memisahkan upacara kematian itu dari berbagai jenis upacara lainnya. Di samping itu masih banyak aspek dari pada yajna yang perlu kita ketahui seperti masalah bentuk serta unsur-unsur dalam yajna, ke semuanya itu merupakan unsur-unsur penting dalam memahami arti yajna, baik sebagai dasar keimanan maupun sebagai ritus dalam pembentukan kepribadian manusia itu sendiri. Kesemuanya itu akan dibahas dalam buku tersendiri, dalam buku pengantar agama Hindu V1. Yang terpenting dalam peninjauan kita ialah bahwa berdasarkan uraian yang telah kita lihat di atas, yajna merupakan unsur yang amat penting di dalam penumbuhan pengertian pokok-pokok ajaran Hindu itu sebagai salah satu dari pada unsur sraddha dalam agama Hindu.
Om Santih Santih Snatih Om


Tidak ada komentar:

Posting Komentar