Secara umum , selamat berarti
lepas atau bebas dari kesulitan, kesusahan, mara-bahaya, penderitaan atau
kesengsaraan yang dapat menyebabkan kematian. Tetapi selamat yang
sesungguhnya berarti mukti, bebas atau lepas dari kehidupan material dunia
fana yang menyengsarakan . Dan mukti ini hanya bisa dicapai apabila seseorang
menyibukan diri dalam pelayanan bhakti kepada Tuhan Krisna. Beliau berkata,
” Mam dhyayante upasate tesam aham
samudharta mrtyu-samsara sagarat, bagi dia yang selalu ingat padaKu dan
memujaku, saya bebaskan dia dari samudra derita kelahiran-kematian kehidupan
material dunia fana” (Bg.12.6-7)
Tetapi orang-orang yang disebut
para jiva-bhuta kerkesadaran materialistik, mengerti selamat sebagai bebas
atau lepas dari kemiskinan yaitu ketidakmapuan hidup mewah memuaskan indria
jasmani yang kotor nafsu secara melimpah. Karena itu , menurut mereka
menyelamatkan orang berarti membuat hidupnya senang dalam kemewahan material
dunia fana.
Pendapat keliru dan sesat ini
ditunjukan oleh kenyataan bahwa meskipun mereka sudah kaya raya dan hidup
melimpah, namun mereka tidak pernah puas. Mereka terus bekerja keras
mengumpulkan harta kekayaan karena hatinya dijangkiti penyakit serakah,
sehingga mereka tidak pernah hidup tenang dan damai. Dengan kata lain, mereka
tetap sengsara dan menderita.
Begitulah, menganggap kekayaan
material sebagai alat penyelamat dari derita kehidupan fana adalah kebodohan
belaka. Tetapi kebodohan yang amat nyata ini tidak disadari oleh orang-orang
modern Kali-yuga yang menyatakan dirinya amat terpelajar dan paling beradab.
Begitulah, menganggap kekayaan
material sebagai alat penyelamat dari derita kehidupan fana adalah kebodohan
belaka. Tetapi kebodohan yang amat nyata ini tidak disadari oleh orang-orang
modern Kali-yuga yang menyatakan dirinya amat terpelajar dan paling beradab.
Manusia yang berhakekat spritual
sebagai jiva rohani nan abadi, tidak bisa dipuaskan dengan cara dan upaya
material apapun. Ia akan puas dan bahagia hanya jikalau kembali tinggal di
rumahnya asli yaitu alam kesuka-citaan rohani Vaikunta-loka, seperti halnya
sang ikan tidak dipuaskan dengan cara apapun di darat. Sang ikan hanya akan
puas dan bahagia jikalau ia dikembalikan ke tempat tinggalnya ayang asli
yaitu air di sungai atau danau.
Karena itu menyelamatkan manusia
dari derita kehidupan dunia fana dengan kekayaan material pada hakekatnya
adalah menyelamatkan sang ikan dengan memberinya beraneka macam makanan di
darat.
Kenyataan ini diungkapkan oleh
cerita metaporik berikut:
Tersebutlah seekor Monyet yang
bersahabat dengan se-ekor Ikan gabus. Sang monyet tinggal disatu telaga yang
ada dibawah pohon tersebut. Mereka menikmati kehidupan masing-masing dalam
kedamaian.
AkhirnSetaiap hari, setelah
selesai dengan kegiatan mencari makan dan perut telah kenyang, mereka berdua
berbincang-bincang tentang kehidupandi hutan dan kehidupan di air sambil
bercanda ria. Sang minyet telah sepakat dengan si Ikan bahwa mereka akan
saling bantu bilaman salah satu dari mereka menemui kesusahan dalam kehidupnya.
Pada suatu hari, hujan deras mengguyur wilayah hutan disana, sehingga
terjadilah banjir. Air sungai terdekat meluap dan mnegenangi kedua tepinya.
Si monyet berlindung dibawah dauan-daun rimbun di puncak pohon, melihat air
dimana-mana. Ia tidak bisa membedakan mana sungai dan mana telaga. Sementara
itu, air yang membanjir menghanjutkan banyak pohon kayu.
Sang monyet cemas. Ia takut
kehilangan sahabat karibnya si Ikan gabus. Ia berdoa agar si Ikan tidak
dihanyutkan oleh banjir.
Sang ikan memegang tangan si
Monyet dengan giginya, dan seketika itu juga Monyet mengangkatnya dari dalam
air, lalu menaruhnya diatas dahan diantara ranting-ranting yang ia telah
jalin rapat dan rapi.
”Nah tinggal disini
bersamaku”, kata si Monyet sambil menyodorkan banyak cacing dan ulat kepada
sang ikan. Si Ikan hanya mengglepar-glepar menderita dan berteriak , ”Kawan
aku susah bernafas, kembalikan aku segera ke air”.
Si Monyet bodoh menjawab, ”Aku
takut kehilangan sahabat seperti dirimu. Aku sangat mencintaimu. Kembalilah nanti
ke air setelah banjir surut. Bukankah telah kusediakan banyak makanan
untukmu? Nikmatilah makanan ini!”
”Aku tidak bisa makan karena
semakin susah bernafas. Tolong kembalikan aku segera ke air”, sang ikan terus
protes. Tetapi si monyet tidak perduli pada penderitaan si Ikan. Sebab ia
pikir dirinya telah berbuat yang benar dan mulia yakni menyelamatkan teman
karib dari bencana banjir.
Demikianlah karena kebodohan, si
Monyet menemukan sang Ikan keesokan harinya sudah kaku tidak bernyawa ketika
hendak dikembalikan ke dalam air.
Om Namo Bhagavate Vasudevaya....
...jay Sri Krsna.... -Ketut santosa-
Kali Yuga (Tidak Bisa
Dibeli)
|
|
|
Dengan mulainya Kali-yuga 3.102
tahun sebelum masehi, prinsip-prinsip kehidupan Veda memudar terus.
Beraneka macam paham kehidupan materialistik yang berkembang pesat
menyebabkan banyak jiva-bhuta berjasmani manusia menolak doktrin karma dan
punarbhava (reinkarnasi). Begitulah, orang-orang yang menyebut dirinya modern,
paling maju, paling terdidik dan paling beradab, berpikir bahwa dirinya
hidup sebagai manusia hanya sekali ini saja. Tidak ada kehidupan material
sebelum maupun sesudah kehidupan seperti yang mereka alami sekarang di muka
bhumi ini.
Mereka yang disebut orang-orang
modern berpaham materialistikini, lebih lanjut berpikir,
”Aparaspara-sambhutam kim anyat kama haisukam, segala makhluk hidup di alam
material muncul dari hasil hubungan badan (sex) belaka dan tidak ada
penyebab lain selain nafsu” (Bg.6.8). dan mereka yang berpaham athestik
terang-terangan berkata, ”jaad ahur anisvaram, tidak ada tuhan yang
mengendalikan alam semesta ini” (Bg.16.8)
Dengan berpikir seperti itu,
lalu mereka berkesimpulan begini, sebelum kelahiran tidak ada apa-apa.
Nanti setelah kematian juga tidak ada apa-apa pula. Karena itu, hidup
sebagai manusia hanya sekali ini saja adalah kesempatan bagus untuk
mengejar kesenangan duniawi melalui pemuasan indria jasmani secara
mewah-melimpah dengan beraneka macam harta benda dunia fana”. Maka, begitu
berhasil mengumpulkan harta kekayaan dan jadi manusia kaya yang hidup
mewah-melimpah, mereka berpikir dirinya telah mencapai kesempurnaan hidup
sebagai makhluk manusia.
Orang-orang berkesadaran
materialistik ini tidak peduli ada apa yang akan terjadi terhadap dirinya
ketika ajal merenggutnya dan berpisah dengan harta-kekayaan yang
dikumpulkannya dengan derita kerja amat keras. Sebab mereka selalu sibuk
dengan beraneka macam program menikmati kesenagan duniawi agar hidup lebih
bahagia di alam material. Bagi mereka, penjelasan kitab suci Veda tentang
kehidupan sorga dan neraka setelah ajal adalah dongeng belaka. ” Lebih baik
bekerja keras memuaskan indria jasmani agar hidup senang daripada mendengar
dongeng seperti itu”, begitu mereka berkomentar.
Kenyatan ini diungkapkan oleh
cerita dibawah ini:
Tersebutlah seorang pengusaha
(bisnisman) kikir. Meskispun telah kaya raya, namun dia tetap bekerja keras
mengumpulkan kekayaan. Paham materilistiknya tiada henti membuai dirinya
dengan anggapan bahwa dia telahmenjadi manusia maju, sukses, sempurna dan
terhormat. Maju, karena dia bisa menikmati kehidupan modern dengan beraneka
ragam fasilitas hidup hasil teknologi, dan makan makanan bergizi kaya
protein seperti: beefsteak, hotdog, hamburger, fried-chicken, pizza,
sausage dsb. Sukses, karena dirinya mampu mengumpulkan banyak uang dan
memiliki harta beraneka macam. Sempurna, karena dirinya telah menjadi orang
yang kaya yang hidup mewah-melimpah. Dan terhormat, karena bisa bergaul
dengan para pejabat negara dan para selebriti, dan sering tampil di depan
pubik bersama mereka.
Sekarang sang Pengusaha sedang
mempersiapkan tour keliling dunia. Program menikmati dunia ini tercetus
dihatinya ketika sedang sakit beberapa hari lalu. ”Kesehatannya sering
terganggu akhir-akhir ini, sehingga setiap saat aku bisa mati mendadak.
Sementara uangku melimpah. Biar kuhabiskan saja kekayaanku dengan
bersenang-senang diberbagai belahan bhumi supaya kerja kerasku di dunia
tidak sia-sia”, begitu dia berencana. Sementara mempersipakan diri untuk
tour keliling dunia. Sang Pengusaha memeriksakan kesehatannya ke Dokter
spesialis. Dia sungguh kecewa ketika diberitahu oleh dokter agar
beristirahat saja di rumah karena kadar kolesterol di tubuhnya telah
melampau batas maksimum.
”Berbahaya bagi anda untuk
melakukan perjalanan jauh dalam kondisi phisik seperti ini”, kata sang
Dokter. ”Lalu, apa yang harus kukerjakan di rumah?”, tanya si Pengusaha
kecewa. ”Istirahat, makan sayur-sayuran dan buah-buahan lebih banyak dan
lebih sering”, si Dokter menjawab. ” Wah, itu tidak dapat kulakukan, sebab
aku sudah terbiasa sibuk dan makan beraneka ragam macam makanan lezat
bergisi tinggi yang terbuat dari daging, ikan dan telor”, si Pengusaha
protes. ” Sebagai seorang Dokter , saya harus menyatakan begitu kepada anda
unutk kebaikan dan keselamatan anda sendiri”, kata sang dokter Oleh karena
tidak mengikuti nasehat dokter, si Pengusaha jatuh sakit lagi, dan tidak
lama kemudian dia mati.
Diceritakan bahwa jiva(roh) sang
pengusaha dijemput oleh beberapa Yamduta, utusan yama, dewa kematian,. Si
pengusaha amat terkejut melihat mahkluk-mahkluk ganas menakutkan nin. Dia
tidak pernah membayangkan selama hidup di bhumi bahwa setelah kematian,
dirinya sebagai sang jiva, masih tetap sadar dan hidup dengan badan astral
(halus) dan berjumpa dengan mahkluk-mahkluk mengerikan seperti itu Ketika
para utusan Deva Maut itu memegang tangannya, si pengusaha gemetar
ketakutan dan berkata , ”tolong, tuan-tuan, perkenankanlah saya kembali ke
bhumi karena program keliling dunia belum terlaksana” ”Tidak bisa !!, jawab
si Pemimpin Yamaduta. ”Seandainya Tuan-tuan mengijinkan saya hidup kembali
di Bhumi, saya akan serahkan seper-empat dari depositoku yang ada di Bank
kepada kalian”, kata si pengusaha mengusulkan, seraya berpikir bahwa para
Yamaduta ini bisa disogok seperti para Pejabat negara di Bhumi. ”Tidak
bisa”, jawab si Pemimpin utusan sambil memegang tangan si pengusaha lebih
erat. ”Kalau begitu , saya akan serahkan seluruh kekayaanku kepada kalian”,
si Pengusaha mengusul lagi. ”Tidak bisa”, kata sang Yamaduta seraya hendak
menyeretnya.” ”Tuan-tuan, saya akan serahkan seluruh kekayaanku di Bhumi
asalkan anda tidak menyiksa diriku”, si Pengusaha mohon dikasihani. ”Tidak
bisa”, jawab sang Utusan tegas, seraya mulai menyeret si pengusaha menuju
neraka. Ketakutan dan ketidakberdayaannya membuat si pengusaha insyaf diri.
Lalu dia berkata, ”Tuan, bolehkan saya minta waktu sebentar untuk
meyampaikan pesan kepada orang-orang materialistik di muka bumi?.”
mendengarkan permintaan si pengusaha demikian, para Yamaduta itu saling
pandang satu dengan yang lain.
Akhirnya pemimpin Yamadhuta
mengangguk sambil menyodorkan pensil dan kertas. ”Tulis disini!”, katanya
kepada si Pengusaha yang kemudian menulis pesannya sebagi berikut: ”WAHAI
ORANG-ORANG TOLOL, MANFAATKANLAH HIDUPMU SEBAIK-BAIKNYA DENGAN MENJADIKAN
KITAB SUCI VEDA SEBAGAI PEDOMAN HIDUP. HIDUPLAH SESUAI PETUNJUKNYA SUPAYA
TIDAK BERNASIB MALANG SEPERTI DIRIKU. WAKTU HIDUPMU SATU MENIT YANG TELAH
BERLALU, TIDAK BISA DIKEMBALIKAN DENGAN MEMBELINYA SEHARGA SERIBU DOLLAR”
Kemudia para yamduta itu menyeret si Pengusaha ke neraka karena dosa-dosa
yang diperbuatnya semasa hidup di bumi.
Jay Sri Krsna.....Hari hari
bolo...... -ketut santosa-
|
|
Hari Raya Galungan dan Kuningan
|
|
|
|
|
|
Hari Raya Galungan jatuh pada
Budha Keliwon Dungulan. Berdasarkan pustaka 'Panji Alamat Rasmi' di Jawa
Timur pada jaman Jenggala (abad XI), hari raya ini sudah dirayakan.
Demikian juga pada 'Pararaton' akhir jaman kerajaan Majapahit pada abad
XVI, hari raya ini juga telah dirayakan.
Hari Raya Galungan mempunyai
arti "Pawedalan Jagat" atau "Oton Gumi". Ini bukan
berarti gumi/jagat lahir pada hari Budha Keliwon wuku Dungulan. Melainkan
pada hari itulah umat Hindu menghaturkan 'maha suksemaning idepnya' (rasa
terima kasih) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan atas terciptanya
dunia beserta segala isinya. Pada hari inilah umat Hindu 'angayubagia'
(bergembira), bersyukur atas karunia-Nya.
Ngaturang maha suksmaning idep,
angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan 'kinasihan', tahu
akan hutang budi
Hubungan Mayadanawa dengan Hari
Raya Galungan
Dikisahkan di Desa Blingkang
(kira-kira sebelah utara Danau Batur), bertahta seorang raja yang sangat
sakti yang bernama Mayadanawa. Mayadanawa merupakan raja keturunan daitya,
anak dari Dewi Danu. Karena kesaktiannya ia dapat merubah wujudnya menjadi
bermacam-macam rupa dan bentuk.
Raja ini dikatakan menguasai
Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok, dan Blambangan. Karena sakti dan
berkuasanya, Mayadanawa menjadi sombong dan timbul sifat angkara murkanya.
Pada jaman ini juga hidup seorang Mpu yang juga sakti yaitu Mpu Kulputih.
Oleh Mayadanawa rakyat Bali tidak diperkenankan menyembah Tuhan, dilarang
sembahyang, dan kahyangan-kahyangan/pura dirusaknya.
Karena tindakan ini rakyat Bali
menjadi sengsara, tanam-tanaman menajdi rusak, orang-orang terserang
penyakit. Rakyat tidak berani melawan atau membantah kehendak Mayadanawa
karena sakti dan berkuasanya.
Melihat keadaan ini, Mpu
Kulputih merasa prihatin. Ia kemudian melakukan yoga semadi di Pura Besakih
untuk memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa untuk dapat mengatasi
kekacauan masyarakat Bali yang ditimbulkan oleh tindakan rajanya. Beliau
lalu mendapat wahyu dari Bhatara Mahadewa agar meminta pertolongan ke Jambu
Dwipa (India).
Tidak jelas siapa akhirnya yang
berangkat ke India, dan bagaimana sampai ada dikisahkan datang pasukan dari
'Sorga' untuk menyerang Mayadanawa. Hanya dikisahkah bahwa pasukan dari
Sorga dipimpin oleh Bhatara Indra dengan disertai pasukan yang kuat dan
persenjataan lengkap menuju Bali. Dalam penyerangan itu, sayap kanan
pasukannya dipimpin oleh Citrasena dan Citrangada.
Pasukan sayap kiri dipimpin oleh
Sang Jayantaka, sedangkan induk pasukan cadangan dipimpin Gandarwa. Untuk
menyelidiki keadaan keraton Mayadanawa dikirim Bhagawan Narada. Dipihak
lain Mayadanawa telah pula mengetahui rencana serangan pasukan Bhatara
Indra ini, karena ia banyak mempunyai mata-mata.
Oleh karena itu ia menyiapkan
pasukannya untuk menghadapi serangan pasukan dari Sorga itu. Peperanganpun
tidak dapat dihindari, terjadilah pertempuran yang sangat hebat dan menelan
banyak korban dari kedua belah pihak.
Namun karena pasukan Bhatara
Indra lebih tangguh, akhirnya pasukan Mayadanawa kocar-kacir dan akhirnya
melarikan diri meninggalkan raja dan patihnya yang bernama Si Kala Wong.
Nasib Mayadanawa dan patihnya ternyata lagi baik, karena sebelum sempat
dibunuh peperangan harus dihentikan dulu, karena hari sudah gelap.
Malam harinya saat pasukan dari
Sorga sedang tertidur pulas, datanglah Mayadanawa dan menciptakan 'air
cetik' (air beracun) di dekat tempat tidur pasukan dari Sorga. Kemudian
Mayadanawa meninggalkan tempat itu, dan untuk menghilangkan jejak, ia
kemudian berjalan dengan memiringkan telapak kakinya.
Tempat itu selanjutnya kita
kenal dengan Tampak Siring. Keesokan harinya pasukan dari Sorga bangun dari
tidurnya dan minum air yang diciptakan Mayadanawa. Anggota pasukan itu
akhirnya menjadi sakit semua.
Bhatara Indra yang mengetahui
hal ini, kemudian menciptakan sumber air yang lain yang dinamakan 'Tirta
Empul'. Karena kekuatan air yang diciptakan Bhatara Indralah, anggota
pasukan yang tadinya sakit menjadi sembuh kembali. Aliran air dari Tirta
Empul ini menjadi sungai yang diberi nama Tukad Pakerisan.
Bhatara Indra dan pasukannya
kemudian mengejar Mayadanawa yang telah melarikan diri dengan patihnya.
Dalam pelariannya Mayadanawa merubah wujudnya menjadi 'manuk raya' (unggas
yang besar). Tempat ia mengubah wujudnya, kemudian dikenal dengan Desa
Manukaya. Bhatara Indra yang sakti tidak dapat dikelabui oleh Mayadanawa.
Kemudian Mayadanawa kembali
merubah wujudnya beberapa kali menjadi 'buah timbul', 'busung', 'susuh',
menjadi 'bidadari' dan akhirnya mengubah dirinya menjadi batu paras bersama
Si Kala Wong. Kedua batu paras ini kemudian berhasil dipanah oleh Bhatara
Indra, sehingga raja dan patihnya menemui ajalnya.
Darah keduanya terus mengalir
dan menjadi sungai yang disebut Tukad Petanu. Sungai ini dipastu/dikutuk,
jika air sungai itu dipergunakan untuk mengairi sawah, padinya akan menjadi
subur, tetapi bila dipetik akan mengeluarkan darah dan berbau bangkai.
Pastu/kutuk ini berlaku selama 1000 tahun.
Desa tempat Mayadanawa merubah
wujud menjadi buah timbul selanjutnya disebut Desa Timbul, tempat ia
berubah menjadi busung dinamai Desa Blusung, tempat merubah dirinya menjadi
susuh disebut Desa Penyusuhan, dan tempat ia merubah wujudnya menjadi
bidadari dinamai Desa Kedewatan (Ubud).
Kematian raja Mayadanawa ini
merupakan kemenangan bagi umat beragama terhadap kaum Atheis (tak
beragama). Hari kemenangan ini lalu diperingati enam bulan sekali (atau 6
kali 35 hari = 210 hari) yang dinamai Hari Raya Galungan. Ada kemungkinan
karena Hari Raya Galungan jatuh pada wuku Galungan, maka disebut Hari raya
Galungan, seperti juga Hari Raya Kuningan yang jatuh pada wuku Kuningan.
Pelaksanaan Hari Raya Galungan
dan Kuningan bertitik tolak pada Tumpek Wariga atau Tumpek Pengarah disela
tonggak persiapan Galungan dan Kuningan sampai dengan Budha Keliwon Pahang
yang juga disebut Budha Keliwon Pegat Wakan.
Memasang Penjor
Penjor merupakan perlambang dari
Gunung Agung sekaligus perlambang kehadiran Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan. Penjor sendiri sebetulnya sarat akan makna/penuh arti. Pada
penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti padi, jagung, kelapa,
jajan, dll. Juga terdapat barang sandang seperti kain/kasa, serta uang. Ini
merupakan sebuah peringatan/tanda yang perlu diingat oleh semua manusia,
bahwa apa yang kita nikmati di dunia ini adalah atas karunia-Nya.
Pemasangan penjor dilakukan
paling lambat pada Hari Penampahan Galungan. Penjor adalah perlambang
Gunung Udaya/Tohlang kir atau Gunung Agung, untuk menyatakan rasa terima
kasih dan bersyukur atas hasil bumi yang dianugerahkan. Gunung Agung
merupakan perlambang kesucian sebagai perantara terhadap Gunung Semeru,
Gunung Himalaya atau Mahameru yang dipercaya sebagai tempat sthananya
Bhatara Putra Jaya.
Atas apa yang bisa kita nikmati,
kita boleh bergembira dan merayakannya. Akan tetapi dalam merayakannya
hendaklah digunakan cara- cara yang berlandaskan pada ajaran
kebenaran/dharma yaitu ajaran agama. Kegembiraan selalu mengacu pada
batas-batas kesusilaan seperti mengadakan pertunjukkan kesenian, malam
sastra, olah raga, dll.
Kita hendaknya berani untuk
meninggalkan cara-cara lama yang tidak berdasarkan ajaran susila. Namun
dalam pelaksanaannya mengacu kepada Desa, Kala, dan Patra.
Uraian Hari Raya Galungan dan
Kuningan
Wrespathi Wage Sungsang, adalah
Hari Sugimanek Jawa, hari pesucian para Dewa, turunnya para Bhatara-Bhatari
yang diiringi oleh para Pitara-Pitari. Pada hari ini merebu di Merajan
Parhyangan dengan sesajen pengerebon dan pengeresikan puspa wangian.
Sukra Keliwon Sungsang, adalah
Hari Sugimanek Bali, hari yang khusus untuk menyucikan diri. Menyucikan
diri dari pengaruh keduniawian. Pada hari ini sebaiknya matirtha yatra
(matirtha gocara) artinya pergi ke tempat-tempat suci sambil menghayati
ajaran-ajaran suci yang kita dapati dari petunjuk agama.
Saniscara Umanis Sungsang,
adalah bersiap-siap untuk hari berikutnya. Bersiap-siap menghadapi ujian
lahir dan batin dalam ketenangan, kesabaran, kewaspadaan, dan ketawakalan.
Panyekeban/Panapean, Redite
Pahing Dungulan ialah hari dimulainya umat Hindu melakukan Yoga Samadhi, karena
pada hari ini turunnya Sang Kala Tiga Wisesa menjadi Bhuta Galungan, untuk
menggoda bathin umat manusia. Mulai Redite, Soma, dan Anggara Wuku Dungulan
ini sebagai turunnya Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangkurat.
Pada hari ini dilakukan Nyekep/peram bahan yang perlu diperam misalnya
tape, pisang, yang dipersiapkan untuk Galungan. Juga membuat jajan- jajan
untuk sesajen Galungan.
Penampahan, Anggara Wage
Dungulan, ialah hari dimana godaan datang dari Bhuta Amangkurat. Kalau kita
lengah dan tidak kuat akan dapat digoda oleh Sang Bhuta. Pada hari ini
melakukan Bhuta Yadnya di Catuspata, caru tiap pekarangan, segehan berwarna
menurut urip dan tempat, misal tumpeng lima buah di Timur, Selatan 9 buah,
Barat 7 buah, Utara 4 buah, dan Tengah 8 buah. Dihaturkan kepada Sang Bhuta
Galungan.
Galungan, Budha Keliwon Dungulan
adalah hari untuk bergembira, karena tercapainya pikiran yang
galang/tenang, setelah menghadapi ujian lahir bathin dari Sang Bhuta
Galungan atau dihubungkan dengan kemenangan Dharma melawan Adharma. Pada
hari ini ngaturang sesajen kehadapan para Dewa, Bhatara-Bhatari, serta Dewa
Pitara sebagai pengiringnya turun ke bumi.
Umanis Galungan, Wrespathi
Umanis Galungan adalah hari nyarinin Galungan. Umat disilahkan menikmati
semua anugerah yang dilimpahkan Sang Hyang Widhi Wasa. Hari ini
memperbaharui sesajen/nganyarin sambil menikmati seni budaya yang keliling
(ngelawang).
Pahing Galungan, Sukra Pahing
Dungulan, masih dalam keadaan waspada dengan kesucian bathin.
Pamaridan Guru, Saniscara Pon
Dungulan, ialah hari ngeluhurnya (naiknya) para Dewa Kabeh, dengan
meninggalkan atau menganugerahkan kesejahteraan di dunia ini. Biasanya pada
saat ini umat melakukan Tirthayatra ke tempat suci. Menghaturkan
sesajen/banten anaman, canang raka, dan wangi-wangian sederhana.
Ulihan, Redithe Wage Kuningan
ialah hari Angulihaken prikramaning pratekaning Kuningan. Saat inilah
waktunya mengenang jasa para leluhur yang telah meninggalkan kita, serta
melanjutkan perjuangannya menegakkan kebenaran/dharma.
Pamacekan Agung, Soma Keliwon
Kuningan, ialah hari memanjatkan tekad yang baik di tengah-tengah kesucian
bathin, karena hari pamacekan artinya 'Pacek' yang berarti tengah. Yaitu
hari diantara Galungan dan Kuningan, tepatnya 5 hari setelah Galungan, dan
5 hari sebelum Kuningan. Filosofinya adalah kita berada di tengah-tengah
kesucian bathin. Pada saat ini menghaturkan Segehan Agung di muka pintu
gerbang.
Anggara Umanis Kuningan, kosong
hari persiapan Kuningan. Pujawali Bhatara Wisnu, Budha Pahing Kuningan ialah
turunnya Dewa Pemelihara Dunia yaitu Dewa Wisnu. Umat seyogyanya memohon
wahyu untuk terpeliharanya alam semesta ini.
Wrespathi Pon Kuningan, kosong
hari persiapan Kuningan.
Penampahan Kuningan, Sukra Wage
Kuningan ialah hari untuk mempersiapkan bahan untuk besoknya (Kuningan).
Tumpek Kuningan, Saniscara
Keliwon Kuningan, ialah hari turunnya kembali Dewa-Dewi, Bhatara-Bhatari
diiringi para Pitara namun hanya sampai tengah hari (12.00 siang), sesuai
dengan hari Sugimanek Jawa. Pada hari ini umat sebaiknya introspeksi diri
dengan cara konsentrasi, meditasi, demi kesejahteraan umat. Sarana upacara
hari ini adalah selanggi, tebog, gantung-gantungan (endongan), pada tiap-
tiap bangunan rumah dan perlengkapannya. Pada halaman rumah menghaturkan
Segehan Agung, umat/orangnya ngayab sesayut prayascita lewih, sesayut segan
kuning, iwak itik putih, dan penyeneng.
Pegat Wakan, Budha Keliwon
Pahang ialah hari berakhirnya melakukan Tapa-Brata karena telah berjalan
selama 42 hari. Terhitung dari Sugimanek Jawa sampai Budha Keliwon Pahang
(Pegat Wakan). Selanjutnya umat melaksanakan atau mengamalkan hasil
Tapa-Bratha yang berguna untuk masyarakat, sebagaimana menjelang permulaan
hari raya. Pada saat ini umat mempersembahkan sesayut dirgayusa, penyeneng,
dipersembahkan kehadapan Hyang Widhi Wasa.(ek)**
Dipetik dari:
http://www.baliaga.com/indonesia/religi/religidasar_galungan.html
---ooo---
|
|
Suka Duka di Jaman Kali (Sebuah
Fenomena Sosial)
|
|
|
|
|
|
oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa,
24 Desember 2007
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma dan
pembaca yang budiman,
Sebagaimana kita
ketahui bahwa Hindu mengenal empat jaman dari Treta Yuga, Kertha Yuga,
Dwapara Yuga dan yang terakhir adalah Kali Yuga. Kehidupan kita sekarang
ini berada pada jaman kali Yuga. Pada jaman ini banyak hal yang terjadi dan
bertentangan dengan hati nurani. Anehnya kegiatan yang justru bertentangan
dengan konsep hati nurani banyak penggemarnya. Inilah yang perlu kita kaji
dan menjadi acuan berpikir, berkata dan bertindak untuk tetap kiranya ajeg
dalam tatanan ajaran Dharma.
Kehidupan ini terikat
oleh suka dan duka, dimana segala pujian akan datang ketika dalam keadaaan
suka dan begitu juga sebaliknya keadaan duka segala penderitaan dan hinaan
datang bertamu kepada kita tanpa diuandang. Sesungguhnya Hyang Widhi, Tuhan
Yang Maha Kuasa tidak memberikan kita ujian berat yang melebihi kemampuan
kita. Kejadian dan perbuatan asubha karma yang dilakukan oleh manusia pada
saat ini merupakan contoh konkrit, bahwa ternyata antara kandungan suci
falsafah agama yang begitu ideal ternyata pada pelaksanaannya tidaklah
sejalan dengan ajaran agama, sistem pengendalian diri yang bersumber pada
ajaran Tri Kaya Parisuda, pada saat ini tidak banyak orang yang mampu
menerapkannya dengan berbagai alasan kondisi situasional. Penerapan
berpikiran yang baik, saat ini sangat sulit dilakukan karena berbagai
intrik pribadi maupun kelompok yang membentuk konfigurasi yang kompleks,
sehingga manusia merasa saling berebut pembenaran untuk mencapai tujuan
yang dianggap paling benar. Penerapan berkata yang baik sesungguhnya sulit
juga dilakukan, tutur kata seseorang ibaratkan dapat membunuh orang lain
meskipun tidak menyentuhnya secara phisik sedikitpun, tutur kata yang bijak
menurut kelompok yang satu, belum tentu baik menurut kelompok yang lain,
sehingga sulitlah berkata yang baik. Penerapan bertindak yang baik adalah
hal yang lebih sulit lagi dijaman kali yuga ini. Sudah banyak hal-hal yang
baik dilakukan misalnya kegiatan keagamaan, tirtayatra, korban suci dan
yadnya yang menghabiskan biaya jutaan rupaih, tablik akbar, misa Gereja.
Begitu juga banyak buku-buku agama yang tersedia sangat lengkap di
mana-mana dan telah kita baca. Demikian pula halnya dengan banyaknya
acara kegiatan solidaritas antara sesama manusia, juga telah banyak
dilakukan di bumi Nusantara ini. Meditasi yang khusyuk, telah dilakukan
oleh para sahabat spiritual, tetapi kenapa kekacauan ini tiada nampak
berakhir?
Ada orang sedang diberikan ujian suka,
hatinya gembira, hartanya melimpah, anak-anaknya berhasil, keluarganya
sejahtera, sementara ada orang yang sedang diberikan ujian duka, hatinya
bersedih, terperosok dalam kemiskinan, segala usaha ekonomi gagal,
keluarganya morat marit. Pada hakekatnya kedua situasi di atas sesungguhnya
sedang menguji umat manusia. Itulah resiko hidup di dunia yang terikat
dengan material.
Bangsa Indonesia sejak dasa warsa
terakhir disibukan oleh kegiatan para penguasa atau pemimpin negeri ini
yang secara logika teori bisa menjadi pemimpin yang bijak, menjadi contoh
ketika dia berada di garis depan atau sebagai pembangkit motivasi dikala
berada di tengah-tengah masyarakat dan menjadi pendengar setia ketika
berada di balik layar. Tetapi apakah kenyataan yang kita jumpai, justru
para penguasa memanfaatkan kesempatan itu untuk korupsi. Inilah fenomena
yang terjadi di dunia material. Kegagalan dalam melaksanakan Catur Marga
disebabkan karena segala perbuatan kita tidak menggunakan hati nurani di
mana jiwa atman yang bersemayam di dalamnya. Kegiatan kegamaan yang nyata
nampak, seolah semua itu telah sesuai dengan idealisme agama, namun kenapa
kekacauan tetap terjadi? Kedudukan yang baik dan terhormat, posisi
kuasa yang strategis, semua itu merupakan ujian bagi diri kita sendiri. Hal
hal yang terjadi yang menyimpang dari Dharma merupakan timbangan tanggung
jawab kita di hadapan Hyang Widhi sebagai pencipta alam raya semesta yang
tengah memberikan ujian kepada kita.
Karma kita tidak bisa terhapus karena
hal-hal baik ataupun buruk, tetapi semua saling mengisi dan sangat
menentukan nilai perjalanan secara evolusi tentang atman. Kedudukan baik
dan kesempatan baik hanyalah media uji kita, pada situasi demikian, kita
harus menolong diri kita sendiri, karena ujian yang diberikan semakin
sulit. Tindakan adharma adalah cerminan bagi kegagalan ujian kita,
kegagalan ini harus dipertanggung jawabkan seperti yang tertuang dalam
hukum karma. Pertanggung jawaban itu dapat saja datang ketika kita masih
hidup di dunia, misalnya sang koruptor dapat dijebloskan ke dalam penjara,
atau setelah kita tiada, sehingga dengan perbuatan yang asubha karma dapat
mengakibatkan samsara, masuk neraka atau menjelma menjadi makhluk yang
derajadnya lebih rendah.
Dengan demikian bahwa prinsip dengan
hidup yang singkat, pergunakanlah sebaik-baiknya untuk merubah nasib kita
di dunia material pada kehidupan yang akan datang. Kita sesungguhnya tidak
menolong dunia, tetapi kita menolong diri kita sendiri, maka tolonglah diri
kita sendiri selagi kita beruntung menjadi manusia yaitu dengan menyebarkan
kebajikan, memberikan cinta kasih, bekerja tanpa pamerih untuk
kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia./f-igst
Semoga berguna,
Om Santih, Santih, Santih, Om
|
|
Tuhan Ada Dimana-mana
|
|
|
|
|
|
oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa,
01 Agustus 2007
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Viapi viapaka nirvikara, artinya
Tuhan atau Hyang Widhi Wasa itu ada dimana-mana, maka dari itu kita jangan
mempersempit keyakinan kepada Tuhan, dengan beranggapan bahwa Ia hanya
berada di tempat tertentu. Kita harus menghayati bahwa Tuhan itu di
mana-mana. Bagaimana kita dapat mengembangkan perasaan ini? Seperti yang
dikatakan oleh para pelajar, mahasiswa, masyarakat beragama dalam doa
mereka, bahwa selalu meyakini diri bahwa Tuhan ada di dalam dan di luar.
Jika Tuhan hanya berada di
dalam, maka kesucian batin diperlukan, itu sudah cukup. Karena Tuhan juga
berada di luar, maka, maka kesucian lahir juga diperlukan. Dengan demikian,
karena Tuhan berada di dalam dan di luar, kita perlu memiliki kesucian
lahir dan batin. Kemudian barulah kita dapat menghayati kemaha-kuasaan
Tuhan.
Apakah yang dimaksud dengan
kesucian lahir ini ? Sudah tentu kesucian lahir ini, menyucikan
(membersihkan) badan dengan memakai pakaian yang bersih. Akan tetapi ada
arti yang lebih luas. Tempat tinggal kita harus bersih. Buku-buku yang kita
baca harus tetap bersih. Baik badan ataupun pikiran kita jangan dibiarkan
menumpuk kotoran dan sifat-sifat yang buruk. Pernyataan bahwa kita harus
mandi dua kali setiap hari, berarti setiap kotoran pada badan dan dalam
pikiran harus dibersihkan.
Bila kita mempunyai keyakinan
yang kuat, bahwa prinsip ketuhanan yang sama ada di setiap hati manusia,
maka segala hambatan akan bisa diatasi. Bila kita percaya sepenuhnya pada
Tuhan yang bersemayam dalam diri kita, maka segala sesuatu apa saja akan
menjadi milik kita. Keyakinan merupakan kunci dan dasar akar kehidupan
spiritual. Peganglah prinsip itu. Itu tujuan kita bersama.
Jika kita ingin menebang pohon,
kita tidak perlu memotong cabang-cabang dan daunnya. Jika kita memotong
akarnya, seluruh pohon akan tumbang. Jika kita memegang prinsip ketuhanan
itu, semuanya akan dapat kita selesaikan. Agar kita dapat menghayati
ketuhanan yang berada di mana-mana dalam kehidupan kita sehari-hari, kita
harus melaksanakan sadhana, mengembangkan rasa belas kasihan kepada semua
makhluk. Juga kita harus meningkatkan kesucian lahir dan batin, menjaga
agar jasmani dan rohani selalu bersih cemerlang. Hanya dengan demikianlah
kita akan dapat menyadari prinsip ketuhanan yang ada di mana-mana.
Semoga berguna,
Om Santih, Santih, Santih, Om
|
|
pakah Itu Cinta?
|
|
|
|
|
|
oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa,
24 Juli 2007
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
untuk lebih memahami makna cinta, kita mestinya bisa bercermin kepada
reaksi dan keadaan yang ada di sekitar kita. Lihatlah bunga mawar,
mungkinkah bunga mawar itu mengatakan: “Saya akan memberikan keharumanku
hanya kepada orang yang berhati baik dan tidak kepada orang yang berhati
jahat" ?. Dapatkan kita membayangkan sebuah lampu menolak bersinar
karena akan dipakai oleh orang jahat ?. Lampu dapat melakukannya hanya
kalau ia berhenti menjadi lampu. Lihatlah sebatang pohon tanpa pilih kasih
memberikan tempat berteduh bagi setiap orang, baik dan buruk muda dan tua,
tinggi dan rendah, kepada binatang, manusia,dan setiap makhluk hidup,
bahkan kepada orang yang siap siap menebangnya. Jadi inilah sifat pertama
dari CINTA yaitu tidak membeda-bedakan.
Sifat CINTA yang kedua adalah
cuma-cuma atau tanpa pamrih. Seperti pohon, mawar dan lampu, cinta itu
memberi dan tak meminta balas jasa. Betapa kita memandang rendah kepada
pria yang memiliki istri bukan berdasarkan sifat yang dimiliki calon istri,
melainkan jumlah uang yang dibawa sebagai mas kawinnya. Pria semacam itu
hanya mencari keuntungan finansial yang dibawa wanita itu, bukan mencintai
wanitanya.
Apakah cinta Anda berbeda bila
Anda sendiri mencari teman yang memberikan kepuasan emosional dan
menghindari yang tidak, bila kita bersifat baik kepada orang orang yang
memenuhi keinginan dan harapan-harapan kita dan bersikap negatif dan tidak
acuh terhadap mereka yang tidak? Dalam hal ini hanya ada satu yang kita
perbuat untuk mencapai cinta yang tanpa pamrih itu, yaitu dengan jalan
membuka mata dan melihat. Cukup melihat saja, menyingkapkan apa
sesungguhnya yang selama ini kita sebut cinta. Apakah hanya sebagai
kamuflase atas egoisme dan keserakahan kita saja?. Dengan melihat, kita
mengambil langkah besar ke dalam Cinta yang tanpa pamrih.
Sifat CINTA yang ketiga adalah
ketidak-sadaran diri. Cinta begitu membahagiakan, dengan mencintai, orang
tidak sadar akan dirinya. Seperti lampu yang senantiasa bersinar tanpa
perduli bermanfaat atau tidak. Seperti bunga mawar yang menebarkan
keharumannya begitu saja tanpa peduli ada atau tidak orang yang mencium
keharumannya. Seperti pohon yang memberikan keteduhan.
Cahaya, keharuman, dan keteduhan
ada bukan karena ada manusia atau mati bila tidak ada manusia. Mereka ini,
seperti juga cinta, lepas dari manusia. Cinta begitu saja ada, tanpa perlu
memiliki obyek. Merekapun begitu saja ada, terlepas apakah mereka
menguntungkan seseorang atau tidak. Jadi mereka tidak mempunyai kesadaran
akan mendapatkan nilai atau berbuat baik.
Sifat terakhir dari CINTA adalah
bebas. Saat paksaan, kendali, atau konflik muncul, cinta bisa mati.
Pikirkan bagaimana pohon, mawar, dan lampu membiarkan kita sungguh-sungguh
bebas. Pohon tidak akan berusaha menarik kita ke dekatnya untuk berteduh,
biarpun kita berada di terik matahari. Lampu tidak akan memaksakan
cahayanya biarpun kita sedang terseok-seok dalam kegelapan.
Pikirkan sejenak saat-saat
ketika kita menyerah pada paksaan dan kendali orang lain, karena ingin
bertindak sesuai dengan harapan mereka dalam usaha membeli cinta dan
penerimaan dari mereka, atau karena kita takut kehilangan mereka. Setiap
kali kita menyerah pada kendali dan paksaan, kita akan merusak kemampuan
kodrati kita untuk mencintai, karena kita hanya dapat melakukan apa yang
orang lain – dengan seijin kita – lakukan terhadap diri kita. Oleh karena
itu renungkanlah semua kendali dan paksaan dalam hidup kita. Kiranya
perenungan itu sendiri akan menghancurkan kendali dan paksaan. Saat paksaan
dan kendali itu hilang, kebebasan akan muncul. Kebebasan adalah kata lain
untuk CINTA.
Semoga berguna,
Om Santih, Santih, Santih, Om
|
|
Makna Hambatan dan Tantangan
Agama Hindu
|
|
|
|
|
|
oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa,
22 Juni 2007
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Sastra Bhagawad Gita menjelaskan, bahwa kita mestinya mencari Tuhan yang
bersemayam di dalam hati. Disebutkan pula bahwa orang yang Kucintai ialah
orang yang tidak mementingkan diri sendiri, melepaskan segala keterikatan,
dan bersikap sama dalam suka dan duka. Hal ini sangat sulit bagi orang awam
yang mencari kebenaran untuk mencapai keseimbangan seperti itu dan untuk
melepaskan diri dari keterikatan serta rasa keakuan. Apalagi orang-orang
yang sudah memasuki masa grehasta, hal ini hampir tidak mungkin. Mereka
dapat memuja Tuhan melalui berbagai jenis pemujaan, namun sangat sulit bagi
mereka untuk menghancurkan keakuan dan menghilangkan rasa individualitas.
Hal ini merupakan tantangan yang
sedang kita hadapi sebagai umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari. Uraian
berikut merupakan ilustrasi, bahwa bagaimana kita melihat dimensi
keberadaan tentang agama Hindu secara umum. Sebagai agama yang amat tua,
yang memiliki pandangan yang amat luas, dengan kondisi sosial budaya dan
ekonomi yang masih dalam garis kemiskinan dengan latar belakang sejarah
pertumbuhannya yang khas, umat Hindu benar-benar mendapatkan satu tantangan
yang cukup serius dan besar.
Agama itu sendiri sudah
merupakan satu ilmu tersendiri yang harus dipahami terlebih dahulu agar
dapat diterapkan secara tepat guna, khususnya dalam proses membangun bangsa
dan membangun masyarakat seutuhnya, sehingga pemahaman doktrin-doktrin
ajaran agama Hindu perlu mendapat perhatian secara khusus. Kemajuan
teknologi dan sains, yang dihadapi manusia merupakan satu tantangan
tersendiri yang dihadapi oleh umat manusia sehingga tidak jarang manusia
yang kurang menyadari penting artinya agama lebih meremehkan agama dari
pada ilmu teknologi.
Karena itu timbul anggapan
seakan-akan yang paling penting dalam pembangunan sains dan teknologi itu
saja tentunya kurang tepat. Timbulnya anggapan seperti itu pada mulanya
bersumber pada satu pengertian bahwa agama hanya bersifat mistik, yang
hanya mendidik orang untuk hal-hal yang tidak praktis, hanya melakukan
ritual, untuk berdoa dan berdiam diri atau meditasi tanpa melakukan
aktifitas. Ini dilihat jika ajaran agama Hindu sebagai ajaran yang
mengajarkan Nivrtha marga saja atau ajaran yang mengajarkan untuk mengenal
moksa saja. Tetapi kenyataannya ajaran agama Hindu memperhatikan pula
soal-soal duniawi, seperti soal keselamatan, soal politik, soal ekonomi,
sosial budaya, pengobatan yang semuanya dilakukan dengan humanisme.
Sifat kepekaan agama itu perlu
dengan catatan terarah, karena apabila tidak terarah, setiap kemajuan yang
timbul dalam agama akan ditentang sendiri oleh umatnya. Dalam abad
perkembangan sains dan teknologi, sudah selayaknya kalau pendalaman ajaran
agama sudah diarahkan pada pola berpikir kearah pada reorientasi penghayatan
ajaran agama itu sendiri dan melihat ajaran agama Hindu sebagai suatu ilmu
kebijakan.
Kalau agama Hindu harus kita
pelajari tidak hanya sebagai keyakinan, tetapi juga sebagai ilmu, maka cara
pendekatannyapun harus diarahkan sebagai satu ilmu yang dapat membantu
manusia dalam mencapai tujuannya. Dari hasil penelitian para peneliti ada
beberapa kesimpulan bahwa agama Hindu kalau dibahas secara mendalam dan
meluas, membahas berbagai bidang ilmu, seperti:
- Masalah alam semesta
- Struktur dan bentuk materi
- Makna dan kedudukan waktu
- Sifat alam pikiran
- Evolusi manusia
- Sejarah manusia dilihat pada jangka waktu
- Masalah hidup dan mati dan hidup setelah mati
- Pengendalian pikiran dan badan jasmani
- Pengendalian Panca Maha Bhuta
- Pengetahuan politik dan ekonomi
- Psikologi
- Teori pengetahuan
- Cara kerja
- DLL
Dengan demikian, pada hakekatnya
agama Hindu merupakan lebih dari sekedar beragama atau agama biasa dalam
arti tradisional. Banyak ilmu yang masih perlu dan yang dapat kita pelajari
dan kembangkan untuk dapat diabadikan bagi kepentingan pembangunan, sebagai
bentuk pelayanan yang tulus dan ikhlas.
Semoga berguna,
Om Santih, Santih, Santih, Om
|
|
Aktualisasi Ajaran Tri Kaya
Parisuda
|
|
|
|
|
|
oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa,
05 Mei 2007
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Ajaran Hindu yang sejak dini diajarkan, sejak kita duduk di bangku Sekolah
Dasar kelas 2 adalah Tri Kaya Parisuda. Semua diantara kita tahu bahwa
ajaran itu sangat luhur, terpujilah para maha Rsi yang bijaksana yang telah
menerima Wahyu dari Tuhan Yang Maha Pengasih, Hyang Widhi Wasa, dan sampai
saat ini kita warisi. Sungguh mudah dikenal dan diucapkan setiap kali
berhadapan dengan sebuah tatatan etika, moral dan budi pekerti. Di dalam
lubuk hati nurani yang paling dalam ada kristal mutiara, dan sesungguhnya
mutiara itu adalah sebuah manifestasi yang kita kenal dengan Tri Kaya
Parisuda yang pembagiaannya adalah MANACIKA, WACIKA DAN KAYIKA.
Berikut adalah sebuah penjabaran
dari masing-masing bagian yang wajib kita aktualisasikan dalam kehidupan
sehari-hari dalam upaya mencari jati diri dan pencapaian Loka samgraha,
serta sebagai sarana untuk mengantarkan evolusi jiwa kepada keutamaan roh
di masa depan, dari lingkungan yang paling kecil yaitu di keluarga, umat,
masyarakat umum, nusa dan bangsa.
Manacika
Manacika adalah pikiran, secara umum kita sebagai umat Hindu dituntut untuk
bisa berpikir yang baik dan benar. Dalam kajian yang lebih luas berpikir
yang baik dan benar adalah :
- Berpikir positif
- Berpikir Bersih
- Berpikir jernih
- Berpikir Obyektif
- Berpikir yang bermanfaat.
Wacika
Wacika adalah perkataan, secara umum kita sebagai umat Hindu dituntut untuk
bisa berkata atau berwacana yang baik dan benar. Dalam penjabaran yang
lebih luas yang dimaksudkan berkata yang baik dan benar adalah sebagai
berikut:
- Mengandung makna yang baik dan mulia
- Menggunakan kata dan kalimat yang sopan
- Diucapkan secara baik dan jelas
- Menggunakan suara yang dapat didengar secara jelas
dan enak
- Terbatas pada hal-hal yang perlu saja
- Tidak menimbulkan kesalah pahaman dan kemarahan
orang lain.
Kayika
Kayika adalah perbuatan, secara umum kita sebagai umat Hindu dituntut untuk
bisa berbuat atau melakukan aktifitas yang baik dan benar. Dalam kajian
yang lebih luas yang dimaksud dengan berbuat yang baik dan benar adalah
sebagai berikut:
- Melakukan sesuatu untuk keperluan memenuhi
kewajiban, memberi manfaat, memperoleh kebajikan, mencapai
kesejahteraan dan untuk keselamatan.
- Mengacu pada nilai nilai agama, budaya, hukum dan
alat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan nilai nilai
lainnya.
- Kepentingan diri sendiri dan orang lain diletakan
secara proporsional, adil dan bermartabat.
- Dilakukan secara tertib, teratur dan sopan.
- Dapat mencapai tujuan, tanpa melanggar aturan dan
tidak menimbulkan gangguan dan kerugian.
Batasan Trikaya Parisuda yang
dimaksudkan dalam ajaran Hindu yang telah kita terima dari catur kang
sunengguh guru adalah seperti yang disebutkan diatas, namun ada hal hal
yang masih berhubungan dengan hal tersebut yang secara implisit terkandung
makna yang luhur di dalamnya. Adapun hal hal yang dimaksudkan adalah
sebagai berikut:
Sikap
Sikap menyangkut attitude dalam upaya mencapai tujuan yang hendak
dicapai. Bagaimana cara kita bersikap sebagai seorang umat Hindu adalah
sebagai berikut:
- Selalu berpihak pada keadilan, kebenaran dan
kebaikan
- Mendorong terjadinya penyelesaian masalah, dengan
semangat persatuan, kerukunan dan kebersamaan.
- Sopan, ramah, dan rendah hati.
- Sabar.
- Simpatik dan tidak sombong.
Penampilan Pakaian
Dalam tata cara berpakaian keseharian ada hal hal yang perlu diperhatikan
adalah sebagai berikut:
- Bersih dan rapi
- Bersahaja dan sopan
- Tidak menimbulkan gangguan dan masalah lingkungan
- Tidak melanggar ketentuan agama, nilai budaya dan
adapt istiadat setempat.
- Cocok dengan suasana, tempat dan waktunya.
Di Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satu kesatuan utuh yang terkecil dikenal sebagai
masyarakat inti kalau ditinjau dari ilmu sosiologi kemasyarakatan.
Bagaimana seharusnya, agar keluarga bernuasa dan bervibrasi agamis.
- Suasana keluarga tenang, tentram, saling mencintai
dan berkasih sayang.
- Menghuni tempat tinggal yang jelas dan legal.
- Mempunyai sumber nafkah dari hasil kerja yang
jelas, sah dan didapat berdasarkan dharma.
- Dapat hidup bertetangga secara rukun, damai dan
saling membantu.
- Menjadi unsur masyarakat yang positif dan tidak
menimbulkan masalah.
Di Tempat Kerja
Bagi seorang karyawan, tempat kerja adalah tempat kedua setelah kita
melewati fase di keluarga. Tentunya seorang karyawan mempunyai atasan,
bawahan dan teman sejawat. Lingkungan seperti ini sangat riskan terhadap
timbulnya rasa cemburu sosial. Bagaimana kita sebagai umat Hindu yang
dituntut mampu mengaktualisasikan rasa saling asih, saling asuh dan saling
asah di tempat kerja. Berikut ini adalah sebuah tip yang perlu
diperhatikan.
- Disiplin dan produktif
- Rajin dan trampil
- Mampu bekerja sama
- Saling menghargai
- Menjaga nama baik
- Tidak menimbulkan masalah
Di Tempat Tinggal dan Tempat
Umum
Kita semua menginginkan tempat tinggal dan lingkungan baik dan tertata
rapi, apik dan menawan. Begitu juga ketika kita berada di tempat umum,
misalnya mall, terminal, tempat rekreasi, dll. Seorang umat Hindu harus
mampu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Mengetahui dan memahami bahwa setiap orang
mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama.
- Tidak mengganggu ketertiban dan selalu menjaga
keselamatan orang lain
- Menghormati tetangga dan tamu
- Tidak merusak dan mengotori berbagai fasilitas yang
ada.
- Mengetahui dan memahami bahwa kemanan, kenyamanan
dan keselamatan adalah tanggung jawab bersama
- Peduli terhadap berbagai hal yang mengganggu
keamanan, kenyamanan dan keselamatan serta berusaha mencegahnya.
Semoga berguna,
Om Santih, Santih, Santih, Om
|
|
Berburu Para Dharma, Penyesalan
Tiada Berguna
|
|
|
|
|
|
oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa,
03 Februari 2007
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Setelah beribu-ribu tahun lamanya hidup sebagai mineral, bakteri, binatang
melata, binatang berbisa, binatang buas, hewan piaraan, akhirnya sang jiwa
mencapai kehidupan sebagai manusia. Maka dengan demikian jangan pernah
menyia-nyiakan hidup sebagai manusia, karena selain langka juga melalui
perjuangan yang sangat panjang. Evolusi jiwa itu telah mengalami
pengambilan bentuk berulang dan waktunya ribuan tahun.
Kita pergi ke dunia fana ini
bagaikan pergi piknik, karena waktunya sangat singkat, dalam tempo waktu ke
depan yang tidak bisa diprediksi kita pasti akan mengalami kematian. Itu
sudah pasti saudaraku. Nah kemudian apa yang perlu kita persiapkan untuk
menunggu kematian itu? Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan
dan dibarengi oleh kejenuhan akan mengakibatkan ketidakseimbangan dalam
jiwa, pikiran dan badan biologis kita. Ketika itu tidak seimbang, maka akan
terjadi goncangan yang maha hebat yang merusak partikel energi tidak
teratur. Molekul berhamburan sampai mengganggu pusat syaraf. Intimidasi
pikiran yang dipengaruhi oleh kegiatan berburu pada para dharma,
ketertarikan pada kegemerlapan duniawi akan menjadi toksin berat dan
beracun dalam kesinambungan dan keharmonisan hidup.
Terlena dengan para dharma akan
mencelakakan jiwa ke dalam lembah nestapa. Hal ini tidak kita inginkan
karena jiwa akan reset kembali pada kehidupan yang lebih nista. Berbanding
terbalik dengan tujuan agama Hindu yakni mencari kedamaian yang nan abadi,
alam nirwana dan menyatunya atman dengan paramatman.
Coba kita hitung dan cermati
dalam kehidupan yang telah kita lalui, berapa persen kegiatan itu untuk memikirkan
pendekatkan kepada Tuhan, berapa persen hanyut dalam kegiatan para dharma?
Berapa waktu yang kita pakai untuk tidur? Dari situ kita akan mendapat
gambaran bahwa waktu kita sangat singkat. Tunggu apalagi, mulailah dengan
secara terus menerus menyelami kehidupan dengan menjalankan kewajiban
swadarma, dengan ikut partisipasi aktif dalam kegiatan kerohanian, apapun
wujud productnya sejauh untuk penerapan dan pencapaian lokasamgraha, itu
akan mendapatkan pahala pada peningkatakan pada sang jiwa kea rah yang
lebih baik dan utama.
Kegiatan swadarma yang dimaksud
adalah mulai mengenali diri sendiri, siapakah sebenarnya diri kita dan
apakah tujuan kehadiran kita di dunia ini? Saudaraku, belum ada kata
terlambat, meskipun bagaima keadaan kita sekarang. Misalnya kita bergelut
menjalani kehidupan di rumah tangga dengan berbeda pandangan, apalagi
prinsip agama masih berbeda. Bagaimana pengaruh orang ke tiga dalam
kehidupan grehastem paricarya pradipa. Kesulitan yang dialami bak di kawah
candra dimuka, betul betul mengalami treatment dalam suka dan duka, suka
tan pawali duka.
Meskipun begitu, kita hendaknya
tak pernah lupa dengan Tuhan, seperti bunga teratai yang hidup di air yang
penuh Lumpur, dia tidak terpengaruh, tetap mempersembahkan bunga yang indah
warna warni, dan seaatpun tidak pernah lupa dengan rembulan di atas sana,
kerinduannya kepada bulan tak pernah pudar. Begitu juga kewajiban kita
sebagai umat Hindu melalui pelaksanaan palemahan, pawongan, dan parahyangan
serta kawitan pada leluhur, janganlah diabaikan. Karena sekali lupa, maka
hal itu akan menjadi kebiasaan.. Begitu juga karena kita berada jauh dari
orang tua, kadang ayah dan ibu bertanya tentang kesehatan kita, keselamatan
kita, dan bagaimana kita melaksanan kewajiban agama di rantauan? Apabila berbeda
pandangan prinsip sedang berkecamuk dalam kehidupan rumah tangga kita,
apakah kita mesti berbohong kepada guru rupaka itu? Misalnya dengan
mengatakan Istri saya sangat setia, patuh menjalankan ajaran agama Hindu.
Saya pikir itu adalah bagian dari kemunafikan yang tidak akan mendapat
manfaat dalam kehidupan mendatang.
Apa yang kita pikirkan, apa yang
kita katakan dan apa yang kita perbuat, sesungguhnya itulah kita. Ketika
kita berpikir untuk membual dan berbohong kepada siapapun juga sebenarnya
kita dengan tanpa di sadari telah berada di jalur neraka. Apalagi ditambah
dengan sadar kita tidak melasanakan swadarmaning agama, artinya kalau kita
proklamirkan diri sebagai umat Hindu, maka kewajibannya apa saja, silahkan
inventarisasi.
Ketahuilah, bahwa penyesalan di
kemudian hari tiada berguna, karena setiap hari kita mengalami defisit atau
energi negatif dalam bentuk perbuatan yang sifatnya penolakan dengan suara
hati nurani. Kita harus mengarahkan pada sistem deposito yang selalu
menjadi debet atau nilai plus pada setiap pikiran, perkataan dan perbuatan
yang baik dan benar, sesuai dengan Tri Kaya Parisuda.
Ingatlah mulai sekarang,
janganlah hanya mementingkan kegiatan para Dharma tetapi pusatkan pikiran
menuju pada kegiatan swadarma. Yakinlah pada diri kita sendiri, kalau
menjalankan tugas sebagai kewajiban memalui penjabaran nilai nilai luhur
keagamaan, maka kebebasan pasti akan kita raih dengan suskes gemilang.
Semoga berguna,
Om Santih, Santih, Santih, Om
|
|
Tanda-Tanda Kehidupan Jaman Kali
Yuga
|
|
|
|
|
|
oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa,
18 Desember 2006
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Beginilah sifat yang menonjol dari orang-orang yang hidup di jaman kali
yuga. Jika ada seseorang yang sebelumnya tidak sepatah katapun, akhirnya
berkat seorang guru suci dan arif, ia menjadi pandai , tetapi waktu ditanya
oleh orang lain akan pongah berkata,”Bukan pendeta ini atau itu yang
mengajarkan ajaran ini kepada saya tetapi memang ajaran ini saya telah ketahui
sendiri dari dulu”.
Dapatlah kita katakan bahwa
sudah demikianlah sifat dari orang-orang dijaman kali yuga. Jika seseorang
seperti tadi setelah meninggal dan sudah selesai menikmati alam baka semua
hasil perbuatan di masa lampau, yaitu hasil perbuatan yang baik maupun
buruk, nantinya akan lahir dalam golongan swanayoni, yaitu menjadi anjing.
Jika anjing itu mati menjelma lagi menjadi orang candela.
Bagaimanakah sifat-sifat orang
candela? Beginilah sifat sifat dan tingkah laku orang cendala : Ia dilahirkan
di jaman kali yuga. Ia suka menjahati orang –orang yang tidak bersalah. Ia
menuduh jahat orang – orang baik. Dan ia jahati orang – orang suci. Ia tipu
para pendeta, ia bunuh orang orang budiman. Ia mencuri. Ia suka menganiaya.
Perangainya kasar dan pemarah. Ia suka merampok. Ia membegal. Ia membunuh.
Ia suka memancung dengan keris. Ia pandai membuat racun dan suka meracuni
orang.
Ia melakukan sihir dan menjadi
leak jadi-jadian, memasang guna – guna, suka memfitnah dan menggunakan kata
– kata keji yang tak patut didengar telinga, selalu memasang mata kepada
orang kaya, dengki kepada orang – orang yang berbahagia, ingin pada milik
orang lain, tidak ambil pusing pada orang orang melarat, dan sering
menghina orang orang pertapa serta menjelek-jelekan dharma. Ia melakukan
delapan macam perbuatan jahat, k depalan macam pencurian dan keenam
penganiayaan.
Ia cendrung membunuh sapi, orang
Brahmana, Sarjana, Rsi, pengikut Siwa dan Budha. Ia juga tidak segan
membunuh guru dan orang tua. Ia merusak tempat suci dan mengambil segala
harta benda yang ada di dalamnya. Ia tidak segan menganiaya guru dan para
siswanya. Kalau ia laki –laki ia lebih suka beristri laki – laki ( homoseks
) Kalau ia perempuan ia lebih suka besuami perempuan ( lesbian). Ia
melakukan perkosaan terhadap ibunya, memperkosa anak kandungnya sendiri.
Tidak pemerintah dan tidak ada pendeta baginya, tidak ada tempat memuja
leluhur baginya, dan tidak ada tempat pemujaan Tuhan.
Itulah perbuatan – perbuatan
pemusnah di jaman kali yuga. Tidak ada tinggi dan rendah. Seluruh dunia
diamuk oleh bencana alam dan angina taufan. Tanam-tanaman palawija hampa
dan mati. Di seluruh Negara ada peperangan, perang saudara. Petani-petani
dalam kesedihan, adapt dan agama selalu dirusak dan dilangar, kota kota
hancur. Segala penyakit menular menjangkit. Timbul wabah penyakit influenza
dan desentri. Di samping itu di mana-mana terjadi kebodohan, anak-anak jadi
bangga atas keberaniannya melanggar hokum dan pentunjuk orang tua, tidak
hormat ditunjukan kepada orang tua, keluraga dekat atau keluarga besar.
Semuanya menggelisahkan dan membingungkan.
Demikianlah keadaan pikiran
manusia pada jaman kali yuga yang sudah berlarut larut. Dan bagi mereka
yang berbudi luhur dan mempertahankan keluhuran dharma, janganlah hendaknya
bergaul dan berminat pada perbuatan jahat manusia jaman kali yuga, untuk
menghindari neraka.
Satyam Evam Jayathe,
Om Santih, Santih, Santih, Om
|
|
Mewujudkan Misi Kehidupan
|
|
|
|
|
|
oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa,
16 Desember 2006
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Hindu menawarkan sebuah konsep tentang kesejahteraan hidup lahir dan bathin
yaitu loksamgraha dalam kehidupan ini. Untuk mencapai tujuan itu kita harus
mempunyai visi dan misi yang dasar referensinya dari kitab suci Weda.
Apakah hal itu dalam Weda? Apakah nama ajaran itu yang akan mampu
membuahkan kebahagiaan dan kedamaian?
Secara akumulasi bahwa ajaran
itu tidak merupakan inti yang berdiri sendiri, melainkan adalah suatu
tahapan dan tahapan ini ada dalam Catur Warga, dimana yang Pertama adalah
Dharma yang mengandung makna sebagai landasan dasar pondasi agar dalam
pencapaian berikutnya tidak terkontaminasi oleh kegiatan yang bertolak
belakang dari dharma atau adharma. Untuk pengetahuan Brahma widya patut
diikuti dan dilaksanakan dengan cara berguru kepada para guru spiritual
yang bisa diperoleh dari bangku sekolah formal atau non formal berupa
pengayaan akan ilmu pengetahuan keagamaan. Yang kedua adalah artha yang
artinya sebuah konsep agar kita memiliki pangan, sandang dan papan, kita
cari itu dengan berdasarkan dharma. Dalam tahapan ini dunia materi sangat
signifikan berpengaruh dalam hidup.
Kita wajib tahu dalam tahapan
ini kita berada dalam zona para dharma. Harus dipahami dan diberikan makna
bahwa akan ada sejuta godaan dalam pencapain harta material. Yang ketiga
adalah Kama yaitu keinginan akan sesuatu, sebuah nafsu akan kepemilikan
sesuatu. Pengendalian diri dalam tahapan ini unsur kemelekatan, kalau
dasarnya tidak kokoh maka karakter yang telah dibangun berdasarkan dharma
akan cepat runtuh, tetapi kalau tetap berpegang teguh dengan ajaran dharma,
maka kita akan lulus dari ikatan duniawi. Nah yang keempat adalah moksa
yaitu suatu konsep yang ditawarkan oleh Hindu tentang pembebasan menuju
kedamaian yang abadi.
Bagaimana upaya kita dalam hal,
kita akan dihadapkan pada persoalan baru, karena dharma telah dimiliki,
artha sudah ada di tangan, dan keinginan sudah terpenuhi. Tinggal sekarang
bagaimana caranya melepaskan semua itu agar diri kita menjadi kosong
kembali. Tidak sedikit orang terjerumus ke dalam kubangan harta yang
melimpah, bukan bahagia yang akan ditemui tetapi malah tali pengikat
semakin kuat dan besar. Kewajiban kita adalah melepaskan meskipun agak
berat tetapi kita pahami hukum rta bahwa semua harta yang kita miliki
adalah titipan dan tiba saatnya untuk diberikan kepada orang lain atau pada
keturunan yang wajib menerimanya.
Dari rangkaian analisa di atas
perlu adanya penjelasan yang lebih kongkrit dan kita kita kenali sarana
apakah yang kita miliki untuk tujuan itu? Media apakah yang kita miliki
untuk tujuan mulia itu?
Kita memiliki otak sebagai
sarana dan media yang terdiri dari tiga bagian penting, yaitu otak sadar,
yang terletak dibelahan kiri, otak bawah sadar, serta celah dan tempat
penyimpanan ingatan yang terletak antara belahan otak kanan dan belahan
otak kiri. Menurut para ahli neorologi dunia, otak sadar manusia berfungsi
untuk menganalisa dan membuat formulasi secara logis. Ia bekerja pada saat
kita sedang tidak tidur. Sedangkan otak bawah sadar manusia berfungsi untuk
mengolah dan menyalurkan yakni pancaran sinar penerangan bathin berupa
bayangan yang di dalamnya ada ide-ide, visi dan misi dan pengetahuan secara
intuitif kepada otak sadar. Otak bawah sadar sering dikenal sebagai ruang
bisikan hati nurani dan ruang imajinasi baik kreatif maupun inovatif.
Dorongan untuk bertindak adalah kapasitas dari alam otak bawah sadar. Lain
dengan otak sadar, bahwa otak bawah sadar akan bekerja selama 24 jam
sehari, meskipun kita sedang tidur.
Jadi bila kita berhadapan dengan
berbagai persoalan yang belum dapat dibayangkan atau digambarkan secara
utuh, kita dapat merekam persoalan – persoalan itu ke dalam ingatan.
Kemudian hasil rekaman ini secara alami akan diproses dengan sendirinya
oleh otak bawah sadar, walaupun kita sedang tidur nyenyak. Otak bawah sadar
manusia berfungsi sebagai media penghubung antara energi alam sejati
manusia dengan energi alam abadi, atau sesuatu yang terbatas dengan sesuatu
yang tak terbatas, di mana melalui bantuan otak sadar, semua bayangan yakni
visi dan misi dan pengetahuan yang tidak terbentuk dari otak bawah sadar
dapat diformulasikan secara logis atau dijelmakan di dalam sesuatu yang
terbentuk, yang dapat ditangkap atau dirasakan oleh panca indra.
Keberadaan dan ketidakberadaan
itu saling menghasilkan, maksudnya sesuatu yang berada itu dihasilkan oleh
ketidakberadaan, sebaliknya sesuatu ketidakberadaan itu dihasilkan oleh
keberadaan.
Hal hal berikut perlu
diwaspadai, bahwa hidup di dunia ini selalu dicemari oleh prasangka,
egoisme, nafsu dan emosi yang akan meyulitkan kebanyakan orang untuk
berpikir terbuka, bebas pada setiap aspek kehidupan. Tanpa berpikir terbuka
bebas, orang tidak dapat melihat dengan jelas situasi kehidupan yang sedang
dan akan berlangsung. Untuk menghindari kesalahan besar dalam pengambilan
keputusan dan tindakan kita, hendaknya kita bekerja dengan total pikiran.
Berarti dalam pengambilan keputusan dan tindakan , kita tidak boleh hanya
mengandalkan logika, intuisi, atau ingatan saja, tetapi ketiga tiganya
harus selaras dan seimbang, harmonis tanpa ada satupun diabaikan.
Pada saat suatu informasi yang
masuk dapat diterima dan dinyatakan benar oleh logika, tetapi intuisi dari
hati nurani belum yakin atau bahkan menolaknya, maka sebaiknya jangan
terburu-buru mengambil keputusan, karena pasti ada sesuatu yang tidak benar
dan cendrung akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
Teknik motode yang ditawarkan
oleh Hindu dari awal kehidupan ini sampai akhirnya nanti kembali dan
berpisahnya antara jiwa dan raga, sudah barang tentu untuk mencapai
kebebasan daru keterikatan atma dengan badan kasar. Untuk itu renungkanlah
dari hal yang sangat sepele sampai kepada persoalan besar dalam kehidupan
ini. Mungkin sejenak kita berpikir kenapa kita harus memikirkan pada hal
yang tidak mesti harus dipikirkan? Karena sesuatu yang besar itu mulanya
dari hal yang kecil dan sepele.
Uraian di atas memberikan
gambaran kepada kita bahwa perubahan itu adalah keabadian dan keabadian itu
dari perubahan itu sendiri. Tahapan dan kendala hidup yang dihadapi, kita
tuangkan dan godok serta sesuaikan dengan ajaran agama, jangan pernah
berpaling, kewajiban kita mengikuti dan menuntun diri kita ke arah yang
lebih baik. Di dalamnya mengandung visi dan misi dari kehidupan ini tetapi
pada akhirnya semuanya menuju kepada sunialoka, suatu keadaan yang tenang
nan abadi. Keterikatan itu sudah dilepas tanpa ikatan tali suka tan pewali
duka kembali menjadi satu keutuhan yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini
merupakan simbol keberhasilan dan kesuksesan hidup dengan menjalankan dan
implementasi visi dan misi dalam hidup di dunia ini. Menyatunya ke dua zat
inilah yang disebut dengan Moksartham Jaga ditha Caithi Dharma, menyatunya
atman dengan paratmatman.
Satyam Evam Jayathe,
Om Santih, Santih, Santih, Om
|
|
Parisada, Generasi Muda, dan
Konversi Agama
|
|
|
|
|
|
oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa,
12 Oktober 2006
Sehubungan dengan pelaksanaan
Mahasabha PHDI yang ke IX yang diselenggarakan di Taman Mini Indonesia
Indah dari tgl 14 – 18 Oktober 2006, maka pada kesempatan ini saya ingin
menyampaikan kepada generasi muda Hindu, sesungguhnya apakah yang disebut
dengan Parisada itu?
Di dalam Kitab Manawa
Dharmasastra Bab XII sloka 110 – 114 dinyatakan sebagai berikut:
Sloka110: “Bahwa Parisada
dinyatakan sebagai kekuatan hukum yang sah dan tak seorangpun yang bisa
membantahnya”.
Sloka 111: “Tiga orang yang
masing-masing mengetahui satu bagian dari tiga pokok isi Weda, seorang ahli
lokika, seorang ahli mamansa, seorang ahli nirukta, seorang yang
menghafalkan lembaga dharma, ketiganya merupakan Parisada yang sah terdiri
atas setidak-tidaknya sepuluh orang anggota”.
Sloka 112: “Seorang yang
mengetahui Rg Weda, seorang yang mengetahui, Yayur Weda, dan seorang yang
mengetahui Sama Weda, akan dikenal merupakan Majelis yang setidak tidaknya
terdiri dari tiga anggota yang memutuskan hukum”.
Sloka 113: “Seorang Brahmana
yang ahli dalam Weda harus dianggap mempunyai kekuatan hukum".
Sloka 114: "Walaupun ribuan
Brahmana yang memenuhi kewajiban sucinya, yang tidak kenal dengan Weda dan
hidup karena warnanya, daging, mereka belum dapat dikatakan Parisada untuk
memutus perbedaan dalam dharma itu".
Begitu kira-kira petikannya,
jadi Parisada sebenarnya adalah kumpulan Brahmana ahli yang duduk berhimpun
memecahkan masalah agama. Parisada dimintai penjelasan dan keputusan
tentang penyelesaian masalah–masalah kehidupan beragama.
Kita harus mengangkat kedua
tangan dan memberikan aplaus kepada para Brahamana dulu ketika berhimpun
dan bermusyawarah pada tahun 1959 di Campuan – Ubub - Bali untuk merumuskan
sebuah nama yang diputuskan menggunakan nama PARISAD sebagai lembaga
tertinggi agama Hindu.
Kemudian bagaimana lantas
perkembangannya? Apakah masih boleh kita menyebut dengan istilah Parisad
ketika lembaga ini berkembang ke seluruh penjuru nusantara, yang barangkali
pengurusnya belum tentu ahli dalam Weda? Karena dalam sloka 115 disebutkan:
“Dosa dari pada mereka yang bodoh menjelma ke dalam kegelapan dan tidak mengenal
terhadap dharma, memerintahkan atas kewajibannya, jatuh seratus kali lebih
dari pada orang-orang yang ahli akan itu. Apakah berarti berarti ada
tantangan dan harapan bagi pengurus yang hukumnya wajib untuk belajar Weda
sehingga dalam mengemban dharma dan aktualisasinya tidak menemui kendala
dilapangan?
Semestinya kita kembali kepada
jalur semula, jika lembaga tertinggi ini masih kita anggap sebagai prabawa
berkarisma yang menjadi media di tengah-tengah pembinaan umat Hindu, yang
kesuciannya ajeg tidak dikotori oleh muatan politik penguasa seperti
terjadi pada masa lalu.
Lantas, bagaimana generasi muda
Hindu harus bersikap?
Sebagai ujung tombak Hindu di
masa depan, generasi muda Hindu diharapkan agar berusaha semaksimal mungkin
peduli akan keberadaan Parisada dengan jalan mengikuti kegiatannya, dan pro
aktif dalam usaha ikut pembinaan keagamaan di intern umat atau barangkali
ikut bhakti sosial ketika kita melaksanakan kegiatan ekstern, sehingga
peran serta bisa dirasakan, ambil azas manfaatnya sehingga ketika menginjak
pada masa Grehastem tidak lagi merasa canggung untuk memberikan pelayanan
kepada umat karena sudah terbiasa dari mudanya.
Pada masa brahmacari yakni masa
menuntut ilmu pengetahuan, maka wajib juga dibarengi dengan mempelajari
Weda, sumber dari segala sumber hukum suci dan diresapi dalam hati agar
kita menjadi orang –orang yang budiman yang tidak pernah punya rasa benci
maupun cinta yang berlebihan. Belajar Weda tidak mesti di pendidikan formal
seperti UNHI. Bagi generasi muda Hindu yang sedang belajar di luar Bali,
setidaknya ada buku Weda di dalam kamar, begitu dekat dan sebelum belajar
ilmu yang lain hendaknya buku Weda dibaca terlebih dahulu paling lama 15
menit setiap harinya, sehingga memang benar bahwa ilmu yang akan didasari
oleh ilmu pengetahuan yang bersumber dari Weda.
Kata kunci adalah aktualisasi
brahmacari. Hendaknya dia melihat semua wanita sebagai perwujudan ibunya,
begitu pula hendaknya dia melihat semua pria sebagai perwujudan ayahnya,
maka dengan demikian kita akan dapat lebih mudah berkosentrasi untuk
menutut ilmu pengetahuan sampai akhirnnya berhasil dan memperlihatkan
prestasi belajar yang mengagungkan kepada orang tuanya sebagai salah satu
catur guru bhakti kepada yakni guru rupaka. Keberhasilan ini akan menambah
kebanggaan orang tua, sehingga anak siap dilepas ke tengah masyarakat tanpa
menjadi sampah masyarakat. Orang tua mengharapkan agar anaknya dapat tumbuh
berkembang sebagai generasi muda hindu yang militan yang mampu menjadi
contoh dan corong cahaya keluarga.
Kontribusi yang diharapkan dari
elite intelektual muda Hindu adalah bagaimana caranya mencari satu format
baru agar Parisada menjadi organisasi yang modern yang menerapkan SWOT atau
mengadopsi management yang bermutu dalam mengantisipasi persoalan yang
dihadapi. Aktualisasi pemaknaan Tri Hita Karana harus dilaksanakan secara
murni dan konskuen, bukan saja dalam batas wacana. Keharmonisan hubungan
antara manusia dengan manusia sebagai landasan untuk ikut bermusyawarah
untuk mencari mufakat.
“Om Hyang Widhi, kami berkumpul
di tempat ini, hendak berbicara satu sama lain untuk menyatukan pikiran
sebagaimana halnya para Dewa yang selalu bersatu”. Begitulah petikan dalam
Rg Veda. Begitu juga hubungan antara manusia dengan alam di sekitar,
seharusnya kita menjaga keseimbangan sehingga aksi dan reaksi berbanding
lurus. Lebih-lebih pelaksanaan hubungan antara manusia dengan Tuhan / Hyang
Widhi,.
“Jalan apapun yang engkau tempuh
untuk mendekat padaKu, Aku terima dengan senang hati asalkan berlandaskan
keheningan dan kesucian serta ketulusan. Petikan Bhagawadgita ini jangan
diplesetkan untuk berpindah agama, bukan begitu makna yang dimaksud,
melainkan menjalankan dengan baik dan benar tentang bhakti marga, jnana
marga, karma marga dan yoga marga. Keempat jalan itu memang kontras namun
sebenarnya sama tujuan yakni menuju kepada penyatuan dengan Brahman.
|
|
Melatih Diri Menjadi Lebih Sabar
|
|
|
|
|
|
oleh: SiPutu Sumardhaya, 21
September 2006
Peradaban modern melatih dan
membuat kita selalu berkompetisi untuk menjadi lebih cepat. Apapun yang
dilakukan dengan lebih cepat dan jika menghasilkan kesuksesan, akan
menjadikan diri kita mendapatkan decak kagum dari orang lain. Yah begitulah
tuntutan jaman modern yang serba cepat dan harus terburu-buru, sampai
sampai kita tidak bisa melihat apa yang telah kita perbuat sampai detik
ini. Bagi kita yang baru memulai karir baru di suatu perusahan, karena
tuntutan kompetisi sudah harus memikirkan bagaimana memikirkan posisi
atasan dalam 2 atau tiga tahun lagi. Bagi teman kita yang baru berumah
tangga sudah harus memikirkan bagaimana cepat cepat punya anak atau bagi
saudara kita yang baru menjadi pedagang, harus buru-buru mencari usaha baru
yang lebih menguntungkan.
Tidak ada yang salah memang dengan
kompetisi yang sangat cepat ini, hanya saja kalau kita larut didalamnya,
kita akan mendapatkan diri kita berjalan sangat jauh, dan tidak bisa lagi
mengingat makna dari tahapan yang kita lalui. Proses yang kita lalui akan
menjadi gersang, dan kehilangan makna serta akan hilang dengan berjalannya
fungsi waktu. Inilah apa yang disebutkan oleh orang tua perjalanan yang
terburu-buru. Melihat makna dari langkah demi langkah yang kita jalani
memerlukan sikap yang lebih sabar.
Tidak mudah menjadi sabar kalau
kita tidak tahu apa yang harus kita sadari.Dalam Agama Hindu, sikap sabar
dijabarkan begitu luhurnya dalam ajaran Panca Yama Brata. Sikap sabar
hendaknya menjadi landasan spiritual didalam memandang masalah yang
dihadapi. Orang yang sabar lebih banyak mendapatkan berkah dari yang tidak
sabar. Tutur katanya akan dijaga dengan intonasi yang enak didengar.
Ucapannya akan mengalir dalam wacika yang tidak mungkin akan menyakiti
orang lain. Inilah yang akan membuat mereka yang sabar menjadi orang yang
mulia dalam pemujaan kehadapan Hyang Widi, menyucikan sang Atman dalam diri
dan diterima oleh orang lain karena ketulusannya.
Agama Hindu mengajarkan umatnya
untuk menjadi orang yang sabar dan bersyukur, tidak dengan ucapan ucapan
yang mubazir, tetapi melalui praktek praktek spiritual yang melatih Panca
Karmendria dan Panca Budindria menjadi seorang yang satwika. Inilah ajaran
Hindu Diet Code yang sangat dikagumi.
Kalau kita telusuri lebih jauh,
banyak faktor yang mempengaruhi kita menjadi orang yang tidak sabar. Karma
Wasana kita masa lalu, Pengetahuan kita tentang tatwa, minimnya pratek
spiritual dan Keterikatan kita yang sangat besar adalah beberapa hal
diantaranya.
Karma wasana kita di masa lalu
sangat menentukan pola kebribadian yang kita miliki. Orang yang berasal
dari kelahiran utama akan terpatri dalam dirinya awidya yang sangat sedikit
sehingga melahirkan pola kepribadian yang lebih sabar. Akan tetapi bagi
kita yang mungkin berasal bukan dari kelahiran utama, mungkin akan terpatri
sikap sikap yang menonjolkan Rajas atau Tamas. Ajaran Hindu yang sangat
luhur menganjurkan agar kita tidak perlu mempermasalahkan dari mana
kelahiran kita, yang lebih diutamakan adalah bagaimana melatih pola
kepribadian kita menjadi lebih satwika. Disinilah melatih lidah dan pikiran
dengan Sadana dan Kirtan sangat dianjurkan. Semakin sering kita menyebut
samaranam Tuhan, semakin lembutlah hati, pikiran dan ucapan kita serta
awidya dalam diripun akan menipis.
Pengetahauan kita tentang tatwa
dan susila yang sangat minim adalah masalah kedua kenapa kita menjadi orang
yang tidak sabar. Mungkin sebagian besar dari kita menganggap ini adalah
pernyatan klise, akan tetapi pengalaman empiris di keseharian menunjukkan
saudara saudara kita yang berjalan di dunia spiritual Hindu mempunyai
kesabaran yang sangat mengagumkan. Tingkatan jnana kita dan praktek
spiritual kita yang membedakan tingkatan kesabaran kita. Kalau kita tidak
pernah menyadari di tingkat mana kecerdasan spiritual kita, maka selamanya
kita akan menjadi orang yang kerdil. Kerdil dalam arti kebijaksanaan kita
dalam menyelesaikan masalah sangat rendah. Tidak sedikit persoalan yang
dihadapi harus diselesaikan dengan Hati Nurani, bukan dengan Logika yang
mengedepankan benar dan salah. Kalau sudah menyangkut Hati Nurani, hanya
orang yang sabar dan memiliki kecerdasan Jnana yang baiklah yang menjadi
sukses. Kalau sudah begini, kapan kita akan mempelajari dan mempraktekkan
jnana tentang tatwa dan Susila ?
Latihan latihan spiritual adalah
faktor yang ketiga. Memliki Jnana yang sangat tinggi jika tidak dilatih
dengan latihan latihan spiritual yang berkesinambungan bukannya menjadikan
kita orang yang sabar dan rendah hati, akan tetapi membawa kita kedalam
penonjolan kesombongan diri, dengan cirri sikap Rajas dan Tamas yang sangat
kental. Kalau Rajas sudah sangat menonjol dalam sang diri, maka semua
tindakan akan dilakukan atas dasar pembenaran diri. Tidak sedikit kita
menjumpai anak anak muda kita memiliki Jnana yang baik tetapi larut dalam
minuman keras dan sikap tamas lainnya. Oleh karena itu, melakukan praktek
praktek spiritual dengan teratur, sangat dianjurkan karena akan melatih
pola pikir, perkataan dan sikap yang rendah hati.
Faktor yang terakhir adalah
keterikatan kita yang sangat besar akan segala hal. Seorang atasan dengan
keterikatan jabatan dipundaknya cenderung menjadi orang yang lebih mudah
marah dan tidak sabar. Demikian pula keterikatan seorang majikan atas
pembatunya. Keterikatan yang terlalu besar kadang kadang membuat kita
celaka karena semua dilakukan atas pembenaran diri. Oleh karena itu, Githa
mengajak kita untuk melepaskan segala bentuk keterikatan agar kita menjadi
orang yang rendah hati dan sabar. Menjadi orang yang bisa merasakan
kesenangan dan kesedihan dalam kejernihan sang Atman, “Sama dukha dukha
diram, moksartham ca iti darma”.
Dengan menyadari faktor faktor
ini, Hindu mengajarkan tidak mudah melatih diri menjadi orang yang sabar.
Diperlukan kejujuran, sikap mental dan semangat untuk berubah. Namun, ada
satu hal yang sering disampaikan oleh para spiritual Hindu agar kita
menjadi lebih Sabar. Mulalah dari pengendalian Lidah. Berilah lidah makanan
yang banyak mengandung unsur Satvika. Latihlah bagian tubuh kita yang
paling penting ini dengan mengucapkan nama nama Beliau setiap saat. Dengan
memulai dua hal ini secara terus menerus dan konsisten, niscaya awidya
dalam angga sarira menipis, dan kita menjadi orang yang rendah hati, lemah
lembut, sabar serta mulia dihadapan Hyang Widhi dan sesama manusia.
|
|
Jalan Kebenaran
|
|
|
|
|
|
oleh: Nengah Santa
(nengahsanta@yahoo.com), 07 Mei 2006
(Yajurveda. I.5)
Agne vratapate vratam carisami
Tac-chakeyam. tan-me radhyatam.
idam aham anrtat satyam upaimi.
Ya Sang Hyang Agni, penguasa peraturan-peraturan suci,
kami akan menjalankan janji kebenaran itu.
Semoga kami dimahkotai dengan keberhasilan dalam menjalankan janjiku.
Kami menderapkan langkah dengan tegap pada jalan kebenaran,
dengan menahan diriku sendiri dari kebohongan (dusta)
Kebenaran/kejujuran adalah salah
satu ajaran etika hidup yang paling dasar yang harus diikuti oleh manusia
dalam menjalankan hidupnya. Mereka yang mengikuti jalan
kebenaran/kejujuran, hidupnya akan selamat, sejahtera dan terhindar dari
bahaya.
Dari mana kebenaran itu berasal?
Dari dalam hati nurani setiap manusia.
Jangan jauh-jauh mencarinya. Tuhan telah baik sekali menyediakan kepada
masing-masing umatnya. Tinggal maukah umatnya menjalankan
kebenaran/kejujuran itu?
Tidak ada yang susah dalam hidup
ini. Semuanya berawal dari keyakinan. Begitu juga dengan kebenaran
kejujuran, harus dilandasi dengan keyakinan. Kemerosotan moral dalam
pergaulan di masyarakat akibat dari hilangnya benih-benih
kebenaran/kejujuran.
Pernahkah anda memiliki teman,
rekan kerja, bawahan atau atasan yang suka tidak jujur?
Semakin sering orang tersebut
tidak jujur (berbohong) pasti lama kelamaan akan ketahuan juga belangnya.
Orang tersebut lama kelamaan akan dikucilkan oleh orang-orang
disekelilingnya. Pergaulan di masyarakat yang tidak didasari oleh
kebenaran/kejujuran, akan melahirkan kepalsuan, kepura-puraan, kebohongan
dan bahkan kejahatan sosial. Ini jelas akan merusak kualitas kehidupan
masyarakat dan orang yang bersangkutan.
Jika menemukan orang yang
berprilaku sering tidak jujur (berbohong), orang tersebut sangat berbahaya
bagi orang lain. Ini bisa sebut kejahatan spiritual. Virus ini jauh lebih
berbahaya, karena bisa mempengaruhi orang lain untuk bersikap sama
dengannya. Mereka akan membentuk jaringan kejahatan spiritual untuk
menguatkan dirinya.
Kenapa kejujuran orang lama-kelamaan
bisa luntur? Bukankah sejak bayi sudah dibekali penuh kejujuran?
Bayi lahir hatinya masih
mulus-seperti salju. lama-kelaman bisa luntur sejalan dengan pergaulan
hidupnya. Pergaulan yang keliru telah mengerogoti hatinya sehingga energi
negatif dalam dirinya meningkat. Energi negatif tersebut adalah prasangka,
nafsu, ego dan emosi negatif. Emosi negatif meliputi marah, dengki,
irihati, licik dan serakah Peningkatan energi negatif akan melemahkan
keyakinan (sraddha) yang tertanam. Dengan berkurangnya keyakinan ini, maka
kejujurannya mulai dirusak.
Jadi kuncinya ada pada
keyakinan. Keyakinan yang kuat dan terjaga akan selalu menopang
kebenaran/kejujuran.
|
|
Megalung kok Melalung?
|
|
|
|
|
|
oleh: Nengah Santa
(nengahsanta@yahoo.com), 07 Mei 2006
Saya tidak meminta anda melalung
di hari Galungan. Terlebih jika anda memang benar melalung. Anda tidak
sekedar memamerkan buah dada, pusar atau pantat yang seksi. Hati-hati…!
Anda akan bisa ditanggap orang. Sekelompok massa bisa mengancam atau
menyerang anda kalau memang benar anda telanjang. Bahaya,kan? Cukup Majalah
Playboy yang menjadi korban kekerasan karena dinyatakan porno.
Melalung berarti telanjang, sebagaimana dikenal dalam bahasa
Bali. Sedangkan Megalung, juga dalam bahasa Bali, berarti
merayakan galungan. Kedua kata sangat mirip tapi hanya berbeda satu huruf
saja.
Pada kesempatan ini, bukan
melalung itu yang saya maksudkan!
Melalung, hanyalah sebuah
kiasan. Melalung dalam pikiran saya adalah sebuah ungkapan kesederhanaan
dan kepolosan. Kesederhanaan itulah yang mesti saya tekankan dalam megalung
atau merayakan Galungan.
Jadi ungkapan kesederhanaan itu
saya sebut saja dengan “melalung”.
Seperti yang saya tulis dalam
judul ini: ”Megalung kok Melalung?” Mengapa saya justru mengajak anda larut
dalam kesederhanaan?
Anda sudah pasti akan
bertanya-tanya: ”Kok merayakan Galungan disuruh dengan cara sederhana,
bukankah Galungan harus dirayakan dengan meriah untuk menyambut kemenangan
dharma?” Hmmm, pertanyaan itu masih wajar saja! Namun dibalik kemeriahan
yang anda inginkan, saya masih menyimpan harapan kesederhanaan yang bisa
anda lakukan.
Sekarang saya yang bertanya
kepada anda: ”Apakah kemeriahan yang anda maksudkan sama dengan meceki,
hura-hura, pakai perhiasan mentereng, mabuk-mabukan, kebut-kebutan di jalan
atau metajen?” Saya berharap bukan kemeriahan itu yang anda maksudkan.
Pada hari Galungan yang
berbahagia ini, ijinkan saya mengajak anda, sesuatu yang lain dari
kebiasaan anda. Terlebih jika memang kebiasaan anda seperti yang saya
pertanyakan diatas. Ada banyak kemeriahan dibalik kesederhanan yang bisa
anda dapatkan saat anda merayakan hari Galungan. Kemeriahan dalam
kesederhanaan yang anda lakukan tidak akan mengurangi makna anda untuk
merayakan kemenangan dharma.
Justru jika anda bisa
merayakannya dalam kesederhanaan, maka anda akan mendapatkan kemenangan
dharma yang sejati. Sebaliknya jika anda merayakan kemenangan itu dengan
kemeriahan yang berlebihan (lawan dari kesederhanaan) maka anda justru
telah menghancurkan makna kemenangan dharma itu.
Apakah bisa anda memeriahkan
Galungan dalam kesederhanaan?
Tentu saya jawab: BISA
Ada beberapa poin yang bisa saya
tuturkan jika anda ingin memeriahkan Galungan dalam kesederhanaan tersebut:
Pertama, anda sudah tentu menjauhkan dari kemeriahan yang saya
pertanyakan diatas. Kemeriahan dengan meceki, hura-hura, pakai perhiasan
mentereng, mabuk-mabukan, kebut-kebutan di jalan, dan metajen, semua itu
adalah bagian dari menghamburkan nafsu yang justru sangat bertentangan
dengan dharma.
Kedua, kemeriahan dalam kesederhanaan itu anda betul-betul
lakukan terhadap diri anda dengan melakukan bhakti kepada leluhur dan juga
mungkin anda datang ke kuburan untuk melakukan penghormatan kepada keluarga
yang telah meninggalkan anda.
Ketiga, kemeriahan dalam kesederhanaan itu anda lakukan dengan
cara menyama braya, baik itu saat gotong-royong membersihkan lingkungan
pura, membuat penjor atau segala persiapan galungan lainnya.
Keempat, kemeriahan dalam kesederhanaan anda lakukan dengan
mengunjungi keluarga anda, atau biasa dikenal dengan sebutan anjang sana.
Jika anda jauh dari keluarga, maka anda juga cukup dengan menelponnya dan
mengucapkan selamat hari Galungan.
Kelima, kemeriahan dalam kesederhanaan itu anda bisa lakukan
dengan membuat hiburan yang merakyat. Entah itu tarik tambang, lari karung,
atau berjoged. Yang ini peran muda-mudi cocok untuk menggerakkan.
Keenam, kemeriahan dalam kesederhanaan itu anda lakukan dengan
membuat makanan sederhana, namun tanpa mengurangi makna kemeriahan itu.
Contohnya: membuat lawar klungah atau jukut ares. Terasa lebih meriah jika
dihidangkan dengan makan rame-rame, bukan?
Ketujuh, kemeriahan dalam kesederhanaan itu anda lakukan dengan
menggunakan buah-buahan lokal. Galungan tidak pernah mengharuskan anda
untuk memakai buah impor. Himbauan di Bali TV sangat tepat untuk
mengingatkan umat hindu menggunakan buah lokal. Tebu, pisang, salak, wani,
manggis, sawo, nenas dan banyak lagi, tidak pernah kalah menariknya jika
ditata dalam sebuah gebogan yang indah.
Kedelapan, kemeriahan dalam kesederhanaan yang sejati, jika anda
turut melakukan persembahyangan bersama baik itu di sanggah keluarga, pura
di masing-masing desa atau anda melakukan tirtayatra bersama keluarga atau
kelompok masyarakat.
Jadi banyak, bukan? Silakan anda
kembangkan lagi.
Jadikan kemeriahan dalam
kesederhanaan selalu anda lakukan dalam setiap merayakan hari Galungan.
Dengan berbekal kesederhanaan
diatas, saya haturkan:
“Selamat
merayakan hari raya Galungan”
Semoga kita senantiasa berada pada jalan yang benar.
(Rgveda III.16.5)
Ma no agne amataye
maviratayai riradhah
magotayai sahasaputra ma nide
apa vdesamsi-a krdhi
Kami akan mengikuti jalan yang benar,
Seperti jalannya matahari dan bulan
Kami akan menyertai yang pemurah, yang
penyayang dan yang maha mengetahui
|
|
Persahabatan Sejati
|
|
|
|
|
|
oleh: Nengah Santa
(nengahsanta@yahoo.com), 07 Mei 2006
Dalam persahabatan sejati tidak
mengenal batas-batas siapa orangnya, darimana asalnya, apa agamanya, apa
ediologinya, apa warna kulitnya, apa jenis kelaminnya, berapa umurnya dan
apa bahasanya. Persahabatan sejati hanya mengenal satu hal yang sama yaitu
warna darah yang sama.
Sejak kecil, manusia sudah
dididik untuk bersahabat, mencari teman. Persahabatan lama-kelamaan berkembang
setelah masuk bangku sekolah. Mereka mengenal teman dari berbagai daerah.
Demikian berlanjut mereka akan mengenal persahabatan yang lebih jauh
sejalan dengan semakin jauh mereka mengenyam pendidikan.
Ketika mereka bekerja, manusia
akan mulai banyak bersahabat dengan berbagai karakter orang. Persahabatan
akan jauh lebih indah lagi jika sudah melampui batas-batas negara. Bagi
orang yang sudah merasakan ini, mereka tidak lagi melihat perbedaan yang
ada. Yang ada dalam hati mereka adalah bahwa kita adalah manusia yang sama
dengan warna darah yang sama: merah. Belum pernah saya mendengar Tuhan ada
menciptakan manusia di bumi dengan warna darah yang berbeda. Inilah yang
mesti di syukuri kodrat kita sebagai manusia. Dan jadikanlah ini sebagai
bagian benih-benih untuk menumbuhkan persahabatan sejati.
Jika anda sudah bisa merasakan
persahabatan sejati, anda tidak pernah merasa tersesat dimanapun anda
berada di muka bumi ini. Anda akan merasakan pelukan kasih sayang yang
sama. Anda akan merasakan keramahan yang sama. Anda akan mendapatkan
kegembiraan yang sama. Anda akan merasa senasib. Anda tidak akan pernah
merasa sendiri. Anda tidak kesulitan untuk mendapatkan pertolongan. Anda
tidak akan kesulitan minta bantuan.
Jadi akan terasa aneh jika baru
bisa merasakan persahabatan sejati setelah melampui batas-batas Negara.
Jika pandangan dipersempit, hanya melihat batas Negara di Indonesia
misalnya, sepertinya persahabatan sejati sudah mulai pudar. Memudarnya
persahabatan sejati ini tidak terlepas dari tumbuh suburnya paham sektarian
yang sempit pada era belakangan ini. Paham ini telah menyatakan dirinya
paling benar dan paling besar. Yang lain sepertinya dilihatnya sangat hina.
Paham pluralisme sudah dicampakkan begitu saja. Mereka lebih banyak bicara
atas nama suku atau daerah. Mereka lebih senang jika berada dalam satu
paham agama. Tumbuh suburnya berbagai organisasi yang mengatas namakan
suku, daerah atau agama mengindikasikan hal tersebut. Organisasi tersebut
tidaklah salah. Yang salah adalah mereka sudah larut ke dalam bentuknya
tanpa mau lagi melebur dengan yang lainnya.
Kondisi ini sangatlah
menyakitnya, terlebih jika dibiarkan tumbuh subur dimasa yang akan datang.
Bukankah para pendahulu kita telah menciptakan suatu paham kebersamaan dan
kebangsaan melalui ideologi Pancasila? Bukankah sebelumnya jelas-Jelas
dimunculkan jiwa persatuan seperti yang terucap: Bhinneka Tunggal Ika?
Semua harus cepat sadar dengan
kenyataan ini. Jangan biarkan ini berlalu menuju ke jurang perpecahan dan
kehancuran. Tekad harus tetap ditanamkan bahwa kita adalah manusia yang
sama. Tumbuhkan kembali hidup dalam suasana persahabatan.
(Yajurveda XXXVI.18)
Mitrasya ma caksusa sarvani
Bhutani samiksantam,
Mitrasyaham caksusa sarvani
Bhutani samikse,
Mitrasya caksusa samiksamahe
Semoga semua mahluk memandang kami dengan pandangan mata
seorang sahabat,
semoga saya memandang semua makluk sebagai seorang sahabat,
semoga kami berpandangan penuh persahabatan.
|
|
Manusia Hanya Berusaha
|
|
|
|
|
|
oleh: Nengah Santa
(nengahsanta@yahoo.com), 22 Maret 2006
Orang sering mengungkapkan orang
lain bodoh padahal orang yang mengatakan itu lebih bodoh. Orang juga sering
mengungkapkan orang lain itu hina padahal orang yang mengatakan itu lebih
hina.
Kenapa orang yang mengatakan itu
disebut lebih bodoh atau lebih hina? Ini yang telah membuat saya larut
dalam renungan. Sedikitnya ada beberapa uraian yang bisa menuturkan
penjelasan diatas.
Pertama, Orang tersebut menjadi
lebih bodoh atau lebih hina karena dia sudah melupakan kodratnya sebagai
manusia. Manusia berkewajiban untuk berusaha dalam hidupnya, sedangkan
segala keputusan hendaknya diserahkan kepada Tuhan yang menentukan. Jadi
wajar dia disebut lebih bodoh atau lebih hina karena telah melampui
wewenang yang dimilikinya.
Kedua, Orang tersebut menjadi
lebih bodoh atau lebih hina karena dia sudah lupa sama kodratnya bahwa
manusia adalah sama. Oleh karenanya sudah sepantasnya orang tersebut
menempatkan manusia itu sama untuk saling mengasihi.
Ketiga, Orang tersebut menjadi
lebih bodoh atau lebih hina karena dia sudah salah dalam
membanding-bandingkan manusia. Setiap manusia tidak berhak
membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain karena setiap manusia
memiliki kekurangan dan keunggulan masing-masing.
Keempat, Orang tersebut menjadi
lebih bodoh atau lebih hina karena dia sudah melupakan prinsip persahatan
sejati. Dalam persahabatan sejati sudah tidak mengenal siapa orangnya,
darimana asalanya, apa agamanya, apa warna kulitnya, apa status sosialnya
dan sebagainya. Yang dikenal hanyalah warna darah yang sama.
Kelima, Orang tersebut menjadi
lebih bodoh atau lebih hina karena dia sudah terjebak dalam belenggu
pikirannya. Pikiran telah membuat sekat-sekat untuk membeda-bedakan setiap
orang. Sekat-sekat ini harus dilewati dengan mengunakan bahasa cinta yang
ada di dalam hati.
Mengatakan orang lain bodoh atau
hina adalah salah satu bagian sifat buruk yang harus di hentikan
sebagaimana ditegaskan dalam Rgveda berikut.
(Rgveda III.16.5)
Ma no agne amataye
maviratayai riradhah
magotayai sahasaputra ma nide
apa vdesamsi-a krdhi
Ya Sang Hyang Agni (Tuhan Yang Maha Esa), semoga engkau tidak
menaklukkan kami kepada ketidaktahuan, kepengecutan,kemiskinan dan
penghinaan.
Semoga Engkau menjauhkan lawan-lawan kami.
(Rgveda VII.94.3)
Ma papatvaya no nara
Indra agni ma-abhisastaye
Ma no riradhatam nide
Ya, Sang Hyang Indra dan Sang Hyang Agni yang gagah berani,
jangan jadikan kami pelaku-pelaku perbuatan jahat, pembunuhan dan
penghinaan.
Berangkat dari penuturan di
atas, sudah selayaknya setiap manusia untuk tetap mensejajarkan dirinya
dengan orang lain dan bersama-sama berusaha, bersama-sama untuk saling
memperbaiki kekurangan, bersama-sama belajar dari kesalahan masa lalu dan
bersama-sama menyerahkan sepenuhnya keputusan ditangan Tuhan. Tidak lagi
saling menghakimi. Semua berjalan sesuai dengan peran masing-masing. Jika
ada suatu kesalahan atau kejahatan biarkan hukum yang telah disepakati yang
bicara, dan sudah ada orang memiliki peran tersebut untuk melakukan
penuntutan terhadap suatu kesalahan atau kejahatan tersebut. Jadi tidak
perlu memutuskan sendiri. Jika tidak puas dengan keputusan hukum yang
dibuat maka serahkan sepenuhnya keputusan tersebut kepada Yang Di Atas.
|
|
Nyepi di Hati
|
|
|
|
|
|
oleh: Nengah Santa
(nengahsanta@yahoo.com), 22 Maret 2006
Nyepi di Hati adalah sebuah
perenungan mendalam didalam hati tentang makna brata penyepian ke dalam
kehidupan sehari-hari. Nyepi di hati tiada lain agar diri kita tentram,
damai dan hawa nafsu terkendali.
(Bagawad Gita Bab VI, 27)
PRASANTA – MANASAM HY ENAM
YOGINAM SUKHAM UTTAMAM
UPAITI SANTA RAJASAM
BRAHMA BHUTAM AKALMASAM
Kebahagian tertinggi datang pada seorang yogi yang pikirannya
tentram, damai, yang hawa nafsunya terkendali,
mereka yang tiada noda akan bersatu dengan Brahma, Tuhan Yang Maha Esa.
Hendaknya setelah anda
menjalankan Brata penyepian selama satu hari penuh, anda bisa memetik makna
yang lebih mendalam terhadap Catur Brata Penyepian untuk diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
Catur Brata Penyepian yang anda
lakukan satu hari penuh menekankan pada pengendalian diri yang
diterjemahkan secara phisik. Seperti dalam penjabaran yang sudah umum
didengarkan, Catur Brata Penyepian dibagi menjadi : Amati Geni (tidak
menyalakan api), Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelungan (tidak
bepergian), Amati Lelanguan (tidak menikmati hiburan).
Mungkinkah Catur Brata Penyepian
dilaksanakan setiap hari? Jawabannya jelas tidak mungkin, kalau
diterjemahkan maknanya seperti diatas. Dan sudah tentu jawabannya menjadi
bisa dilaksanakan tiap hari, jika kita bisa menggali makna pengedalian diri
yang terkandung didalam Catur Brata Penyepian lebih dalam lagi.
Pertama, Amati Geni (tidak menyalakan api); maksud tidak
menyalakan api ini diterjemahkan dengan mengendalikan energi negatif.
Energi negatif yang terkandung didalam tubuh manusia diiantaranya:
prasangka buruk, egois, marah, iri hati, benci, serakah, licik dan
sebagainya. Energi negatif ini sangat berbahaya jika menyelimuti spirit
(atma) kita. Sudah tentu akan menimbulkan penderitaan. Bagaimana
menghilangkan energi negatif tersebut? Salah satu yang bisa dilakukan dalam
keseharian adalah dengan menjalankan meditasi yang teratur.
Kedua, Amati Karya (tidak bekerja). Setiap hari sudah tentu
kita harus bekerja. Maksud yang ditekankan adalah bagaimana kita dalam
bekerja dengan tidak lupa memperhatikan diri sendiri, keluarga, lingkungan,
orang tua, pemerintah dan Tuhan. Ada sebuah cerita tentang seorang ayah
yang bekerja sering sampai larut malam dan hari minggu pun ayah tersebut
harus bekerja sehingga hampir tidak ada waktu bermain dengan anaknya. Suatu
ketika, anaknya bertanya kepada ayahnya,” Berapa gaji Ayah setiap jam?”.
Ayahnya sangat kaget dengan pertanyanan tersebut. Ayah tersebut pun mau
menjawab, “ 20 ribu rupiah nak”. “ Kalo begitu, saya punya tabungan 20 ribu
rupiah akan saya berikan kepada ayah untuk membayar gaji ayah untuk
menemani saya bermain”, demikian anak tersebut membujuk ayahnya agar mau
bermain dengan anaknya. Alangkah malunya kita sebagai seorang ayah jika
harus sampai dibujuk oleh anak kita hanya untuk diajak bermain. Menyediakan
waktu bermain dengan anak tentu juga akan membantu kita yang sibuk bekerja
meredakan ketegangan kita.
Kembali lagi ke cerita seorang
ayah diatas. Karena kesibukannya, bisa jadi ayah tersebut lupa untuk
mencukur jengkot dan kumisnya. Waktu untuk berolah raga pun tidak ada. Ayah
tersebut lupa sama sekali dengan dirinya. Biasanya orang seperti ini akan
sadar setelah ada penderitaan, misalnya sakit jantung atau sakit stroke
karena terlalu berat memikirkan pekerjaan dan lupa memikirkan dirinya.
Sediakanlah waktu sedikit dengan
menarik nafas yang panjang dan melihat diri sendiri apa yang kira-kira yang
bisa dilakukan untuk diri sendiri, mungkin potong kuku atau cukur kumis
atau duduk santai sambil minum teh dan bertanya pada diri sendiri.
Karena kesibukan orang bekerja,
sering lupa memperhatikan lingkungannya. Bagaimana bisa ada waktu menyapa
tetangga kalau pulangnya sering sampai larut malam? Sisihkan waktu anda
untuk menyapa tetangga, karena dengan menyapa tetangga pasti tidak ada
ruginya.
Contoh nyata yang bisa diambil
manfaatnya adalah ketika rumah kita ada seorang yang asing wajahnya, yang
pura-pura menjadi tukang kebun namun akhirnya mencuri, tetangga terdekatlah
yang akan menegurnya karena sudah pasti tetangga kita akan lebih tahu dan
memperhatikan rumah kita. Kalau kita tidak pernah bertegur sapa, sudah
tentu tetangga terdekat kita akan membiarkan pencuri tersebut.
Jangan-jangan jika ada kebakaran pun tetangga tersebut tidak mau membantu
karena keangkuhan kita tidak pernah bertegur sapa.
Kaitan bekerja dengan orang tua.
Kita bekerja tentu digunakan untuk kebutuhan keluarga. Jangan lupa
menyisihkan sebagian kecil penghasilan untuk orang tua kita yang telah
membesarkan dan membimbing kita. Membahagiakan orang tua semasih hidup
adalah sangat mulia. Jangan sampai kita baru sadar setelah orang tua
mendekati kematian, apalagi sadar setelah meninggal.
Bagaimana kaitan bekerja dengan
pemerintah? Contoh yang baru kita lakukan adalah pemilihan presiden dengan
menyisihkan waktu untuk memilih pemimpin bangsa kita dengan hati nurani,
tertib dan demokratis. Ini juga bentuk pengabdian kepada pemerintah. Kaitan
bekerja dengan Tuhan. Bagi orang Hindu dengan berusaha menyisihkan waktu
setiap hari Tilem dan Purnama untuk bersembahyang bersama, sekaligus waktu
tersebut digunakan untuk beranjang sana dengan teman-teman. Setiap harinya
pun kita jangan sampai lupa untuk berdoa kepada Tuhan. Lebih baik jika melakukannya
dengan Meditasi teratur pagi dan malam harinya.
Ketiga, Amati Lelungan (tidak bepergian). Tidak bepergian
diarahkan kepada pikiran kita agar jangan sampai pikiran kita liar, pergi
kemana-mana. Pikiran yang liar ini sangat berbahaya jika tidak dikendalikan.
Hendaknya pikiran diajak untuk fokus atau kosentrasi. Disamping itu yang
lebih penting adalah dalam bekerja hendaknya menggunakan pikiran terlebih
dahulu sebelum berbuat.
Keempat, Amati Lelanguan (tidak menikmati hiburan). Wajar saja
kesibukan kita sehari-hari perlu dipulihkan. Biasaya orang melakukannya
dengan menikmati hiburan berupa nonton tv, baca Koran atau majalah. Jangan
sampai ada yang menghibur dirinya dengan hiburan sesat seperti narkoba atau
berkunjung ke tempat lokalisasi. Dan yang terpenting, jangan sampai lupa
pula kita untuk untuk menghibur jiwa kita agar selalu tenang dan harmonis.
Ini bisa dilakukan dengan yoga dan meditasi.
Dengan konsep pengendalian diri
melalui penerapan ajaran Catur Brata Penyepian ke dalam kehidupan sehari-hari
akan membantu kita mencapai kesuksesan hidup yang damai, bahagia dan
sejahtera.
---ooo--
|
|
Hindu Menyongsong Abad Informasi
|
|
|
|
|
|
oleh: Nengah Santa
(nengahsanta@yahoo.com), 27 Januari 2006
Zaman ini layak disebut Zaman
informasi. Bagi anda yang gemar mencari informasi, anda dengan mudah
mendapatkannya, dengan berbagai sajian yang kian menarik. Contohlah,
jaringan internet telah berkembang dengan pesat dan bisa diakses dengan
biaya yang terjangkau. Berbagai media televisi juga telah membanjiri dunia
dengan pilihan acara yang menarik dan kompetitif. Kini berbagai media
televisi juga telah sampai ke pelosok desa berkat jasa TV kabel. Media
cetak juga tidak mau ketinggalan. Berbagai ragam berita dan informasi
tersaji dengan rapi. Telekomunikasi juga telah menjangkau berbagai lapisan
masyarakat sampai kepelosok daerah, dengan menjamurnya berbagai operator
telepon genggam. Perkembangan Teknologi Informasi sebagai pendukungnya juga
berkembang dengan pesat. Anda bisa dengan mudah memilih berbagai merek
komputer dengan berbagai macam fasilitas pendukungnya.Sisi inilah yang
mesti harus disadari bagi kita semua. Kita tidak bisa dosa itu dibiarkan
larut begitu saja. Dosa itu mesti diperbaiki sejak dini mulai dari dalam
diri. Jika anda bisa menekan dosa dari dalam diri anda maka anda akan
mendapatkan nilai dari kualitas tersebut yaitu sebuah kedamaian.
Bagaimana Hindu menyikapi
perkembangan informasi ini? Sudah siapkah Hindu menyongsong abad Informasi
ini? Jika anda seorang Hindu, pertanyaan ini patut ditanyakan ke dalam diri
masing-masing, demi kejayaan Hindu di masa depan.
Hindu adalah selalu sejalan
dengan perkembangkan zaman. Artinya Hindu selalu siap untuk
menyesuaikannya. Bahkan Hindu mesti menggunakan perkembangan suatu zaman
sebagai media penyadaran umat manusianya.
Berbicara perkembangan informasi
yang kian semarak, pelan tapi pasti umat Hindu sudah semakin terbiasa
menikmatinya. Sekarang sudah banyak para pemberi dharma wacana atau
penceramah dalam sebuah diskusi Hindu membawa Laptop untuk memudahkan
memberikan pencerahan kepada umatnya. Pemberian dharma wacananya pun bisa
menggunakan proyektor untuk membuat apa yang disampaikan mudah dipahami dan
sudah tentu lebih memikat. Umat Hindu juga sudah dimanjakan dengan berbagai
tayangan Dharma Wacana dari berbagai stasiun televisi. Contoh lain, Ketika
anda hendak bertemu seorang Pinandita atau Nabe atau seoarang Guru, anda
cukup memberi tahu terlebih dahulu melalui Telepon Genggam atau Telepon
Rumah untuk memastikan kesediannya. Berbagai kegiatan Hindu pun panitia
dibuat lebih mudah berkomunikasi karena sebagian besar sudah membawa
telepon genggam. Seorang Pinandita juga tidak perlu harus bersuara lantang
dalam memimpin upacara, karena sudah tersedia microphone yang sederhana.
Tidak mau ketingggalan, sekarang sudah banyak para Pinandita yang aktif
berdiskusi agama melalui media email.
Mengaitkan perkembangan
informasi demi Kejayaan Hindu patutlah disyukuri. Jika perkembangan
teknologi informasi ini tersedia dan dikelola dengan baik oleh
masing-masing lembaga atau organisasi yang mengatas-namakan Hindu, maka
akan sangat menghidup komunikasi antar sesama Hindu dari berbagai daerah.
Jika masing-masing tersedia fasilitas Komputer, maka pengelolaan data base
nya akan lebih rapi. Jika semua sudah bisa berkomunikasi berbasis email,
maka segala informasi akan didapat dengan mudah, lancar dan murah. Bukan
mustahil suatu saat nanti, jika ada perayaan hari besar Hindu, bisa
ditayangkan secara langsung dari berbagai daerah dengan berbagai keunikan
yang dimilikinya.
Oleh karenanya, mari kita
mendukung sepenuhnya segala program penyiaran Hindu demi kejayaan Hindu.
Dan juga hendaknya umat Hindu tidak ragu lagi bertanya atau memberi
informasi tentang Hindu melalui program-program penyiaran Hindu yang ada,
asalkan dengan prinsip saling asah,saling asih dan saling asuh.
(RgvedaX.32.7)
Aksetravit ksetravidam hyaprat
sa praiti ksetravidanusistah
stad vai bhadram anusasanasyo
ta sruti vindatyas njasinam
Orang yang tak mengenal suatu tempat bertanya kepada orang yang mengetahui;
ia meneruskan perjalanan, dibimbing oleh orang yang tahu;
inilah manfaat pendidikan, ia menemukan jalan lurus.
(Rgveda I. 12.6)
Agnina-agnih
samidhyate
Seperti kobaran api, pengetahuan menyebar dari seseorang ke orang yang
lainnya.
|
|
Antara Pengetahuan dan Agama
|
|
|
|
|
|
oleh: Nengah Santa
(nengahsanta@yahoo.com), 27 Januari 2006
Jika pengetahuan tanpa dibekali
agama, maka pengetahuan tersebut akan tidak jelas arahnya. Dan bisa-bisa
mengancam kehidupan manusia. Sebaliknya jika agama tanpa didampingi
pengetahuan, maka pemahaman manusia akan agama yang dianutnya akan
terbatas, sehingga kesadarannya pun akan terhambat.
Pengetahuan dan Agama akan
selalu hidup berdampingan. Kemana pengetahuan pergi, Agama pun akan setia
menemani. Demikian juga, jika Agama pergi, maka harus mengajak pengetahuan.
Intinya mereka tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Semuanya memiliki
keunggulan masing-masing. Keunggulan pengetahuan dan agama jika
disinergikan maka akan sangat bermanfaat untuk kemajuan peradaban manusia
di bumi ini.
Oleh karenanya,
setinggi-tingginya orang mencari ilmu pengetahuan mesti harus didampingi
agamanya. Mereka harus tetap dilindungi oleh agamanya agar tidak terancam
atau mengancam kehidupan dunia ini. Contoh yang paling sederhana jika
pengetahuan tidak didampingi agama adalah munculnya kreativitas manusia
yang banyak meresahkan orang lain. Ada orang jail, berkat kemampuan yang
digali dari pengetahuan yang dipelajarinya, mereka iseng menempelkan photo
presiden dengan photo artis sedang berciuman misalnya. Ini jelas menurunkan
martabat presiden. Contoh lain yang sangat parah adalah baru bisa bikin bom
kecil-kecilan berkat pengetahuan yang dipelajari namun karena dibekali
agama yang sesat maka mereka seenaknya membunuh orang lain. Berkat
pengetahuan hipnotisnya mereka seenaknya menipu orang lain. Dan masih
banyak contoh lainnya.
Setinggi-tingginya orang belajar
agama, tetap harus berbekal pengetahuan yang cukup. Belajar agama, tanpa
pengetahuan yang cukup akan menyebabkan sempitnya pandangan manusia
terhadap agama tersebut. Sempitnya pemahaman orang terhadap agama yang
dianutnya bisa berakibat merendahkan orang lain. Mereka merasa apa yang
dianutnya paling benar. Yang lain adalah salah atau keliru. Bukti nyata
dari keadaan ini adalah munculnya kekacauan di bumi ini yang banyak
mengatas-namakan agama. Kekacauan tersebut tidak lain karena mereka sangat
sempit memahami ajarannya. Dan juga tidak pernah mau mengerti tentang
ajaran yang dianut orang lain. Munculnya perang antar agama, ancaman
teroris dimana-mana adalah buah dari pemahaman agama yang sempit. Sempitnya
pemahaman agamanya tiada lain karena tanpa dibekali pengetahuan Agama yang
cukup. Akibatnya mereka tidak memiliki kecerdasan akal budi,
intelektualitas dan pengetahuan spiritual yang benar. Mereka telah
mengacaukan tentang perbuatan yang baik dan yang buruk.
(Yajurveda XXXIV.2)
Yat prajnasnam uta ceto dhrtisca
Yajjyotirantar amrtam prajasu,
Yasmanna’rte kincana karma kriyate
Tanme manah sivasamkalpam astu
Yang menjadi sumber pengetahuan utama,
dan merupakan kecerdasan dan kekuatan pikiran,
yang merupakan api yang tak kunjung padam pada mahluk hidup,
apa adanya itu kita tidak mampu berbuat apa-apa,
semoga pikiran kami selalu mengarah kepada yang baik.
Kemana pun anda pergi dan dimana
pun anda berada, gunakanlah pengetahuan dan pemahaman tentang agama untuk
selalu pada jalan yang benar.
|
|
Antara Pengetahuan dan Agama
|
|
|
|
|
|
oleh: Nengah Santa
(nengahsanta@yahoo.com), 27 Januari 2006
Jika pengetahuan tanpa dibekali
agama, maka pengetahuan tersebut akan tidak jelas arahnya. Dan bisa-bisa
mengancam kehidupan manusia. Sebaliknya jika agama tanpa didampingi
pengetahuan, maka pemahaman manusia akan agama yang dianutnya akan
terbatas, sehingga kesadarannya pun akan terhambat.
Pengetahuan dan Agama akan
selalu hidup berdampingan. Kemana pengetahuan pergi, Agama pun akan setia
menemani. Demikian juga, jika Agama pergi, maka harus mengajak pengetahuan.
Intinya mereka tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Semuanya memiliki
keunggulan masing-masing. Keunggulan pengetahuan dan agama jika
disinergikan maka akan sangat bermanfaat untuk kemajuan peradaban manusia
di bumi ini.
Oleh karenanya,
setinggi-tingginya orang mencari ilmu pengetahuan mesti harus didampingi
agamanya. Mereka harus tetap dilindungi oleh agamanya agar tidak terancam
atau mengancam kehidupan dunia ini. Contoh yang paling sederhana jika
pengetahuan tidak didampingi agama adalah munculnya kreativitas manusia
yang banyak meresahkan orang lain. Ada orang jail, berkat kemampuan yang
digali dari pengetahuan yang dipelajarinya, mereka iseng menempelkan photo
presiden dengan photo artis sedang berciuman misalnya. Ini jelas menurunkan
martabat presiden. Contoh lain yang sangat parah adalah baru bisa bikin bom
kecil-kecilan berkat pengetahuan yang dipelajari namun karena dibekali
agama yang sesat maka mereka seenaknya membunuh orang lain. Berkat
pengetahuan hipnotisnya mereka seenaknya menipu orang lain. Dan masih
banyak contoh lainnya.
Setinggi-tingginya orang belajar
agama, tetap harus berbekal pengetahuan yang cukup. Belajar agama, tanpa
pengetahuan yang cukup akan menyebabkan sempitnya pandangan manusia
terhadap agama tersebut. Sempitnya pemahaman orang terhadap agama yang
dianutnya bisa berakibat merendahkan orang lain. Mereka merasa apa yang
dianutnya paling benar. Yang lain adalah salah atau keliru. Bukti nyata
dari keadaan ini adalah munculnya kekacauan di bumi ini yang banyak
mengatas-namakan agama. Kekacauan tersebut tidak lain karena mereka sangat
sempit memahami ajarannya. Dan juga tidak pernah mau mengerti tentang
ajaran yang dianut orang lain. Munculnya perang antar agama, ancaman
teroris dimana-mana adalah buah dari pemahaman agama yang sempit. Sempitnya
pemahaman agamanya tiada lain karena tanpa dibekali pengetahuan Agama yang
cukup. Akibatnya mereka tidak memiliki kecerdasan akal budi,
intelektualitas dan pengetahuan spiritual yang benar. Mereka telah
mengacaukan tentang perbuatan yang baik dan yang buruk.
(Yajurveda XXXIV.2)
Yat prajnasnam uta ceto dhrtisca
Yajjyotirantar amrtam prajasu,
Yasmanna’rte kincana karma kriyate
Tanme manah sivasamkalpam astu
Yang menjadi sumber pengetahuan utama,
dan merupakan kecerdasan dan kekuatan pikiran,
yang merupakan api yang tak kunjung padam pada mahluk hidup,
apa adanya itu kita tidak mampu berbuat apa-apa,
semoga pikiran kami selalu mengarah kepada yang baik.
Kemana pun anda pergi dan dimana
pun anda berada, gunakanlah pengetahuan dan pemahaman tentang agama untuk
selalu pada jalan yang benar.
|
|
Siwa Ratri : Pencarian di Dalam
Diri Menjalani Peran
|
|
|
|
|
|
oleh: Nengah Santa
(nengahsanta@yahoo.com), 21 Januari 2006
Siwa Ratri berasal dari kata
Siwa dan Ratri. Siwa salah satu sebutan nama Tuhan. Ratri berarti malam.
Kalau di gabungkan maknanya menjadi malam pemujaan kepada Siwa. Lho kenapa
mesti ada perayaan pada malam Purwaning tilem kapitu kepada Siwa Ratri?
Inilah malam tergelap sepanjang setahun yang sangat baik digunakan sebagai
momen penyadaran diri.
Umumnya orang lebih mengenal
malam Siwa Ratri adalah malam saat Sang Lubdaka bermalam di tengah hutan.
Beliau naik diatas sebuah pohon Bilwa untuk menghindari ancaman dari dari
binatang buas. Kini malam Siwa Ratri telah menjadi tradisi bagi umat Hindu
untuk melakukan Jagra semalam.
Bukan maksud berseberangan
dengan apa yang dikenal oleh umat Hindu umumnya, yang menekankan malam Siwa
Ratri sebagai malam peleburan dosa. Ijinkan pada kesempatan ini saya
melakukan pencarian ke dalam diri.
Bagi saya, terlalu mudah rasanya
jika orang yang berbuat dosa misalnya, kemudian dengan melakukan Brata saat
malam siwa ratri maka dosanya sudah diampuni? Sekali lagi, ijinkan saya
berada pada sisi yang lain. Bagi orang yang melakukan perbuatan dosa
kemudian melakukan brata saat malam siwa ratri tidak berbeda jauh dengan
jika anda dimisalkan memproduksi sebuah produk. Anda biarkan produk itu ada
kesalahan atau cacat, kemudian hanya pada bagian akhir dari proses produksi
dilakukan pengecekan kualitasnya. Pada bagian terakhir ini anda baru
melakukan perbaikan kualitas. Bukankah sepatutnya kualitas itu ditanamkan
sejak dari awal, bukan hanya menunggu di belakang?
Sisi inilah yang mesti harus
disadari bagi kita semua. Kita tidak bisa dosa itu dibiarkan larut begitu
saja. Dosa itu mesti diperbaiki sejak dini mulai dari dalam diri. Jika anda
bisa menekan dosa dari dalam diri anda maka anda akan mendapatkan nilai
dari kualitas tersebut yaitu sebuah kedamaian.
Pada kesempatan yang baik ini,
dalam rangka menyambut malam Siwa Ratri, mari kita bersama untuk lebih
menekankan pada pencarian kedamaian di dalam diri. Kapan kedamaian itu akan
muncul? Kedamaian akan muncul jika anda bisa terhindar dari ancaman
binatang buas. Binatang buas tersebut bukanlah makhluk lain seperti dalam cerita
Lubdaka. Binatang buas itu justru datang dari dalam diri anda. Binatang
buas itu bernama: Emosi Negatif.
Emosi negatif merupakan bagian
dari dosa yang bisa berbentuk marah, iri, dengki, serakah, malas dan benci.
Kalau saya misalkan emosi negatif ini sebagai binatang, maka binatang ini
senang hidup dalam suasana gelap. Demikian pula jika dalam diri anda penuh
dengan kegelapan, maka emosi negatif ini akan merasa senang. Dia akan
menari-nari untuk mengacaukan diri anda, mengusik ketenangan dalam diri anda.
Inilah ancaman yang muncul dari
dalam diri anda. Anda harus cepat sadar dan keluar dari ruang gelap
tersebut dan mencari sebuah sinar yang mampu melenyapkan emosi negatif
tersebut. Setiap manusia sebenarnya sudah memiliki bekal sinar dari Hyang
Maha Kuasa. Sinar tersebut tiada lain adalah percikan sinar suci Tuhan yang
mesti digunakan untuk menerangi diri anda mengarungi bahtera kehidupan ini.
Munculnya sinar dalam diri anda
dapat dirasakan dengan segarnya pikiran dan bathin anda. Tubuh anda pun
terasa ringan dan bugar. Anda melakukan Aktivitas sehari-hari dengan penuh
semangat dan ceria.
Ketika diri anda merasakan
pikiran yang kalut, perasaan mau marah, badan terasa loyo dan malas
melakukan aktivitas hidup maka sinar tersebut sudah tertutupi oleh selimut
kegelapan. Jika ini terjadi, maka anda sudah mulai terperangkap dalam emosi
negatif tersebut.. Anda harus cepat sadar dan segera melakukan langkah
sederhana seperti berikut ini. Pertama, ambil segelas air putih dan munumlah.
Air putih ini disamping bisa menyegarkan tubuh anda, juga bisa sebagai
simbolis pembersihan diri anda. Kedua, rauplah muka anda dengan air
bersih atau lebih baik jika anda melakukannya dengan mandi. Ketiga,
tariklah nafas panjang tiga kali. Nafas panjang ini disamping untuk
mengalirkan oksigen sebanyak-banyaknya kedalam aliran darah anda, juga bisa
sebagai simbolis untuk berterima kasih karena anda telah disadarkan. Keempat,
lakukan doa Gayatri Mantra dengan pelan, penuh hening tanpa suara dimanapun
anda berada.
Semoga anda selalu berada dalam
kesadaran dan mendapatkan kedamaian dimanapun anda berada dan kemanapun
anda pergi. Dan jadikanlah malam siwa ratri untuk melakukan pencarian dari
dalam diri:"Sudah berapa kedamaian yang anda berikan" dan bukan
mengatakan: ”Sudah berapa dosa yang harus anda lebur saat malam siwa
ratri”.
Damai selalu!
|
|
Kerja Keras dan Ketekunan
|
|
|
|
|
|
oleh: Nengah Santa
(nengahsanta@yahoo.com), 14 Januari 2006
Ada sebuah plesetan yang
mengatakan: ”Orang menjual Bakso untuk membeli Tanah. Sebaliknya orang
menjual Tanah untuk membeli Bakso”.
Pernyataan diatas tidaklah hanya
sebuah plesetan. Kenyataan memang banyak orang yang mau bekerja keras dan
tekun, walaupun hanya menjual bakso bisa sukses bahkan ada yang bisa
membeli tanah. Sedangkan bagi orang yang tidak mau bekerja keras dan tekun,
bisa jadi untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan menjual tanah
warisan.
Siapapun orangnya, dari manapun
asalnya semuannya adalah manusia yang memiliki warna darah yang sama. Ini
berarti setiap manusia sebenarnya dibekali perangkat yang sama. Hanya
maukah manusia tersebut menggunakannya dengan penuh kerja keras dan tekun?
Inilah salah satu yang menyebabkan perbedaan manusia, ada orang sukses dan
tidak sukses.
Dalam era globalisasi ini, hanya
orang yang mau bekerja keras dan tekun yang akan mampu bersaing dan bisa
menjadi pemenang. Sebaliknya jika anda tidak mau bekerja keras dan tekun,
siap-siaplah anda jadi pecundang dalam hidup ini. Lubang penderitaan sudah
tersedia di depan anda, jika anda yang tidak mau bekerja keras dan tekun.
Jembatan sudah tersedia didepan sana, yang akan mengantarkan anda menuju
pulau kesuksesan jika anda mau bekerja keras dan tekun.
Cara yang baik agar anda mau
bekerja keras dan tekun adalah membuang virus yang menggampangkan hidup,
membuang virus kemalasan, membuang virus putus asa dan membuang virus
hura-hura. Jangan lagi anda bermalas-malasan sambil menunggu durian runtuh
atau hanya berharap dari undian lotre untuk menjadi jutawan. Jangan lagi
anda bermalass-malasan sambil berjudi sabung ayam.
Sikap putus asa dalam hidup ini
juga harus dikubur. Cobaan dan rintangan dalam hidup ini mesti anda harus
lalui. Janganlah anda berhenti disebuah pohon besar yang bernama:putus asa.
Jangan lagi anda membayangkan berapa hektar tanah warisan yang anda miliki.
Warisan tersebut akan sangat cepat habis jika anda menjalaninya cukup
dengan berhura-hura. Anak- cucu anda hanya akan mendapat warisan
penderitaan.
Vitamin yang perlu anda minum
agar bisa bekerja keras dan tekun adalah vitamin disiplin diri dan semangat
hidup. Anda harus membedakan disiplin mana yang anda jalani. Disiplin alami
adalah disiplin yang digali dari dalam diri. Disiplin palsu adalah disiplin
jika ada orang lain yang menggerakkan. Jadilah anda disiplin alami agar
tetap mekar sepanjang hari. Disiplin palsu hanya bisa mekar jika ada orang
yang menyiraminya. Semangat hidup perlu anda dukung dengan kesehatan yang
prima. Kesehatan yang kurang, akan menyebabkan anda loyo seperti mobil yang
tidak bertenaga karena kampas koplingnya sudah habis. Oleh karenanya anda
harus tetap menjaga kesehatan agar bisa tetap bersemangat dalam menjalani
hidup ini.
Akhirnya anda sekarang sudah
siap untuk menyongsong hari esok dengan kerja keras dan ketekunan. Tuhan
akan senang mendengar kabar ini. Tuhan akan menyambutmu di pintu
kesuksesan.
(Atharvaveda XX.18.3)
Icchanti devah sunvantam
na svapnaya sprhayanti
yanti pramadam atandrah.
"Para
dewa menyukai orang-orang yang bekerja keras.
Para dewa tidak menyukai orang-orang yang gampang-gampangan
dan bermalas-malasan.
Orang-orang yang selalu waspada mencapai kebahagian yang agung".
(RgvedaI.41.6)
Sa ratnam martyo vasu
Visvam tokam uta tmana
Accha gacchati-astrtah
"Orang
yang tidak kenal lelah memperoleh permata-permata,
segala macam kekayaan,
dan anak cucu berkat ketekunannya".
(Rgveda VII.32.9)
Ma sredhata somino daksata mahe
Krnudhvam raya atuje.
Tanarir ij jayati kseti pusyanti
Na devasah kavatnave.
"Wahai
orang-orang yang berpikiran mulia, jangalah tersesat.
Tekunlah dan dengan tekat yang keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang
tinggi.
Bekerjalah dengan tekun untuk memperoleh kekayaan.
Orang yang bersemangat (tekun sekali) berhasil, hidup berbahagia dan
menikmati kemakmuran.
Para dewa tidak menolong orang yang bermalas-malas".
Mudah-mudahan kutipan
sloka-sloka diatas bisa menjadi lem perekat untuk tetap berada pada jalur
kerja keras dan ketekunan.
|
|
Dharma Sebagai Poros Pengendali
|
|
|
|
|
|
oleh: Wayan Catra Yasa
(wayan@id.beyonics.com), 26 Desember 2005
Om Swastyastu,
Dharma sebagai tujuan hidup yang
utama dan mengabdi terhadap sesama makhluk dan beramal-kebaikan untuk
kesejahteraan serta menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, maka orang
itu akan mendapat Wara Nugraha yang berlimpah dari Hyang Widhi yakni
kebahagiaan dan atma itu bila menjelma kembali akan menikmati kebahagiaan
hidup di dunia. Oleh sebab itu Hindu menekankan hendaknya berlaku tidak
menyimpang dari tuntunan dharma. Karena akibat perbuatan jahat akan
menerima hukuman yang sangat berat dari suatu pengadilan yang tidak nampak
yang berkuasa menenggelamkan manusia yang jahat ke dalam kawah candra
dimuka atau neraka.
Di dalam Vrshaspati Tattva, 25
dinyatakan tentang “Sila" yang artinya perbuatan baik dan
"Yajnya" yang artinya melakukan pemujaan api. Disebutkan juga
tentang "Tapa" yang berarti melakukan tapa brata, tentang
"Anasika Bhiksu" yang artinya seseorang harus didiksa, dan
"Yoga" adalah melakukan meditasi.
- Sila menekankan hendaknya setiap manusia melakukan
perbuatan yang baik yaitu perbuatan mulai yang tidak merugikan
masyarakat, berusahalah agar masyarakat menjadi bahagia.
- Yajnya menuntun orang untuk melaksanakan pemujaan
api untuk memohon kepada Hyang Widhi yang bergelar Dewa Agni dengan
harapan agar beliau menuntun dan memberikan penerangan kepada umat
manusia, sehingga terhindar dari perbuatan jahat.
- Tapa menuntun umat manusia agar mampu mengendalikan
diri dari perbuatan perbuatan jahat yang muncul dari sufat rajas yakni
pengaruh yang berasal dari diri manusia, sehingga kita tetap berada
dijalan dharma.
- Anasaka bhiksu menuntun umat manusia hendaknya
mengikuti prilaku orang suci yaitu yang tiada mudah terpengaruh harta
benda, kesenangan-kesenangan dunia yang ke semuanya itu didapat dengan
jalan yang benar sesuai dengan ajaran dharma.
- Yoga, menuntun umat manusia memiliki konsep konsep
tertentu di dalam melakukan langkah-langkah perbuatan sehingga dengan
memiliki konsep yang pasti maka pengaruh-pengaruh yang jahat, sulit
mempengaruhi orang tersebut dan orang tersebut akan dapat menuju jalan
dharma.
Setiap orang menginginkan
hidupnya berarti dan lebih bermakna, hendaknya harus berpegang teguh pada
dharma. Walaupun hidupnya nampak sederhana, namun mereka memiliki jiwa yang
tenang dan penuh bahagia. Bagi mereka yang tiada memiliki prinsip hidup
Dharma, maka mereka mudah digoyangkan oleh perbuatan-perbuatan Adharma.
Walaupun mereka memiliki harta benda yang berlebihan, namun hatinya penuh
dengan penderitaan yang mengancam dirinya karena mereka selalu merasa
was-was, yang disebabkan seringnya mereka melakukan perbuatan yang kurang
baik terhadap masyarakat dan lingkungannya.
Semua perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang di dunia akan melekat pada pikiran, dan setelah manusia
meninggal, maka yang hancur hanyalah badan kasar, akan tetapi alam pikiran
atau Citta yang terdiri dari Budhi, Manah, Ahamkara, Panca Kamendrya dan
Panca Jnanendrya dan dibungkus oleh Panca Tanmatra serta diberikan kekuatan
hidup oleh atman, maka akan muncul Suksme Sarira atau badan astral. Pada
Suksma Sarira inilah segala bekas–bekas perbuatan yang dilakukan semasa
hidup akan melekat dan disebut Karma Wasana. Perbuatan yang terdapat dalam
Karma Wasana dibagi menjadi dua bagian yakni Subha Karma dan Asubha Karma.
Perbuatan Subha Karma membawa atman ke alam sorga, sedangkan perbuatan Asubha
Karma akan membawa atman ke alam neraka.
Hindu menghendaki agar umatnya
dapat bebas dari belenggu kesengsaraan sehingga mereka memperoleh
kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut dengan moksa. Untuk itulah para
maha bijaksana, para Maha Rsi manyajikan ajaran dharma agar umatnya
melakukan ajaran dharma dengan harapan untuk dapat hidup dengan tentram dan
bahagia.
Demikian, semoga berguna.
Om Santih, Santih, Santih, Om
|
|
Dana Punia dan Maknanya
|
|
|
|
|
|
oleh: Wayan Catra Yasa
(wayan@id.beyonics.com), 22 Desember 2005
Om Swastyastu,
Dalam kitab Slokantara terdapat
bagian yang menyiratkan untaian ajaran etika. Saya telah mencermati sloka
demi sloka yang sangat baik untuk disimak dan dilaksanakan dalam kaitannya
dalam pelaksanaan dana punia. Salah satunya dalam sloka 17, yaitu:
Tithau
dasagunam danam grahane satamewa ca,
Kanyagate shasrani anantam yugantakale.
Arti dari sloka tersebut adalah
: Dana yang diberikan di bulan purnama dan bulan mati akan mendatangkan
sepuluh kali kebaikan. Dana yang diberikan pada waktu gerhana akan
mendatangkan pahala seratus kali. Dana yang diberikan di hari suci sraddha
akan mendatangkan pahala seribu kali lipat. Dana yang diberikan dan jika
dilakukan di akhir yuga, pahala kebaikan akan tidak terbatas.
Sloka di atas memiliki persamaan
dengan sloka yang terdapat di kitab Sarasamuscaya (sloka 174) yaitu:
Arthavan
artham arthibyo,
na dadatyatra ko gunah,
Ekaiva gatirarthasya,
danamanya vipattayah.
Sloka 174 ini berarti: jika
orang kaya menggembar-gemborkan diri telah bersedekah kepada orang miskin,
hal itu tidaklah aneh, karena memang sudah menjadi fungsi kegunaan uang itu
untuk disedekahkan. Jika dipakai untuk keperluan hal yang lain daripada
itu, maka dikatakan menderita kemiskinan.
Demikianlah, jika diwaktu bulan
purnama dan bulan mati itu para dermawan memberi sedekah balasannya akan
berlipat sepuluh. Jika diwaktu gerhana bulan dan gerhana matahari para
dermawan memberi dana, maka akan dibalas seratus kali oleh Tuhan. Jika dana
itu diberikan pada pemujaan arwah leluhur, maka balasannya kepada para
dermawan itu akan berlipat seribu. Kalau di akhir yuga sang dermawan memberi
dana itu, maka dari satu kembali dalam jumlah yang tak terhitung. Inilah
yang harus diingat oleh mereka yang ingin akan ketinggian jiwa hidupnya.
Demikian, semoga berguna.
Om Santih, Santih, Santih, Om
|
|
Menyia-nyiakan Waktu adalah
Menyia-nyiakan Hidup
|
|
|
|
|
|
oleh: Wayan Catra Yasa
(wayan@id.beyonics.com), 26 Desember 2005
Om Swastyastu,
Dalam Bhagawad Gita dituliskan:
“Siapa terus menerus mengingat Aku, sangat Kucintai. Karena itu, ingatlah
Aku selalu. Persembahkan kepada-Ku pikiran dan akal budimu. Serahkan
segala-galanya kepada-Ku, maka engkau pasti akan mencapai Aku.”
Selain itu dikatakan pula bahwa
suka duka, panas dingin, untung rugi, kritik dan pujian, harus dihadapi
dengan pikiran yang seimbang. Keseimbangan pikiran ini adalah salah satu
dari 64 buah sifat dari seorang pengabdi. Dari 64 sifat pengabdi ini secara
umum bisa dibedakan menjadi 2 bagian utama yakni : Abhyasa (pengamalan
dharma terus menerus), dan Wairagya (pengunduran diri atau ketidak
terikatan pada duniawi).
Pengamalan merupakan gabungan
dari tiga jenis tapa atau mati raga, yaitu tapa jasmani, tapa mental, dan
tapa ucapan. Sedangkan pengunduran diri berarti mengenal cacat cela benda,
dan hidup tanpa keterikatan pada benda-benda itu, dengan kata lain hidup sebagai
saksi.
Jika kita ingin mengembangkan
dua sifat ini, kita harus mulai sejak dini dengan cara yang suci dan mulia.
Dewasa ini orang baru melaksanakan kegiatan spiritual setelah mencapai usia
tua, setelah sepenuhnya mereka menikmati benda-benda yang mewah, dan
setelah muak serta bosan dengan semua kesenangan duniawi, barulah mereka
mempertimbangkan untuk mulai menempuh jalan spiritual. Setelah melewatkan
hidup mereka dengan perkiraan bahwa ada kebahagiaan sejati pada obyek-obyek
indra, pada kehidupan keluarga, pada anak-anak, pada harta kekayaan, dan
pada nama dan kemasyuran, mereka akan menemui kekecewaan pada hari tua
mereka.
Mereka akan menyadari bahwa
tidak ada kebenaran pada benda-benda ini dan kedamaian batin serta
kebahagiaan abadi tidak datang dari dunia yang kasat mata atau usaha-usaha
mengejar obyek-obyek duniawi. Maka setelah dihantui oleh kekosongan
pengalaman mereka dan senja kehidupan mulai menjelang, mereka melakukan
kegiatan spiritual.
Sebelum masa tua itu datang,
sebelum kelemahan fisik dan mental itu datang, maka berpikir dan
bertindaklah sekarang juga. Jalinlah dan laksanakan Tri Hita Karana pada
proporsi yang selayaknya. Begitu juga hubungan antar umat beragama juga
jangan dilupakan. Lakukanlah melalui kegiatan kegiatan yang berkaitan dengan
hal yang dimaksud.
Demikian, semoga berguna.
Om Santih, Santih, Santih, Om
|
|
Mendidik Anak Adalah Investasi
Citra Diri
|
|
|
|
|
|
oleh: Wayan Catra Yasa
(wayan@id.beyonics.com), 26 Desember 2005
Om Swastyastu,
Hal yang paling penting dalam
mendidik anak adalah pendidikan agama dan budi pekerti. Jika kita telah
menanamkan kedua poros pendidikan ini maka kita akan memetik hasil
investasi citra diri di masa yang akan datang. Kita akan merasakan
kebahagiaan dan kedamaian di usia sore nanti. Betapa tidak, kita akan
melihat keberhasilan anak-anak sebagai anak yang suputra yang jelas tahu
dengan kewajiban sebagai anak, pewaris tahkta agama Hindu dan peduli
terhadap kedua orang tuanya.
Bagaimanapun juga anak merupakan
harapan setiap keluarga dan orang tua. Kita mendapat kesempatan memperoleh
karunia Tuhan Yang Maha Kuasa berupa kelahiran anak, tidak boleh disia siakan,
apalagi tidak memberikan pendidikan sama sekali. Dan jangan pula salah
langkah, mentang mentang secara lahiriah anak telah mendapat pendidikan di
sekolah elit dan mahal, kemudian kita tidak mengantarkan anak-anak ke dalam
lingkungan sekolah agam Hindu dan budi pekerti. Sungguh sia-sia pendidikan
seperti itu, karena pendidikan seperti itu akan menjadikan anak-anak penuh
berlogika dengan kaca mata phisik saja. Bisa jadi setelah besar dia akan
memberikan kita uang sesuai dengan kebutuhan tanpa ada sentuhan kasih
sayang kepada orang tuanya.
Sejak perkawinan ketika bayi
masih berada dalam kandungan seseorang istri, suami dan seluruh keluarga
mengharapkan lahirnya Putra yang suputra. “ Putra suputra sadhu gunawan
mamadangi kula wandhu wandhawa”, anak yang berbudi luhur, prilakunya baik,
bakatnya menonjol, menjadi terang keluarga dan masyarakat. Seorang anak
yang berbudi pekerti luhur disebutkan dapat mengangkat harkat dan martabat
orang tuanya dan seluruh keluarganya.
Secara kodrati, pendidikan anak
sangat mendapatkan perhatian dari ibu dan bapaknya, miskin sekalipun, kedua
orang tua ingin memberikan pendidikan sekolah yang terbaik. Dalam kitab
suci Weda dinyatakan anak yang berbudi pekerti dan seorang bapak yang penuh
pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kemanusiaan. Oleh karena itu
pendidikan terhadap anak, khususnya pendidikan bagi calon ibu atau seorang
anak wanita sangatlah mutlak.
Keberhasilan meniti karier,
profesionalismenya seorang anak tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan
pendidikan, khususnya pedidikan agama dan budhi pekerti yang diberikan oleh
orang tuanya. Keteladanan orang tua, motivasi dan kemampuan seorang anak
untuk mengembangkan karakter atau kepribadiannya sangat ditentukan oleh
keberhasilan menanmkan dan menumbuh-kembangkan pendidikan budhi pekerti
kepada anak.
Bagaimana melaksanakan
pendidikan budhi pekerti yang baik, diupayakan referensi, pengetahuan dan
pengalaman orang tua untuk memahami karakter anak, disamping keteladanan
orang tua, guru dan tokoh masyarakat, diperlukan juga suasana yang
menunjang untuk hal tersebut. Suasana tersebut dapat diciptakan dalam
keluarga, dalam lingkungan sekolah dan dalam lingkungan pergaulan di
masyarakat.
Demikian, semoga berguna.
Om Santih, Santih, Santih,
Om
|
|
Akur
|
|
|
|
|
|
oleh: Nengah Santa
(nengahsanta@yahoo.com), 25 Agustus 2005
Akur bisa dikatakan ada dua tipe yaitu akur ke dalam dan
akur ke luar. Akur ke dalam artinya bisa akur dengan Sang Jati Diri (atman)
yang selalu setia mendampingi setiap orang. Sedangkan akur ke luar adalah
akur dengan orang lain dan juga dengan lingkungan sekitar.
Kedua akur ini berhubungan erat.
Akur ke dalam bisa mempengaruhi akur ke luar. Demikian juga akur keluar
bisa mempengaruhi akur ke dalam. Namun kejadian ini tidak mutlak berlaku demikian.
Ada orang yang tidak akur di dalam, namun masih bisa menjaga keakuran di
luar. Demikian juga ada orang yang tidak akur diluar tapi masih bisa
mengendalikan akur di dalam.
Sepintas saya coba menelusuri
bagaimana prilaku hewan peliharaan terhadap kata “akur”. Coba diamati satu
contoh hewan peliharaan, kambing. Sejenak pikiran saya dikelabui oleh
prilakunya untuk mengatakan bahwa ada kemiripan prilaku hewan dan manusia
untuk kondisi akur. Kambing akan selalu berteriak (embek..yang lantang)
bertanda dia sudah tidak akur keluar. Ini bertanda kambing itu sudah berada
pada kondisi lapar. Teriakannya untuk minta makan kepada sang majikan yang
setia memeliharanya. Manusia juga kadang demikian. Jika sudah lapar yang di
dalam, maka cendrung untuk tidak akur ke luar, mungkin bisa di tuangkan
dalam bentuk marah misalnya.
Terkait dengan kata akur, di
pemerintahan Indonesia juga sama, mulai dari tingkat desa hingga ketingkat
pemerintah pusat. Prilakunya sering tidak akur untuk melayani masyarakat.
Akhirnya para preman dan pengusaha jika berhubugan dengan pemerintah selalu
berusaha meredam agar pemerintah tersebut selalu bisa akur sehingga
tujuannya bisa terpenuhi. Yang penting baginya semua lancar. Para preman
dan pengusaha sebagian besar melakukan dengan tiga cara. Pertama, mereka
kepalkan tangan kanannya , kemudian buka jempolnya bertanda mereka memuji
pemeritahan tersebut. ”Good!, Good!”, demikian mereka memuji sambil
mengeluarkan jempol kanannya. Ada sebagian orang yang duduk dipemerintahan
jika sudah diberi jurus pertama ini sudah langsung takluk. Untuk yang masih
tidak bisa ditaklukkan maka keluar jurus kedua. Setelah mengepalkan tangan,
membuka jempol ,kemudian dia buka jari telunjuknya dan jari telunjuk dan
jempol digesekkan. Jadinya berbunyi uang. Artinya mereka siap menyuap uang
agar bisa mengakurkan pemerintahan tersebut. Prilaku ini sedang banyak
bergentayangan. Preman dan pengusaha oke-oke saja asal apa tujuannya
terpenuhi. Ada juga pemerintah yang sudah dipuji dan disuap masih juga
tidak akur. Akhirnya para preman dan pengusaha mengeluarkan jurus
pamungkasnya dengan menggabungkan jempol, jari telunjuk dan jari tengah,
sehingga berbunyi kencan. Mereka bisa menyuguhkan cewek ataupun juga bisa
cowok (jika orang di pemerintah itu seorang cewek).
Semua prilaku diatas tidak bisa
disamakan terhadap semua manusia. Dan juga tidaklah mesti disimpulkan
demikian. Banyak juga orang menghadapi kondisi tidak akur. Orang ini
prilakunya biasa saja. Orang melihatnya seperti tidak ada masalah pada
dirinya. Kenapa orang ini bisa mengendalikan diri agar tetap akur? Ada
beberapa hal yang larut dalam pengamatan saya.
Pertama, mereka itu sudah terbiasa dengan kata prihatin.
Ini juga mempengaruhi untuk tetap akur ke dalam dan juga ke luar. Mereka
sudah biasa dengan hidup prihatin. Yang penting baginya bagaimana untuk
tetap menjaga kelangsungan hidupnya. Mereka sudah bisa bersyukur bisa makan
seadanya, minimal dia sudah bisa bertahan untuk hidup.
Yang kedua, mereka itu selalu lengket dengan kata syukur. Setiap
apa yang dilakukan, apa yang dihasilkan selalu berakhir dengan kata syukur.
Jadinya, mereka seolah-olah tidak pernah merasa kekurangan. Kalau sudah
tidak pernah merasa kekurangan sudah pasti akan bisa mengendalikan akur ke
dalam dan juga akur ke luar.
Yang ketiga adalah mereka itu sudah mulai bisa meminimalkan
terhadap kemelekatan duniawi. Saya tidak bisa mengatakan
terbebaskan. Dengan meminimalkan kemelekatan duniawinya, mereka bisa untuk
tetap stabil, tidak pernah terpengaruhi dan akhirnya tetap akur ke dalam
dan akur ke luar.
Ke empat, mereka bisa memandang bahwa manusia itu diciptakan
sama, hanya perannya yang berbeda. Yang penting baginya bagaimana
menjalankan peran tersebut dengan baik. Kalau sudah bisa menjalankan dengan
baik akan selalu bisa akur ke dalam dan juga akur ke luar. Walaupun mereka
sebagai seorang miskin misalnya, mereka tetap jalankan peran tersebut
sebagai orang miskin yang baik. Bagaimana mereka menjadi orang miskin yang
baik? Mereka tetap bekerja keras ,walaupun dengan hasil yang minimal.
Intinya ada yang dikerjakannya dilakukan dengan semangat dan tulus.
Demikian juga dengan peran orang kaya, mereka jalankan peran sebagai orang
kaya yang tidak serakah dan selalu mau membantu yang kekurangan.
Jika pemerintah dalam melayani
masyarakat menerapkan ke empat rumus diatas (prihatin, syukur, meminimalkan
kemelekatan duniawi dan menjalani peran dengan baik), maka pasti akan
akur-akur selalu dan siap melayani masyarakat yang membutuhkannya.
Janganlah lagi, pemeritah hanya mau akur jika diberikan jurus pujian, uang,
dan kencan. Semoga di pemeritahan ini terwujud pemerintahan yang bersih,
berwibawa dan sudah tentu akur-akur selalu!
|
|
Purnama dan Tilem
|
|
|
|
|
|
oleh: Wayan Catra Yasa
(catrayasa_wayan@id.beyonics.com) , 08 September 2005
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Coba perhatikan dan berikan
makna kitab Menawa Dharma Sastra V.109
Adhirgatrani
sudhyanthi
manah satyena sudhayanti
vidyatapobhyam bhutatma
budhir jnana sudhyanti
Artinya : Tubuh dibersihkan
dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan
pengetahuan (pelajaran suci dan tapa brata), kecerdasan dibersihkan dengan
kebijaksanaan dan pengetahuan yang benar.
Dari sloka di atas secara siklus
bahwa hari yang paling dekat perputarannya untuk intropeksi adalah Purnama
dan Tilem yang merupakan hari suci bagi umat Hindu, dan yang harus
disucikan dan dirayakan melalui penyucian diri, anyekung jnana sudha
nirmala dan dianjurkan juga melakukan sembahyang bersama di pura untuk
memohon Wara Nugraha dari Hyang Widhi.
Ketahuilah bahwa pada hari
Purnama adalah payogaan Hyang Candra sedangkan pada hari Tilem payogaan
Hyang Surya. Kedua duanya merupakan kekuatan suci dari Hyang Widhi dalam
manifestasinya sebagai pelebur segala mala atau kekotoran yang ada baik di
bhuana agung ataupun bhuana alit.
Kondisi bersih secara lahir
bathin di dalam kehidupan ini sangat perlu karena di dalam tubuh dan jiwa
yang bersih akan muncul pikiran, perkataan dan perbuatan yang bersih pula,
sehingga akan senantiasa tercapai kebahagiaan dan kedamaian, lebih-lebih
dalam hubungannya dengan pemujaan kepada Hyang Widhi, maka kebersihan
secara lahir bathin merupakan syarat mutlak.
Demikian semoga berguna.
Om Santih, Santih, Santih, Om,
Wayan Catra Yasa - Batam
|
|
Kadang Titik Lemah Itu Tidak
Tampak
|
|
|
|
|
|
oleh: Wayan Catra Yasa
(catrayasa_wayan@id.beyonics.com) , 26 Agustus 2005
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Bila kita bisa mengubah satu hal
saja tentang hidup untuk membuat hidup lebih baik, apa yang menjadi pilhan
kita, maka banyak rintangan yang kita temui, dan kendala yang paling berat
adalah bahwa kita tidak mengetahui titik lemah yang ada pada diri kita.
Rintangan itu mulai dari hal
yang sangat pribadi, rintangan tentang hubungan percintaan, kasih sayang
dengan istri, atau menjadi power sindrom tentang masa lalu kelabu dengan
mantan pacar. Terus berkembang dengan perjalanan karier, bagaimana hambatan
relasi dengan partner kerja, bawahan dan atasan kita.
Coba kita tanyakan kepada mereka
tentang kelemahan yang ada pada diri kita dalam kurun waktu tertentu,
jawaban apakah yang akan kita dengar dari mereka?
Percayalah, bahwa kita memiliki
sedikitnya satu titik lemah, suatu kekurangan, kegelisahan, atau kerentanan
yang membuat kita tetap kesandung, tetapi ini bukan patologi atau masalah
psikologi yang telah berakar dalam. Sebenarnya orang bersikeras
mempertahankan dirinya tidak memiliki titik lemah, atau satu bentuk semu
kemunafikan yang tersembunyi, bagaimana caranya titik lemah itu tidak ada.
Titik lemah yang tersembunyi bagaikan kotoran kuda yang nampak halus dan
licin, bagaimanapun halusnya sebuah kotoran, maka tetap saja bahwa jati
dirinya adalah sebuah onggokan sampah yang sudah bau.
Masih banyak orang beranggapan
bahwa titik lemah yang tersembunyi disamakan dengan bentuk kesempurnaan
sehingga tiada beda antara kelebihan yang dimilikinya. Dengan kemampuan
kita untuk membedakan dan mengetahui titik lemah maka akan menjadi
karakteristik yang secara terus menerus memasuki jalan kita untuk segera
berbenah.
Semua orang perlu menguasai ilmu
pengetahuan tentang Sri Krishna demi kepentingannya sendiri. Karena itu
apabila Sri Krishna bersabda tentang dirinya, itu mujur bagi seluruh
manusia di dunia. Orang jahat mungkin menganggap penjelasan seperti itu
dari Sri Krishna sendiri terlihat aneh, sebab mereka selalu mempelajari Sri
Krishna dari segi pandangan pribadi mereka.
Hampir semua orang belum pernah
mencoba psikoterapi atas titik lemah mereka, sekalipun kita telah menderita
beberapa kerentanan yang menghalangi persahabatan intim kita, karier kita
dan kepuasan spiritual pribadi. Menemukan atau mencari titik lemah akan
menjadikan kita sebuah awal dari perubahan kelemahan menjadi kekuatan.
Titik lemah mengacu kepada
bagian diri kita yang merupakan hambatan kita paling besar dan tantangan
paling besar yang harus kita berikan solusi penyelesaian dan memberikan
pemaknaan kepadanya. Bisa belajar menerima dan belajar dari titik lemah
kita, maka hal itu bisa merupakan sumber tenaga, suatu perangsang pada
pertumbuhan energi kita, bagian yang esensial dari kemanusiaan.
Demikian semoga berguna.
Om Santih, Santih, Santih, Om,
Wayan Catra Yasa - Batam
|
|
Orang Besar
|
|
|
|
|
|
oleh: Nengah Santa
(nengahsanta@yahoo.com), 26 Agustus 2005
Ada yang menyebut dirinya orang
besar. Karena sekarang merasa dirinya sudah besar. Besar dari segi umur.
Mereka mengira sudah bisa melakukan semuanya. Masukan dari orang lain
dicampakkan begitu saja. Tetangga berteriak dibiarkan meraung-raung. Kenapa
sampai begini? Karena dia sudah melihat dirinya sudah besar, sepertinya yang
diluar nampak jadi kecil.
Begitulah sekelumit kisah orang
yang mengaku sudah besar. Benarkah mereka sudah besar? Apakah orang besar
yang sebenarnya diharapkan oleh kebanyakan orang?
Orang besar tapi sudah salah
kaprah. Dia sudah menutupi wajahnya dengan penuh kebohongan. Karena sudah
ditutupi, maka yang diluar akhirnya dilihat gelap gulita. Diluar tidak ada
yang benar menurutnya. Dia akhirnya membabi buta. Segala hal dilakukan
sesukanya. Teriakkan orang lain tidak dihiraukan. Bahkan teriakan dari
dalam dirinya pun ditanam begitu saja. Dibiarkan bungkam dengan dengan
sekelumit kebohongan. Seperti srigala yang siap menerkam lawannya, hak
orang lain pun dirampasnya.
Tidak akan pernah ada yang bisa
menyadarkannya; kecuali dari dalam dirinya. Satu-satunya kesempatan yang
ada adalah saat orang besar tadi mengalami keterpurukan. Hanya yang ini
diharapkan untuk melepaskan segala selimut kebohongan yang menutupinya,
menghanguskan segala nafsu serakahnya dan membiarkan dia kembali berangkat
dari awal.
Saatnya sekarang dia lahir yang
kedua kali nya selama hidup ini. Dia kubur jauh-jauh segala kekeliruan yang
dilakukan. Mulailah dia menghadap sang jati diri yang tertanam di dalam
diri. Dengan duduk bersila, dia memanggilnya dengan suara gayatri.
Ya bangkit, bangkitlah! Sang
Jati Diri telah terbangun setelah ditidurkan dengan selimut kebohongan.
Dengan duduk bersila, dia menghadap Sang Jati Diri, memohon ampun atas
segala kekeliruannya yang telah berakhir dengan penderitaan.
Sang Jati diri meraba dan
menatapnya, sambil berkata:” Kamu bisa menjadi orang besar yang sebenarnya,
asal kamu bisa membuang kekeliruan mengartikan orang besar selama ini.
Orang besar belum tentu orang sekolahan. Orang besar belum tentu orang
berumur. Orang besar adalah orang yang bisa berjiwa besar.”
Dia terperangap mendengar
penuturan Sang Jati Diri. Sepertinya dia baru tahu apa yang dilakukannya
sudah keliru. Dia menyadari tidak mau terulang kekeliruan lagi. Maka dia
pun mempertanyakan lagi kepada Sang Jati Diri:” Apa yang saya lakukan agar
bisa berjiwa besar untuk tidak keliru yang kesekian kalinya?”
“Mulailah terbuka dengan orang
lain untuk mau menerima saran orang lain. Karena sebenarnya orang lain
telah menyadarkan dirimu agar tidak terjerumus kedalam lubang kehancuran.
Gunakanlah selimut kejujuran agar bisa menghangatkan Sang Jati Diri.
Belajarnya untuk selalu bertanggung jawab terhadap segala perbuatan yang
dilakukan. Sadari segala resiko yang akan terjadi agar tidak terjebak pada
ranjau penderitaan. Selalu belajar lebih peka terhadap diri sendiri,
keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dan selalulah ingat untuk menghadap
kepadaKu”, demikian Sang Jati Diri menasehatinya.
Setelah mendengar nasehat
tersebut, raut mukanya sekejap berubah bertanda dia segera bangkit kembali.
Nampak sinar dari raut mukanya. Dia pandang jauh ke depan, seperti ada
jalan yang telah menuntunnya. “Terima kasih, terima kasih”, ucapnya dalam
hati.
|
|
Siapa Takut ?
|
|
|
|
|
|
oleh: Nengah Santa
(nengahsanta@yahoo.com), 26 Agustus 2005
“Siapa takut?” telah menjadi
ungkapan yang memasyarakat berkat tayangan telivisi yang menyiarkan iklan
samphoo. Ini berimbas sampai ke anak-anak; jika ada yang menakut-nakuti,
dengan cepat mereka akan bilang: “siapa takut?”.
Kepada para orang tua, jangan dibiasakan
menakut-nakuti anak, karena akan merusak mentalnya. Biarkan mereka
berkembang untuk menumbuhkan keberaniannya. Rasa takut harus dilenyapkan
dengan melatih keberanian. Keberanian yang tumbuh akan mendorong keyakinan
diri. Keyakinan diri yang baik akan membentuknya menjadi seorang yang
mandiri dan kelak setelah dewasa akan menjadi modal yang baik untuk
bersaing dengan masyarakat global.
Dalam Yajurweda VI.35 sangat
jelas dituliskan:
Ma bher ma samvikthah, urjam dhatsva.
“Wahai umat manusia, janganlah takut ataupun gentar, beranilah”
Ketakutan akan muncul didalam
diri karena dirinya terasa kosong. Badannya seperti berjalan sendiri tanpa
ada yang menuntun dan melindunginya. Kekosongan dalam dirinya akan timbul
karena telah menjauhkan dirinya dari Sang Aku yang bersemayam didalam diri.
Oleh karenanya, selalulah ingat
kepada Sang Aku (atman) yang selalu setia melindungi kita kemana dan dimana
kita berada. Atman sering disebut suksma sarira, badan halus manusia yang
berasal dari Paratman atau Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Atman ini
mempunyai kekuatan menghidupkan semua makhluk dan memiliki sifat dapat
mengenal, memiliki kemauan dan dapat bereaksi.
Itulah Taksu di dalam
diri yang harus dibangkitkan dengan selalu melantunkan doa Gayatri Mantra
secara rutin minimal dua kali sehari. Bahkan setiap saat jika sedang
menghadapi sesuatu cukup melantumkan doa Gayatri Mantra tersebut untuk
memohon perlindungan dan bimbingannya.
|
|
Manfaat Bermental Positif
|
|
|
|
|
|
oleh: Wayan Catra Yasa
(ecatrayasa_wayan@id.beyonics.com) , 02 Agustus 2005
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Kadang dalam kehidupan ini kita
menemui kesulitan untuk membedakan mana yang disebut dengan mental negatif
atau mana juga yang disebut dengan sikap mental positif. Keduanya ada dalam
sikap dan tingkah laku kita sehari-hari. Hanya sedikit dari kita mampu
untuk menanamkan sifat mental positif meskipun dalam situasi yang sangat
sulit, mereka itu adalah orang orang yang telah mampu menciptakan konsep
keseimbangan dalam dirinya.
Tuntunan ajaran Hindu sangat
sarat dan penuh makna dengan konsep keseimbangan, untuk itu terapkanlah
ajaran itu dalam kehidupan sehari hari, jangan pernah berpaling akibat
bujuk rayu dan jaminan masuk sorga oleh orang lain, atau tenggelam dalam
dunia materi sesaat.
Setiap situasi harus dihadapi,
dan kita harus memberikan nilai kontribusi berupa reaksi terhadap suatu
situasi. Perlu disadari bahwa situasi itu adalah ciptaan Tuhan dan
merupakan suatu kenyataan yang harus dihadapi. Apakah hasilnya positif,
netral, atau negatif, tergantung pada reaksi kita. Di sinilah ada
kesempatan untuk menunjukan bahwa kita berada dalam jalan dharma, jangan
terkontaminasi pada iklan yang ditimbulkan oleh pikiran atau adanya
kontaminasi pengaruh dari luar.
Sikap mental kita akan
menentukan reaksi kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi. Kita
bertindak mendukung atau tidak mendukung, konstruktif atau destruktif,
positif atau negatif, semuanya ditentukan oleh sikap mental atau attidute
kita. Percayalah bahwa sikap mental yang kita tunjukan akan menentukan
keberhasilan kita.
Umat manusia yang berpikir
positif selain dinamakan sebagai orang yang bermental positif atau positif
thingking, juga dinamakan kelompok orang yang optimis dalam menjalani
kehidupannya. Pemikiran yang positif akan mendorong orang menggunakan
kemampuannya dan membuat kegiatan usahanya lebih produktif. Secara
empirisme dan sejarah telah membuktikan, bahwa tidak orang yang sukses
kalau tidak bermental positif. Setiap orang sukses pasti selalu bersikap
mental positif.
Hidup in hanya masalah pilihan
saja, bila kita memilih untuk bersikap mental positif selamanya, maka hidup
kita akan lebih sehat, lebih awet muda, lebih panjang umur, lebih makmur,
lebih sukses, dan lebih bahagia penuh damai daripada kita memilih untuk
bersikap mental negatif.
Dengan bersikap mental positif,
kita akan percaya dengan apa yang sedang kita kerjakan dan kemampuan kita
secara realitis, sehingga membuat kita menjadi berhasil dalam mewujudkan
sasaran-sasaran, tujuan-tujuan dan misi kehidupan kita sebagai manusia.
Demikian semoga berguna.
Om Santih, Santih, Santih, Om,
Wayan Catra Yasa - Batam
|
|
Menanam Benih Kejujuran
|
|
|
|
|
|
oleh: Nengah Santa
(nengahsanta@yahoo.com), 20 Agustus 2005
Suatu ketika diadakan sebuah
lomba menggambar di sebuah sekolah minggu. Perlombaan ini merupakan
perwakilan dari masing–masing 5 wilayah yang ada. Sebutlah nama anak
tersebut yang berhak mewakili masing-masing wilayahnya: Bejo, Kaler, Putri,
Diah dan Pandu. Tidak tanggung-tanggung, perlombaan kali ini memperebutkan
juara satu saja dan berhak untuk menginap bersama orang tuannya di sebuah
hotel berbintang. Hadiahnya dipersembahkan oleh sebuah lembaga pengembangan
anak international. Anak cukup menggambar sebuah pemandangan di rumah
masing-masing dan kemudian diserahkan ke panitia lomba.
Karuan saja, iming-iming hadiah
tersebut membuat orang tua anak tersebut berkeinginan memenangkan hadiah
yang disediakan. ”Sini Nak Putri, biar Papa yang membuatkan gambar
pemandangan! Papa akan buatkan gambar pemandangan yang paling bagus, agar bisa
juara! Kalo juara kan bisa nginap sekeluarga di hotel berbintang tersebut.
Ini kesempatan, jangan disia-siakan. Bayangkan, seumur-umur papa ngak
bakalan bisa ke hotel berbintang tersebut. Gaji papa ngak cukup disisihkan
untuk menginap di hotel berbintang yang sangat mahal tersebut” Ujar orang
tua Putri meyakinkan anaknya. Putri hanya terdiam, dan hanya bisa menuruti
kehendak orang tuanya. Pencil, pewarna dan kertas gambar yang telah
disiapkan diserahkan ke orang tuanya.
Tiba pada hari pengumpulan
gambar, sekaligus pengumuman dan penilaian gambarnya. Kelima gambar yang
tampil memberi corak yang berbeda. Nampak gambar Putri yang paling bagus;
gambar yang paling jelek adalah gambar Bejo. Gambarnya sangat polos, sesuai
dengan bakatnya. Tim juri menetapkan kepada Putri sebagai pemenang dan
berhak untuk menikmati hadiah yang diraihnya, menginap di hotel berbintang
bersama orang tuanya. Orang tua Kaler, Diah dan Pandu tidak puas; mereka
mengeluhkan, kenapa Putri sebagai pemenang. “Mana mungkin seorang Putri baru
kelas satu SD bisa menggambar seindah itu”, Keluh mereka. Protes mereka
tidak dihiraukan oleh panitia, karena kriterianya saat itu ditekankan
kepada keindahan. Tidak ada kriteria lainnya.
Tahun berikutnya,
diselenggarakan lomba yang sama. Ketiga orang tua yang tidak puas tersebut,
ingin anaknya bisa sebagai pemenang. Orang tuanya pun ikut terlibat
membantu menggambar, karena tidak mau kecolongan seperti gambar Putri.
Bahkan salah satu orang tua tersebut menyuruh ke tukang gambar untuk
mendapatkan gambar yang paling bagus. Bejo tak mau ketinggalan untuk merayu
orang tuanya. ”Pak, buatkan gambar buat Bejo, biar Bagus, seperti gambar
Putri dulu. Kalo menang kan bisa sama-sama nginap di hotel berbintang!”
Bapak Bejo terdiam, dan hanya menyuruh kepada Bejo yang menggambar. Bejo
pun tidak bisa berbuat apa-apa, dan hanya menggambar sesuai dengan
kemampuannya. Bapak Bejo hanya mengawasi dari kejauhan sambil baca koran.
Semua gambar sudah siap
dikumpulkan. Juri mulai menyeleksi satu per satu. Terpilih kemudian, gambar
Bejo yang menjadi pemenang. Kali ini ke empat orang tua murid lainnya
protes.” Kenapa kok gambar Bejo yang juara? Gambar jelek kok bisa menjadi
juara?”, Demikian keluh mereka. Protes mereka tidak dihiraukan lagi oleh
panitia, karena kriterianya saat ini sudah dirubah dan ditekankan kepada
kejujuran. Tidak ada kriteria lainnya.
Menanam benih kejujuran harus
dilakukan dalam praktek kehidupan sehari-hari dan dilakukan sejak dini.
Orang tua yang terbiasa menanam benih kebohongan kepada anaknya, maka
setelah besar akan membuahkan buah kepalsuan, baik itu dalam bentuk korupsi
atau pun kejahatan lainnya. Jadi untuk membentuk generasi mendatang yang
tangguh dan bermoral, harus melalui benih yang bagus. Salah satunya benih
kejujuran!
|
|
Menerapkan Kesadaran Spiritual
dengan Model Quality Manajemen System
|
|
|
|
|
|
oleh: Si Putu Sumardhaya (email
ada di redaksi) , 17 Juni 2005
Tingkat kesuksesan kalau diukur
dari pemahaman para dharma sangat mudah kita tetapkan. Dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, dengan bisa memiliki mobil hari ini, kita mengatakan diri
kita sukes. Diangkat menjadi Superintendent dari seorang supervisor kita
menjadi bangga bahwa kita suskes dalam dunia karir. Memiliki rumah mewah
setelah pindah dari rumah RS, mungkin kita mengatakan kita adalah istri
atau suami idaman. Demikian juga dengan kesuksesan kesuksesan yang lain,
yang begitu membuat kita terkesan. Kita bangga, kita kagum dan senang
dengan kesuksesan tersebut karena ada pengakuan yang bisa diukur, dilihat
dan dirasakan oleh orang lain.
Kalau kita berjalan di jalan
dharma, jalan penuh keheningan yang mungkin hanya Sang Diri saja yang dapat
merasakannnya. Bisakah kita menjawab seberapa sukseskah kita dalam
kehidupan spiritual kita. Karena topik ini hanya ada dalam dunia
keheningan, pertanyaan ini akan sangat sulit dijawab. Sebagian dari kita
tidak akan memusingkannya karena mungkin topic ini tidak penting. Tapi bagi
teman teman yang tekun menjalani Dunia spiritual, tingkatan spiritual akan
menjadi suatu yang penting. Penting karena memang bukan untuk dibanggakan,
bukan untuk dipamerkan, tetapi tingkatan itu penting karena merupakan
tingkatan sejauh mana sang diri bisa menerjemahkan diri ke dalam gambaran
utuh yang bernama Atman.
Bagaimanakah agar kita dapat
merasakan kesadaran spiritual kita tersebut? Kuncinya adalah kita mesti
belajar memiliki Sistem spiritual yang merupakan sistem yang menyeluruh dan
selalu menuju kesadaran Braman itu sendiri. Dikatakan utuh karena kita
harus memiliki kesadaran yang Fokus akan brahman, menjadikan sang Atman
sebagai pengetahuan, Jalan Spiritual sebagai Media dan Meditasi sebagai
alat evaluasi diri.
1.Kesadaran
yang Berfokus Kepada Brahman
Pada tahap ini, seseorang yang mengembangkan kecerdasan spiritualnya harus
mempunyai visi dengan fokus pada pelanggan dengan bahasa spiritual
dinamakan Brahman. Penyebutan bahasa tidak akan masalah sepanjang sentral
pikiran kita adalah Sang Pencipta itu sendiri. Kalau kecerdasan spiritual
kita telah difokuskan pada Brahman ini, maka bentuklah sebuah rangkaian
kata-kata apa yang mesti kita lakukan dengan pelanggan kita yang bernama
Brahman.
Visi ini akan ditentukan oleh
pengetahuan empiris kita selama ini. Sebagian yang baru pada tingkatan
Anumana Pramana bisa mengembangkan Visi: “Mengetahui arti dan makna Brahman
dengan mempelajari kitab suci Weda”. Bagi yang sudah sampai pada tingkatan
pratyaksa pramana mungkin visinya adalah: “Membangkinkan Kesadaran diri
untuk dapat meilhat sang Brahman”.
Jadi apapun visi tersebut,
sepanjang didasari oleh kesadaran Brahman atau bukan dilandasi oleh Para
Dharma, adalah bersifat positif. Bisa saja visi tersebut ditulis dalam
bahasa yang singkat seperti “Menjadi Pelayan sesama yang baik”. Berikanlah
sebagian kecerdasan pikiran kita untuk memikirkan hal-hal yang bukan
dilandasi oleh para Dharma.
Setelah memiliki visi spiritual,
pertanyaan selanjutnya adalah: Kapankah hal tersebut akan dicapai? Aduh,
pertanyaannya menjadi semakin sulit. Disinilah sulitnya dan titik kritisnya
kalau kita mau mengukur tingkat spiritual kita. Bagi yang mempunyai
keberanian spritual akan sangat mudah menetapkan visi tersebut. Katakanlah
visi yang sederhana: “Saya tidak akan berbohong di tahun 2005” atau lebih
sederhana lagi: “Saya tidak akan marah di tahun 2005”.
Jadi diperlukan keberanian
spiritual untuk menetapkan target spiritual kita. Mungkinkah? Jawabnya
sangat mungkin sekali karena kesadaran tersebut sebenarnya sudah melekat
pada sang diri. Yang sulit adalah melatih dan mengembangkan kesadaran
tersebut. Debu-debu kegelapanlah yang menutupinya sehingga kita dibutakan
olehnya. Bahwa sebenarnya ada sinar ilahi dari Hyang Widhi yang mengalir
dalam Sang Diri namun tidak tampak karena kegelapan itu sendiri. Kebodohan
kita selama inilah yang kita banggakan. Bukankan kegelapan dan kebodohan
tersebut menjadi ganjalan dalam keseimbangan jiwa kita ? Bila ya kenapa
mesti dipertahankan? Jadi menetapkan visi, objektif dan target spiritual
kita sangatlah menguntungkan bukan?
Mudah-mudahan di awal tahun Caka
kemarin banyak diantara kita yang sudah menetapkan visi, misi, objektif dan
target spiritualnya di tahun ini. Apabila ada, maka mudah-mudahan tidak
lupa dan diingatkan oleh tulisan ini. Bagi teman-teman yang berjalan di dunia
kejernihan, semoga tulisan ini menjadi system yang menarik untuk awal
menentukan tingkat spiritual kita.
Jadi, apa visi, misi, objektif
dan target spiritual anda hari ini ?
(Bersambung)
|
|
Sebutan Nama Tuhan Banyak, Bukan
Tuhan yang Banyak
|
|
|
|
|
|
oleh: Wayan Catra Yasa
(catrayasa_wayan@id.beyonics.com) , 20 Mei 2005
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Selentingan bahwa Hindu
menyembah banyak Tuhan bagi orang awam harus dijelaskan sesuai dengan
kehidupan sehari hari. Orang selalu memojokan Hindu ke dalam hal yang
bernada negatif ketimbang yang positifnya. Mari kita coba jelaskan
Sebut saja seseorang yang
bernama pak Jaka. Jabatan dalam pemerintahan adalah seorang Direktur, oleh
karena itu semua pegawai bawahannya memanggil dengan sebutan Pak Direktur,
tetapi Pak Jaka ini juga menjadi rektor di sebuah Perguruan Tinggi,
sehingga semua mahasiswanya memanggilnya dengan nama Pak Rektor, disamping
itu sebagai manusia yang wajar, Pak Jaka juga sebagai seorang suami yang
baik karena dia punya istri dan anak. Si istri memanggilnya dengan sebutan
papa, sedangkan anak-anaknya memanggil ayah.
Dengan demikian Pak Jaka
mempunyai banyak nama, setiap nama yang dipakainya itu benar dalam kaitan
dengan fungsinya masing-masing. Dalam fungsinya sebagai pemimpin
Universitas, nama Rektor itu benar, tetapi anak anaknya sendiri tak pernah
memanggil dengan sebuatan Rektor. Apakah nama yang banyak ini berarti bahwa
orangnya juga banyak? Ternyata orangnya itu hanya satu yaitu Pak Jaka
sendiri.
Jadi nama ini erat kaitannya
dengan fungsi atau tugas. Demikian pulalah Tuhan/Hyang Widhi, beliau
disebut Brahma pada waktu menciptakan alam semesta dengan segala isinya.
Beliau disebut Wisnu pada waktu beliau memelihara semua ciptaanNya dengan
penuh cinta kasih, dan begitu pula beliau disebut Siwa pada waktu
mengembalikan segala ciptaan beliau itu ke asalnya.
Pak Jaka memang tidak sama
dengan Tuhan, namun dalam ilustrasi di atas, jelas Hindu bukan menyembah
banyak Tuhan, tetapi hanya satu Tuhan yang patut disembah, orang -orang
bijaksana menyebut dengan banyak nama.
Demikian, semoga berguna
Namaste
|
|
Keagungan Aksara "OM"
|
|
|
|
|
oleh: Wayan Catra Yasa
(catrayasa_wayan@id.beyonics.com) , 20 Mei 2005
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Bagi umat Hindu, aksara ini
tidak asing dan selalu digunakan untuk memulai apakah itu salam
sehari-hari, sembahyang, berdoa, yoga dan meditasi serta kegiatan
spiritual. Mengapa Om selalu dipakai mendahului semua di atas?
Jawabannya adalah aksara OM
merupakan Pranawa Mantra. Om adalah asal mula penciptaan, Om adalah
Primeval sound, berdasarkan seluruh hirarki ciptaan Tuhan yang tersusun
rapi.
Om merupakan bija Mantra atau
Bija Suara Spiritual. Dalam keadaan hidup sehari hari, kita mengekspresikan
perhatian kita dengan berfokus pada niat atau kehendak. Dalam menjalani
kehidupan spiritualtas, kita bermeditasi dengan berfokus pada mata ketiga
yang terletak di atas dari titik diantara kedua alis mata. Titik energi ini
dinamakan ajna cakra. Dan titik ini adalah lokasi dari Bija Mantra : OM (
A......... U...............M)
Tat kala kita mengucapkan Bhargo
Devasya .........., kita sebenarnya melakukan invokal spiritual ,
mengundang kehadiran semua makhluk yang telah mencapai pencerahan atau yang
telah memakai nada yoga OM ini. Kita memohon dengan sangat seluruh kekuatan
kesadaran yang bermanifestasi di Jagad Raya semesta untuk membantu kita
dalam perjalanan untuk mendapatkan pencerahan spiritual.
Ada tingkatan-tingkatan
pencerahan yang diwakili oleh daerah jangkauan uang individual. Sekarang
kita minta bantuan mereka dalam pencapaian tujuan yang maha tinggi ini.
Demikian, semoga berguna
Namaste
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar