Kamis, 06 Desember 2012

kumpulan dharma wacana


ika Pekerjaan Dihubungkan Dengan Tuhan


Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Melalui latihan rohani, terutama penelitian tentang batin kita akan dapat menyadari dan menikmati sifat Tuhan yang selalu ada dalam hati nurani kita. Kerinduan untuk memperoleh pencerahan pengetahuan suci ini, untuk menghayati Hyang Widhi Wasa dalam keberagaman. Hal ini dinyatakan dalam sebuah doa yang terdapat dalam Upanisad yaitu : Abaikan peringatan
Om Asatoma Sadgamaya
Tamasoma jyothir ga maya
Mrtyorma amritam gamaya
"Tuntunlah kami dari yang palsu ke yang sejati
Tuntunlah kami dari yang gelap ke yang terang
Tuntunlah kami dari kematian ke kekalan."
Nilai berbagai obyek di dunia didasarkan pada tempat yang di duduki . Pekerjaan apapun yang kita lakukan, jika kita kerjakan demi Tuhan dan kita persembahkan kepada Tuhan, maka pekerjaan itu mempunyai nilai yang sangat tinggi. Dengan menghubungkan pekerjaan ini dengan Tuhan, ia menjadi suci dan mempunyai kemampuan yang besar.
Kita bisa mengerti hal ini dari contoh berikut. Jika kita melihat seekor tikus dalam rumah, kita akan mengambil tongkat dan mencoba membunuhnya. Kita merasa jijik melihat tikus. Akan tetapi menurut kepercayaan, tikus adalah kendaraan Dewa Ganesa. Bila kita menganggapnya demikian, kita akan menghormati sebagai wahana yang suci untuk Dewa. Apakah alasannya? Nilai yang tinggi yang didapat oleh tikus sebagai kendaraan Dewa Ganesa ialah karena ia dihubungkan dengan suatu perwujudan ketuhanan.
Begitu pula jika kita melihat ular, mungkin kita merasa takut lalu mengambil tongkat untuk mengusirnya. Atau mungkin kita mencari pawang ular untuk menangkapnya. Namun, kalau ular itu melingkar di leher Dewa Siwa, kita menyembahnya dan memberi penghormatan kepadanya. Apakah alasannya? Alasannya ialah ular itu telah mempersembahkan dirinya kepada Siwa dan mengabdi kepada-Nya. Karena itu ia menjadi suci seperti Siwa. Walaupun ia seekor ular yang berbisa, karena ia mempersembahkan dirinya kepada Tuhan, ia memperoleh keharuman dan kemuliaan.
Semoga berguna,
Om Santih, Santih, Santih, Om



Tiga Jenis Pandangan
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia, Siapa yang mempunyai kesadaran penuh dan mengembangkan wiwekanya, tidak akan mengalami penderitaan dan tidak akan dihinggapi rasa takut. Hanya orang yang mempunyai keterikatan kepada badan dan benda akan mengalami rasa takut dan penderitaan. Karena itu, Khrishna menyuruh Arjuna mengembangkan pandangan yang menyeluruh.
Pandangan yang menyeluruh ini diistilahkan dengan kata sudarshana yang berarti pandangan yang baik. Dewasa ini manusia mempunyai tiga jenis pandangan. Yang Pertama adalah pandangan yang berorientasi lahiriah. Pandangan ini dangkal, orang semacam ini hanya melihat penampilan luar orang lain seperti pakaian dan perhiasan yang dipakai, roman muka, ukuran tubuh dan ciri-cirinya, kekhasan suara dan sebagainya. Pandangan ini semata-mata berorientasi pada dunia yang kasat mata.
Pandangan yang kedua adalah pandangan bathin. Pandangan ini tidak melihat ciri-ciri luar orang lain. Orang yang mempunyai padangan bathin ini melihat tingkah laku orang lain dari pencerminan sikap, tabiat, tindak tanduk, dan ekspresinya. Karena itu orang yang mempunyai pandangan bathin berusaha mengetahui perasaan yang timbul dari hati seseorang dan buah pikirannya,sebagaimana tercermin dari apa yang dikatakan dan dilakukannya. Dengan kata lain, orang yang berorientasikan bathin melihat gejala lahiriah yang mencerminkan keadaan bathin. Sikap orang yang berpandangan demikian yaitu ia selalu berbicara dan bertindak menurut perasaan dan pikirannya.
Pandangan yang ketiga adalah pandangan atma. Orang yang mempunyai pandangan atma tidak membatasi persepsinya hanya pada penampilan lahiriah orang lain, atau pada perasaan seperti yang tercermin pada perbuatan dan ekspresinya, namun orang tipe ketiga ini telah mengembangkan pandangan yang terpadu. Ia melihat kemanunggalan bathin, kesadaran Tuhan yang ada pada setiap manusia, walaupun ada perbedaan fisik dan perbedaan tingkah laku semuanya mengalami perubahan dan pergantian. Karena itu, orang dengan pandangan atma tidak tertarik atau merasa senang atau tidak senang pada wujud fisik atau expresi orang lain. Pandangannya terpusat sepenuhnya kepada Tuhan sebagai penghuni tubuh. Ini merupakan pandangan yang suci.
Orang yang mempunyai persepsi yang utuh seperti itu menjadi alat Tuhan. Bukan saja ia menjadi alat Tuhan, tetapi sesungguhnya ia merupakan perwujudan dan personifikasi Tuhan sendiri. Kata Upanisad orang yang menyadari Brahman menjadi Brahman. Karena itu orang yang mempunyai pandangan demikian suci mempunyai sifat keTuhanan. Manusia akan menjadi seperti apa yang dilihat atau dibayangkannya. Untuk menjadi orang stithiprajna, orang yang mempunyai kebijaksanaan tertinggi, kita harus mengembangkan pandangan yang terpadu atau sudarshana dan terus menerus merenungkan ke Esaan diri sejati yang berada dalam segala keanekaragaman lahiriah. Karena itu, Krishna memerintah Arjuna agar selalu mengarahkan pandangannya kepada atma dan memegang Teguh pandangan yang utuh itu dalam keadaan apa pun.
Satyam Evam Jayathe,
Om Santih, Santih, Santih, Om

Dharma Sebagai Poros Pengendali

oleh: Wayan Catra Yasa (wayan@id.beyonics.com), 26 Desember 2005
Om Swastyastu,
Dharma sebagai tujuan hidup yang utama dan mengabdi terhadap sesama makhluk dan beramal-kebaikan untuk kesejahteraan serta menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, maka orang itu akan mendapat Wara Nugraha yang berlimpah dari Hyang Widhi yakni kebahagiaan dan atma itu bila menjelma kembali akan menikmati kebahagiaan hidup di dunia. Oleh sebab itu Hindu menekankan hendaknya berlaku tidak menyimpang dari tuntunan dharma. Karena akibat perbuatan jahat akan menerima hukuman yang sangat berat dari suatu pengadilan yang tidak nampak yang berkuasa menenggelamkan manusia yang jahat ke dalam kawah candra dimuka atau neraka.
Di dalam Vrshaspati Tattva, 25 dinyatakan tentang “Sila" yang artinya perbuatan baik dan "Yajnya" yang artinya melakukan pemujaan api. Disebutkan juga tentang "Tapa" yang berarti melakukan tapa brata, tentang "Anasika Bhiksu" yang artinya seseorang harus didiksa, dan "Yoga" adalah melakukan meditasi.
  • Sila menekankan hendaknya setiap manusia melakukan perbuatan yang baik yaitu perbuatan mulai yang tidak merugikan masyarakat, berusahalah agar masyarakat menjadi bahagia.
  • Yajnya menuntun orang untuk melaksanakan pemujaan api untuk memohon kepada Hyang Widhi yang bergelar Dewa Agni dengan harapan agar beliau menuntun dan memberikan penerangan kepada umat manusia, sehingga terhindar dari perbuatan jahat.
  • Tapa menuntun umat manusia agar mampu mengendalikan diri dari perbuatan perbuatan jahat yang muncul dari sufat rajas yakni pengaruh yang berasal dari diri manusia, sehingga kita tetap berada dijalan dharma.
  • Anasaka bhiksu menuntun umat manusia hendaknya mengikuti prilaku orang suci yaitu yang tiada mudah terpengaruh harta benda, kesenangan-kesenangan dunia yang ke semuanya itu didapat dengan jalan yang benar sesuai dengan ajaran dharma.
  • Yoga, menuntun umat manusia memiliki konsep konsep tertentu di dalam melakukan langkah-langkah perbuatan sehingga dengan memiliki konsep yang pasti maka pengaruh-pengaruh yang jahat, sulit mempengaruhi orang tersebut dan orang tersebut akan dapat menuju jalan dharma.
Setiap orang menginginkan hidupnya berarti dan lebih bermakna, hendaknya harus berpegang teguh pada dharma. Walaupun hidupnya nampak sederhana, namun mereka memiliki jiwa yang tenang dan penuh bahagia. Bagi mereka yang tiada memiliki prinsip hidup Dharma, maka mereka mudah digoyangkan oleh perbuatan-perbuatan Adharma. Walaupun mereka memiliki harta benda yang berlebihan, namun hatinya penuh dengan penderitaan yang mengancam dirinya karena mereka selalu merasa was-was, yang disebabkan seringnya mereka melakukan perbuatan yang kurang baik terhadap masyarakat dan lingkungannya.
Semua perbuatan yang dilakukan oleh seseorang di dunia akan melekat pada pikiran, dan setelah manusia meninggal, maka yang hancur hanyalah badan kasar, akan tetapi alam pikiran atau Citta yang terdiri dari Budhi, Manah, Ahamkara, Panca Kamendrya dan Panca Jnanendrya dan dibungkus oleh Panca Tanmatra serta diberikan kekuatan hidup oleh atman, maka akan muncul Suksme Sarira atau badan astral. Pada Suksma Sarira inilah segala bekas–bekas perbuatan yang dilakukan semasa hidup akan melekat dan disebut Karma Wasana. Perbuatan yang terdapat dalam Karma Wasana dibagi menjadi dua bagian yakni Subha Karma dan Asubha Karma. Perbuatan Subha Karma membawa atman ke alam sorga, sedangkan perbuatan Asubha Karma akan membawa atman ke alam neraka.
Hindu menghendaki agar umatnya dapat bebas dari belenggu kesengsaraan sehingga mereka memperoleh kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut dengan moksa. Untuk itulah para maha bijaksana, para Maha Rsi manyajikan ajaran dharma agar umatnya melakukan ajaran dharma dengan harapan untuk dapat hidup dengan tentram dan bahagia.
Demikian, semoga berguna.
Om Santih, Santih, Santih, Om
Svastyastu,
Om Avighnam Astu Namo Siddham
Om Anno Bhadrah Krattavo Yantu Visvattah
Sebelumnya, marilah kita sama-sama menghaturkan sembah sujud bhakti kita kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang maha Esa), karena atas Asung Krta Wara Nugraha Beliaulah kita dapat berkumpul bersama-sama dalam acara rutin kita ini dengan tiada kekurangan satu apapun.
Sebelum lebih jauh Bapak berbicara, terlebih dahulu Bapak akan menyampaikan tema dharma wacana yang akan Bapak sampaikan. Adapun tema dharma wacana kali ini adalah “Kewajiban Sisya dalam masa Brahmacari”. Tema ini sengaja Bapak angkat, mengingat dan melihat fakta-fakta dilapangan, banyak sekali siswa-siswa Hindu yang memiliki perilaku dan sikap yang menyimpang dari ajaran-ajran yang ada dalam agama Hindu. Ini menunjukan bahwa betapa lemahnya iman dan sraddha siswa terhadap agama dan kepercayaan yang dianut. Dari permasalahan ini, maka akan timbul pertanyaan-pertanyaan semisal, “Kenapa masalah ini timbul? Siapakah yang bertanggung jawab dalam masalah ini? Mengapa sraddha siswa begitu lemah sehingga muncul permasalahan-permasalahan tersebut? Nah dengan pertanyaan itu, maka akan Bapak singgung sedikit disini, mengenai kewajiban-kewajiban siswa dalam masa menuntut ilmu, baik di sekolah maupun dirumah serta di lingkungan masyarakat.
Anak-anak yang bapak banggakan,..
Bapak ingin bertanya terlebih dahulu, Apa itu Brahmacari?
Siapa saja yang termasuk ke dalam masa Brahmacari Asra
Apakah kewajiban-kewajiban masa Brahmacari sesuai dengan ajaran agama Hindu?
Mungkin kalian sedikit banyak telah memahami pengertian tentang brahmacari asram, akan tetapi dengan keadaan psikolog dan jiwa kalian pada saat sekarang ini yang masih sangat labil (goyah), kalian tidak dapat menjalankan ajaran-ajaran mengenai Brahmacari ini.
Seperti teori John Locke, kita terlahir itu seperti halnya kertas putih yang bersih, belum ada coretan sedikitpun, kemudian melalui keluarga, sekolah dan masyarakat, perlahan-lahan kertas putih itu akan terisi penuh coretan-coretan, baik itu coretan yang baik maupun coretan yang buruk. Nah, masa-masa seperti kalian inilah kalian memiliki beberapa coretan baik dan buruk, keduanya memiliki pengaruh yang sangat kuat, sehingganya masa sekarang jiwa kalian sering kali mengalami lonjakan, gairah, semangat dan ambisi yang memiliki grafik turun naik. Jika coretan-coretan yang buruk kalian sering lakukan, maka kalian akan menjadi orang yang bodoh dan terbelakang, baik dari segi kehidupan jasmani maupun rohani.
Untuk itu, maka sekolah dan keluarga memiliki peran yang sangat penting untuk mendidik dan membersihkan coretan-coretan buruk kalian. Agar kelak kalian menjadi masusia yang “Manusya” yang memiliki iman dan sraddha yang kuat untuk menghadapi ancaman dan pengaruh kerasnya kehidupan di dunia pada masa global saat ini.
Anak-anak yang bapak banggakan,..
Brahmacari adalah masa-masa kalian untuk menuntut ilmu, baik di lembaga formal maupun non formal. Masa ini merupakan masa uji atau masa yang sangat menentukan karma hidup kalian selanjutnya, jika kalian kuat menghadapi dan melewatinya niscaya kalian akan menjadi insane yang bahagia dan sejahtera dalam kehidupan (Jagadhita) dan alam baka (Moksa). Namun, jika kalian tidak mampu melewatinya, maka celakalah kalian. Contoh kecilnya seorang yang dalam masa sekolah, dia menjadi preman dan suka berantem karena ambisi, guna rajasnya yang tak terkendali, ego (Ahamkara) dan pikiranya diliputi kebodohan (avidya), dengan sikap demikian tentunya dia akan rugi sendiri, salah satunya, dia bisa terancam dikeluarkan dari sekolah, memiliki musuh yang bisa saja dapat mengancam kehidupanya kelak, menjadi terkenal dengan kejahatanya, susah memperoleh peluang dan bersaing dalam memperoleh pekerjaan untuk penompang hidup kelak, dsb.
Anak-anak yang bapak banggakan,..
Coba kalian renungkan, jika kalian mengalami hal tersebut?
Bagaimana orang tua kalian yang mengharapkan keturunanya dapat mengharumkan nama keluarga di masyarakat, namun yang terjadi malah sebaliknya. Jika hal ini terjadi, maka orang tua kalian akan merasa ditampar keras dan tentunya akan merasa malu dengan memiliki anak seperti kalian. Hidup orang tua kalian pun pastinya tidak akan dapat tenang baik di dunia maupun di alam kekal nantinya.
Apakah kalian bahagia, jika orang tua kalian seperti itu?
Apakah kalian bangga membuat orang tua kalian seperti itu?
Bapak yakin, kalian semua tidak mau orang tua yang melahirkan kalian menjadi susah, sengsara, menderita dan malu karena ulah kalian. Kalian adalah orang-orang yang pintar-pintar semua, jadi kalian bisa merenungkan kembali demi kalian dapat membahagiakan orang tua kalian.
Kalian bisa????
Anak-anak yang berbahagia,..
Tadi merupakan sedikit gambaran tentang brahmacari, dengan gambaran tersebut, kita akan tahu lebih jauh mengenai siapa saja yang termasuk ke dalam brahmacari asram?
Dalam ajaran agama Hindu, brahmacari merupakan urutan yang pertama dari Catur Asrama yang merupakan empat tingkatan atau masa hidup manusia, kemudian Grhasta, yaitu masa berumah tangga, kemudian wanaprastha, yaitu masa hidup mengasingkan diri dari kehidupan duniawi, yang terakhir Bhiksuka/Sanyasin yaitu masa memperdalam tingkat spiritual lebih lanjut agar dapat memperoleh moksa.
Keempat asram ini, memiliki kewajiban-kewajiban dan juga pantangan-pantangan yang harus dipatuhi.
Yang termasuk ke dalam brahmacari asram adalah mereka yang masuk ke dalam tahapan belajar ilmu pengetahuan. Yaitu sejak orang itu dilahirkan hingga dia benar-benar telah menjadi insane yang berpribadi, mandiri, bijaksana, dan dewasa. Kemudian yang termasuk ke dalam Grhasta asram adalah mereka yang telah dewasa dan siap lahir dan bhatin untuk melangkah ke pawiwahan atau perkawinan. Kemudian yang termasuk ke dalam wanaprastha asram adalah mereka yang telah mampu membentuk keluarga yang sakhinah dan sejahtera, sehingganya tidak terikat lagi oleh kewajiban-kewajiban dan tugas-tugasnya sebagai orangtua kepada anaknya. Yang terakhir, Bhiksuka, mereka yang telah benar-benar sadar akan kebeeradaan Tuhan, sehingganya mereka tidak lagi terikat hal-hal yang bersifat keduniawian. Nah dengan demikian, bagaimana dengan kalian, termasuk ke dalam asram yang mana?
Anak-anak yang bapak sayangi,…
Tugas dan kewajiban brahmacari adalah seperti tadi bapak uraikan, kalian harus belajar dan belajar. Belajar ilmu pengetahuan, teknologi, agama, social dan ilmu-ilmu yang lainya. Karena manusia itu memiliki tingkat intelektual yang sama dengan ilalalng, ketika kalian berada pada usia sekarang ini, kalian bagaikan tunas baru dari ilalang, sangat tajam, namun semakin tua usia kalian, maka ketajaman itu akan berkurang dan akhirnya kalian merunduk dan tidur selamanya.
Jadi, masa-masa seperti saat sekarang inilah, masa-masa kalian harus benar-benar serius, dan benar-benar memusatkan konsentrasi untuk belajar, ingat hari ini tidak akan kalian temukan esok, lusa atau kapanpun, masa ini kalian tidak temukan juga besok atau kapanpun. Coba kalian renungkan, saat-saat sekarang inilah kalian harus belajar dan belajar untuk hari esok kalian.
Anak-anak yang bapak banggakan,..
Ilmu pengetahuan itu, sifatnya tidak seperti memakan cabai, sekarang dimakan sekarang pedas. Jadi sekarang kita belajar, tidak harus sekarang guna dari ilmu itu kita pergunakan, akan tetapi kelak dalam kehidupan yang akan kalian jalani lebih lanjut lagi.
Disamping belajar, siswa juga harus melaksanakan brata (pengendalian diri) untuk melaksanakan disiplin-disiplin di sekolah sebagai tempat menuntut ilmu. Jangan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari displin yang ditetapkan oleh sekolah.
Tantangan dalam melaksanakan displin itu memang luar bisaa, salah satu godaan-godaan dari luar, dari pergaulan dengan teman-teman yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang baik, gaya hidup modernisasi dan sebagainya.
PERANAN PENDIDIKAN BUDI PEKERTI MENGHADAPI GLOBALISASI
    Oleh : I Wayan Catrayasa

 


 I. Pendahuluan

Coba kita perhatikan tayangan TV dan media cetak seperti surat khabar. Kedua media tersebut amat banyak kita menyaksikan tayangan peristiwa-peristiwa berbagai tindak kriminalitas dan amoral, seperti pembunuhan, memeras teman di sekolah digunakan membeli obat-obat psikotropika, pornografi, pornoaksi, perselingkuhan, pemerkosaan, pencurian, perampokan dll. Semua tayangan tersebut ibarat pisau bermata dua, di satu sisi, pesan-pesan tayangan tersebut untuk diwaspadai, jangan sampai menjadi korban dan jangan dilakukan pihak lain maupun diri sendiri. Di sisi yang lain dapat juga mendorong seseorang untuk menirukan atau melakukan perbuatan yang ditayangan tersebut.
Menghadapi fenomena sosial demikian, disamping realitas hidup di dalam masyarakat lokal, regional da n global, maka peranan pendidikan budi pekerti sangat menentukan. Bila penanaman dan penumbuh kembangan budhi pekerti dapat dilakukan dengan baik dan benar oleh orang tua dan keluarga di rumah, para guru di sekolah, dan tokoh-tokoh agama serta tokoh-tokoh masyarakat, maka seorang anak ketika mencapai fase kedewasaan, akan menjadi manusia yang berbudhi pekerti yang luhur, sangat dibanggakan oleh orang tua di rumah, para guru di sekolah dan lingkungan masyarakatnya, namun bila sebaliknya, anak-anak yang tumbuh menjadi orang yang tidak memiliki kepribadian yang mantap, mudah terkena pengaruh lingkungan yang buruk dan tidak segan melakukan tindak kriminal dan amoral.
Dalam kehidupan global dengan sarana komunikasi yang sangat canggih, segala sesuatu yang terjadi di luar rumah dan bahkan di luar negeri dapat dilihat melalui tanyangan TV, demikian pula media elektronik seperti film/VCD termasuk internet dan sejenisnya yang memuat ceritra tentang kriminalitas dan amoral sangat sulit dibendung dan tidak sulit untuk mendapatkannya. Maka demikian makalah ini mencoba untuk menampilkan peranan pendidikan budhi pekerti sesuai ajaran Hindu. Kita banyak berharap semoga semua orang tua dan anak menjadi dua kelompok yang bersinergi untuk mencapai tujuan hidup sesuai dengan ajaran agama Hindu. Salah satu contoh tujuan ajaran Hindu adalah untuk mewujudkan masyarakat yang Krtajagadhita, yakni masyarakat yang sejahtera, tentram dan damai, karena di dalamnya anggota masyarakatnya sebagian besar dan hampir seluruhnya berbudhi pekerti luhur. Nilai-nilai budhi pekerti sangat luas maknanya yang intinya untuk kembali ke “sangkan paraning dumadi yang disebut dengan moksa, bersatunya atman dengan paratmatman.

II. Mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan
Untuk apakah kita hidup di dunia ini? Pertanyaan ini sangat klasik. Sejak manusia diciptakan oleh Hyang Widhi Wasa, pertanyaan ini selalu muncul. Orang-orang sangat sibuk dengan usaha untuk mewujudkan kepuasan duniawi. Dengan diturunkannya ajaran agama melalui kitab suci, bertujuan agar manusia sebagai ciptaan-Nya, menyadari hakekat dirinya, makna penjelmaan serta tujuan hidup yang patut kita usahakan. Dalam kehidupan modern dewasa ini, seseorang menghargai orang lain dari segi penampilannya, sikapnya yang sopan, lemah lembut, tutur katanya manis dan ramah serta memancarkan budhi pekerti yang luhur. Orang yang demikian apalagi ditambah giat belajar, giat bekerja, rendah hati dan ramah, serta memiliki keimanan yang tinggi senantiasa akan mendapat perlindungan dari Hyang Widhi, karena pada dirinya memancar kasih sayang yang sejati. Ketika kita merenung tentang tujuan hidup, bagi mereka yang mendalami ajaran agama Hindu, tujuan hidup yang pertama adalah mewujudkan Dharma, yakni kebajikan, kebaikan, kebenaran, kasih sayang, taat pada hukum karma.
Dalam ajaran Catur Purusa artha sangat jelas tujuan hidup manusia yakni mewujudkan Dharma, artha dan kama sedang moksa adalah tujuan yang tertinggi. Keempat tujuan hidup itu dibedakan menjadi dua bagian yaitu, jagadhita dan moksa. Jagadhita berarti dunia sejahtera, maksudnya dari dunia kecil (pribadi kita) ke keluarga, masyarakat sebagai dunia yang lebih besar. Moksa adalah tujuan yang tertinggi yang wajib dipersiapkan sejak dini dengan landasan yang kokoh berupa dharma.

III. Mencapai Tujuan Tertinggi
Coba kita amati, jika seorang anak ditanya tentang cita-citanya. Hampir semuanya menjawab sebatas kalau sudah tamat, mejadi seorang dokter, insinyur, atau guru. Hampir tidak pernah orang memikirkan lebih jauh dari hal tersebut. Bila ditanyakan hal-hal yang lebih bersifat spiritual, spesifik, sepertinya mereka tidak memberikan jawaban yang tegas. Mengapa jarang dijumpai anak-anak mempunyai cita-cita menjadi seorang pemangku, menjadi Ketua Parisada atau menjadi Sannyasin?.
Pada suatu hari seorang Profesor beragama Hindu dari Bali ditanya tentang rencana setelah pensiun oleh seorang guru besar berkebangsaan Amerika yang beragama Hindu. Profesor tersebut mengatakan bahwa jika dirinya pensiun nanti, maka ia akan kembali ke Bali dan menimbang cucu serta hidup di rumah dengan seluruh keluarganya. Sebaliknya ketika Guru besar tersebut ditanya, ia menjawab jika sudah pensiun akan menjadi seorang Sannyasin, Saya akan melakukan tirtayathra ke India, dan mungkin pada saatnya akan kembali lagi ke Bali menemui bapak di sini. Jawaban guru besar warga Negara Amerika ini mencengangkan bagi Profesor kita di Bali. Kini timbul pertanyaan bagaimana mewujudkan tujuan hidup tertinggi itu? Svami Wiwekananda menyatakan “Your hand on work but your heart on God, tangan menghadapi pekerjaan, namun hati hendaknya selalu menghadap Tuhan Yang Maha Esa. Nampaknya Svami Wiwekananda senang mensitir salah satu sabda Sri Krsna dalam kitab suci Bhagawad Gita IX.27 : Apapun yang engkau kerjakan, apapun yang engkau makan, yang engkau persembahkan dan engkau amalkan, desipiln diri apapun yang engkau laksanakan, wahai putra Kunti (Arjuna), lakukanlah sebagai persembahan hanya kepada-Ku. Berserah diri seperti sabda Sri Krsna di atas merupakan upaya penyucian diri (atmasuddhi). Lebih lanjut, Sri Krsna dalam sloka Bhagawad Gita IX.22 dinyatakan : Tetapi meraka yang memuja-Ku dan hanya bermeditasi kepada-Ku, kepada mereka yang senantiasa gigih demikian itu, akan Aku bawakan segala apa yang belum dimilikinya dan akan menjaga apa yang sudah dimilikinya.
 bersambung

Cara Bodoh Menyelamatkan Teman
    Oleh : Ketut Santosa

 





Secara umum , selamat berarti lepas atau bebas dari kesulitan, kesusahan, mara-bahaya, penderitaan atau kesengsaraan yang dapat menyebabkan kematian. Tetapi selamat yang sesungguhnya berarti mukti, bebas atau lepas dari kehidupan material dunia fana yang menyengsarakan . Dan mukti ini hanya bisa dicapai apabila seseorang menyibukan diri dalam pelayanan bhakti kepada Tuhan Krisna. Beliau berkata,
” Mam dhyayante upasate tesam aham samudharta mrtyu-samsara sagarat, bagi dia yang selalu ingat padaKu dan memujaku, saya bebaskan dia dari samudra derita kelahiran-kematian kehidupan material dunia fana” (Bg.12.6-7)
Tetapi orang-orang yang disebut para jiva-bhuta kerkesadaran materialistik, mengerti selamat sebagai bebas atau lepas dari kemiskinan yaitu ketidakmapuan hidup mewah memuaskan indria jasmani yang kotor nafsu secara melimpah. Karena itu , menurut mereka menyelamatkan orang berarti membuat hidupnya senang dalam kemewahan material dunia fana.
Pendapat keliru dan sesat ini ditunjukan oleh kenyataan bahwa meskipun mereka sudah kaya raya dan hidup melimpah, namun mereka tidak pernah puas. Mereka terus bekerja keras mengumpulkan harta kekayaan karena hatinya dijangkiti penyakit serakah, sehingga mereka tidak pernah hidup tenang dan damai. Dengan kata lain, mereka tetap sengsara dan menderita.
Begitulah, menganggap kekayaan material sebagai alat penyelamat dari derita kehidupan fana adalah kebodohan belaka. Tetapi kebodohan yang amat nyata ini tidak disadari oleh orang-orang modern Kali-yuga yang menyatakan dirinya amat terpelajar dan paling beradab.
Begitulah, menganggap kekayaan material sebagai alat penyelamat dari derita kehidupan fana adalah kebodohan belaka. Tetapi kebodohan yang amat nyata ini tidak disadari oleh orang-orang modern Kali-yuga yang menyatakan dirinya amat terpelajar dan paling beradab.
Manusia yang berhakekat spritual sebagai jiva rohani nan abadi, tidak bisa dipuaskan dengan cara dan upaya material apapun. Ia akan puas dan bahagia hanya jikalau kembali tinggal di rumahnya asli yaitu alam kesuka-citaan rohani Vaikunta-loka, seperti halnya sang ikan tidak dipuaskan dengan cara apapun di darat. Sang ikan hanya akan puas dan bahagia jikalau ia dikembalikan ke tempat tinggalnya ayang asli yaitu air di sungai atau danau.
Karena itu menyelamatkan manusia dari derita kehidupan dunia fana dengan kekayaan material pada hakekatnya adalah menyelamatkan sang ikan dengan memberinya beraneka macam makanan di darat.
Kenyataan ini diungkapkan oleh cerita metaporik berikut:
Tersebutlah seekor Monyet yang bersahabat dengan se-ekor Ikan gabus. Sang monyet tinggal disatu telaga yang ada dibawah pohon tersebut. Mereka menikmati kehidupan masing-masing dalam kedamaian.
AkhirnSetaiap hari, setelah selesai dengan kegiatan mencari makan dan perut telah kenyang, mereka berdua berbincang-bincang tentang kehidupandi hutan dan kehidupan di air sambil bercanda ria. Sang minyet telah sepakat dengan si Ikan bahwa mereka akan saling bantu bilaman salah satu dari mereka menemui kesusahan dalam kehidupnya.

Pada suatu hari, hujan deras mengguyur wilayah hutan disana, sehingga terjadilah banjir. Air sungai terdekat meluap dan mnegenangi kedua tepinya. Si monyet berlindung dibawah dauan-daun rimbun di puncak pohon, melihat air dimana-mana. Ia tidak bisa membedakan mana sungai dan mana telaga. Sementara itu, air yang membanjir menghanjutkan banyak pohon kayu.
Sang monyet cemas. Ia takut kehilangan sahabat karibnya si Ikan gabus. Ia berdoa agar si Ikan tidak dihanyutkan oleh banjir.
 Sang ikan memegang tangan si Monyet dengan giginya, dan seketika itu juga Monyet mengangkatnya dari dalam air, lalu menaruhnya diatas dahan diantara ranting-ranting yang ia telah jalin rapat dan rapi.
 ”Nah tinggal disini bersamaku”, kata si Monyet sambil menyodorkan banyak cacing dan ulat kepada sang ikan. Si Ikan hanya mengglepar-glepar menderita dan berteriak , ”Kawan aku susah bernafas, kembalikan aku segera ke air”.
Si Monyet bodoh menjawab, ”Aku takut kehilangan sahabat seperti dirimu. Aku sangat mencintaimu. Kembalilah nanti ke air setelah banjir surut. Bukankah telah kusediakan banyak makanan untukmu? Nikmatilah makanan ini!”
”Aku tidak bisa makan karena semakin susah bernafas. Tolong kembalikan aku segera ke air”, sang ikan terus protes. Tetapi si monyet tidak perduli pada penderitaan si Ikan. Sebab ia pikir dirinya telah berbuat yang benar dan mulia yakni menyelamatkan teman karib dari bencana banjir.
Demikianlah karena kebodohan, si Monyet menemukan sang Ikan keesokan harinya sudah kaku tidak bernyawa ketika hendak dikembalikan ke dalam air.
Om Namo Bhagavate Vasudevaya.... ...jay Sri Krsna.... -Ketut santosa-
Kali Yuga  (Tidak Bisa Dibeli)
 


Dengan mulainya Kali-yuga 3.102 tahun sebelum masehi, prinsip-prinsip kehidupan Veda memudar terus. Beraneka macam paham kehidupan materialistik yang berkembang pesat menyebabkan banyak jiva-bhuta berjasmani manusia menolak doktrin karma dan punarbhava (reinkarnasi). Begitulah, orang-orang yang menyebut dirinya modern, paling maju, paling terdidik dan paling beradab, berpikir bahwa dirinya hidup sebagai manusia hanya sekali ini saja. Tidak ada kehidupan material sebelum maupun sesudah kehidupan seperti yang mereka alami sekarang di muka bhumi ini.
Mereka yang disebut orang-orang modern berpaham materialistikini, lebih lanjut berpikir, ”Aparaspara-sambhutam kim anyat kama haisukam, segala makhluk hidup di alam material muncul dari hasil hubungan badan (sex) belaka dan tidak ada penyebab lain selain nafsu” (Bg.6.8). dan mereka yang berpaham athestik terang-terangan berkata, ”jaad ahur anisvaram, tidak ada tuhan yang mengendalikan alam semesta ini” (Bg.16.8)
Dengan berpikir seperti itu, lalu mereka berkesimpulan begini, sebelum kelahiran tidak ada apa-apa. Nanti setelah kematian juga tidak ada apa-apa pula. Karena itu, hidup sebagai manusia hanya sekali ini saja adalah kesempatan bagus untuk mengejar kesenangan duniawi melalui pemuasan indria jasmani secara mewah-melimpah dengan beraneka macam harta benda dunia fana”. Maka, begitu berhasil mengumpulkan harta kekayaan dan jadi manusia kaya yang hidup mewah-melimpah, mereka berpikir dirinya telah mencapai kesempurnaan hidup sebagai makhluk manusia.
Orang-orang berkesadaran materialistik ini tidak peduli ada apa yang akan terjadi terhadap dirinya ketika ajal merenggutnya dan berpisah dengan harta-kekayaan yang dikumpulkannya dengan derita kerja amat keras. Sebab mereka selalu sibuk dengan beraneka macam program menikmati kesenagan duniawi agar hidup lebih bahagia di alam material. Bagi mereka, penjelasan kitab suci Veda tentang kehidupan sorga dan neraka setelah ajal adalah dongeng belaka. ” Lebih baik bekerja keras memuaskan indria jasmani agar hidup senang daripada mendengar dongeng seperti itu”, begitu mereka berkomentar.
Kenyatan ini diungkapkan oleh cerita dibawah ini:
Tersebutlah seorang pengusaha (bisnisman) kikir. Meskispun telah kaya raya, namun dia tetap bekerja keras mengumpulkan kekayaan. Paham materilistiknya tiada henti membuai dirinya dengan anggapan bahwa dia telahmenjadi manusia maju, sukses, sempurna dan terhormat. Maju, karena dia bisa menikmati kehidupan modern dengan beraneka ragam fasilitas hidup hasil teknologi, dan makan makanan bergizi kaya protein seperti: beefsteak, hotdog, hamburger, fried-chicken, pizza, sausage dsb. Sukses, karena dirinya mampu mengumpulkan banyak uang dan memiliki harta beraneka macam. Sempurna, karena dirinya telah menjadi orang yang kaya yang hidup mewah-melimpah. Dan terhormat, karena bisa bergaul dengan para pejabat negara dan para selebriti, dan sering tampil di depan pubik bersama mereka.
Sekarang sang Pengusaha sedang mempersiapkan tour keliling dunia. Program menikmati dunia ini tercetus dihatinya ketika sedang sakit beberapa hari lalu. ”Kesehatannya sering terganggu akhir-akhir ini, sehingga setiap saat aku bisa mati mendadak. Sementara uangku melimpah. Biar kuhabiskan saja kekayaanku dengan bersenang-senang diberbagai belahan bhumi supaya kerja kerasku di dunia tidak sia-sia”, begitu dia berencana. Sementara mempersipakan diri untuk tour keliling dunia. Sang Pengusaha memeriksakan kesehatannya ke Dokter spesialis. Dia sungguh kecewa ketika diberitahu oleh dokter agar beristirahat saja di rumah karena kadar kolesterol di tubuhnya telah melampau batas maksimum.
”Berbahaya bagi anda untuk melakukan perjalanan jauh dalam kondisi phisik seperti ini”, kata sang Dokter. ”Lalu, apa yang harus kukerjakan di rumah?”, tanya si Pengusaha kecewa. ”Istirahat, makan sayur-sayuran dan buah-buahan lebih banyak dan lebih sering”, si Dokter menjawab. ” Wah, itu tidak dapat kulakukan, sebab aku sudah terbiasa sibuk dan makan beraneka ragam macam makanan lezat bergisi tinggi yang terbuat dari daging, ikan dan telor”, si Pengusaha protes. ” Sebagai seorang Dokter , saya harus menyatakan begitu kepada anda unutk kebaikan dan keselamatan anda sendiri”, kata sang dokter Oleh karena tidak mengikuti nasehat dokter, si Pengusaha jatuh sakit lagi, dan tidak lama kemudian dia mati.
Diceritakan bahwa jiva(roh) sang pengusaha dijemput oleh beberapa Yamduta, utusan yama, dewa kematian,. Si pengusaha amat terkejut melihat mahkluk-mahkluk ganas menakutkan nin. Dia tidak pernah membayangkan selama hidup di bhumi bahwa setelah kematian, dirinya sebagai sang jiva, masih tetap sadar dan hidup dengan badan astral (halus) dan berjumpa dengan mahkluk-mahkluk mengerikan seperti itu Ketika para utusan Deva Maut itu memegang tangannya, si pengusaha gemetar ketakutan dan berkata , ”tolong, tuan-tuan, perkenankanlah saya kembali ke bhumi karena program keliling dunia belum terlaksana” ”Tidak bisa !!, jawab si Pemimpin Yamaduta. ”Seandainya Tuan-tuan mengijinkan saya hidup kembali di Bhumi, saya akan serahkan seper-empat dari depositoku yang ada di Bank kepada kalian”, kata si pengusaha mengusulkan, seraya berpikir bahwa para Yamaduta ini bisa disogok seperti para Pejabat negara di Bhumi. ”Tidak bisa”, jawab si Pemimpin utusan sambil memegang tangan si pengusaha lebih erat. ”Kalau begitu , saya akan serahkan seluruh kekayaanku kepada kalian”, si Pengusaha mengusul lagi. ”Tidak bisa”, kata sang Yamaduta seraya hendak menyeretnya.” ”Tuan-tuan, saya akan serahkan seluruh kekayaanku di Bhumi asalkan anda tidak menyiksa diriku”, si Pengusaha mohon dikasihani. ”Tidak bisa”, jawab sang Utusan tegas, seraya mulai menyeret si pengusaha menuju neraka. Ketakutan dan ketidakberdayaannya membuat si pengusaha insyaf diri. Lalu dia berkata, ”Tuan, bolehkan saya minta waktu sebentar untuk meyampaikan pesan kepada orang-orang materialistik di muka bumi?.” mendengarkan permintaan si pengusaha demikian, para Yamaduta itu saling pandang satu dengan yang lain.
Akhirnya pemimpin Yamadhuta mengangguk sambil menyodorkan pensil dan kertas. ”Tulis disini!”, katanya kepada si Pengusaha yang kemudian menulis pesannya sebagi berikut: ”WAHAI ORANG-ORANG TOLOL, MANFAATKANLAH HIDUPMU SEBAIK-BAIKNYA DENGAN MENJADIKAN KITAB SUCI VEDA SEBAGAI PEDOMAN HIDUP. HIDUPLAH SESUAI PETUNJUKNYA SUPAYA TIDAK BERNASIB MALANG SEPERTI DIRIKU. WAKTU HIDUPMU SATU MENIT YANG TELAH BERLALU, TIDAK BISA DIKEMBALIKAN DENGAN MEMBELINYA SEHARGA SERIBU DOLLAR” Kemudia para yamduta itu menyeret si Pengusaha ke neraka karena dosa-dosa yang diperbuatnya semasa hidup di bumi.
Jay Sri Krsna.....Hari hari bolo...... -ketut santosa-

Hari Raya Galungan dan Kuningan
 





Hari Raya Galungan jatuh pada Budha Keliwon Dungulan. Berdasarkan pustaka 'Panji Alamat Rasmi' di Jawa Timur pada jaman Jenggala (abad XI), hari raya ini sudah dirayakan. Demikian juga pada 'Pararaton' akhir jaman kerajaan Majapahit pada abad XVI, hari raya ini juga telah dirayakan.
Hari Raya Galungan mempunyai arti "Pawedalan Jagat" atau "Oton Gumi". Ini bukan berarti gumi/jagat lahir pada hari Budha Keliwon wuku Dungulan. Melainkan pada hari itulah umat Hindu menghaturkan 'maha suksemaning idepnya' (rasa terima kasih) kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan atas terciptanya dunia beserta segala isinya. Pada hari inilah umat Hindu 'angayubagia' (bergembira), bersyukur atas karunia-Nya.
Ngaturang maha suksmaning idep, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan 'kinasihan', tahu akan hutang budi
Hubungan Mayadanawa dengan Hari Raya Galungan
Dikisahkan di Desa Blingkang (kira-kira sebelah utara Danau Batur), bertahta seorang raja yang sangat sakti yang bernama Mayadanawa. Mayadanawa merupakan raja keturunan daitya, anak dari Dewi Danu. Karena kesaktiannya ia dapat merubah wujudnya menjadi bermacam-macam rupa dan bentuk.
Raja ini dikatakan menguasai Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok, dan Blambangan. Karena sakti dan berkuasanya, Mayadanawa menjadi sombong dan timbul sifat angkara murkanya. Pada jaman ini juga hidup seorang Mpu yang juga sakti yaitu Mpu Kulputih. Oleh Mayadanawa rakyat Bali tidak diperkenankan menyembah Tuhan, dilarang sembahyang, dan kahyangan-kahyangan/pura dirusaknya.
Karena tindakan ini rakyat Bali menjadi sengsara, tanam-tanaman menajdi rusak, orang-orang terserang penyakit. Rakyat tidak berani melawan atau membantah kehendak Mayadanawa karena sakti dan berkuasanya.
Melihat keadaan ini, Mpu Kulputih merasa prihatin. Ia kemudian melakukan yoga semadi di Pura Besakih untuk memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa untuk dapat mengatasi kekacauan masyarakat Bali yang ditimbulkan oleh tindakan rajanya. Beliau lalu mendapat wahyu dari Bhatara Mahadewa agar meminta pertolongan ke Jambu Dwipa (India).
Tidak jelas siapa akhirnya yang berangkat ke India, dan bagaimana sampai ada dikisahkan datang pasukan dari 'Sorga' untuk menyerang Mayadanawa. Hanya dikisahkah bahwa pasukan dari Sorga dipimpin oleh Bhatara Indra dengan disertai pasukan yang kuat dan persenjataan lengkap menuju Bali. Dalam penyerangan itu, sayap kanan pasukannya dipimpin oleh Citrasena dan Citrangada.
Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sang Jayantaka, sedangkan induk pasukan cadangan dipimpin Gandarwa. Untuk menyelidiki keadaan keraton Mayadanawa dikirim Bhagawan Narada. Dipihak lain Mayadanawa telah pula mengetahui rencana serangan pasukan Bhatara Indra ini, karena ia banyak mempunyai mata-mata.
Oleh karena itu ia menyiapkan pasukannya untuk menghadapi serangan pasukan dari Sorga itu. Peperanganpun tidak dapat dihindari, terjadilah pertempuran yang sangat hebat dan menelan banyak korban dari kedua belah pihak.
Namun karena pasukan Bhatara Indra lebih tangguh, akhirnya pasukan Mayadanawa kocar-kacir dan akhirnya melarikan diri meninggalkan raja dan patihnya yang bernama Si Kala Wong. Nasib Mayadanawa dan patihnya ternyata lagi baik, karena sebelum sempat dibunuh peperangan harus dihentikan dulu, karena hari sudah gelap.
Malam harinya saat pasukan dari Sorga sedang tertidur pulas, datanglah Mayadanawa dan menciptakan 'air cetik' (air beracun) di dekat tempat tidur pasukan dari Sorga. Kemudian Mayadanawa meninggalkan tempat itu, dan untuk menghilangkan jejak, ia kemudian berjalan dengan memiringkan telapak kakinya.
Tempat itu selanjutnya kita kenal dengan Tampak Siring. Keesokan harinya pasukan dari Sorga bangun dari tidurnya dan minum air yang diciptakan Mayadanawa. Anggota pasukan itu akhirnya menjadi sakit semua.
Bhatara Indra yang mengetahui hal ini, kemudian menciptakan sumber air yang lain yang dinamakan 'Tirta Empul'. Karena kekuatan air yang diciptakan Bhatara Indralah, anggota pasukan yang tadinya sakit menjadi sembuh kembali. Aliran air dari Tirta Empul ini menjadi sungai yang diberi nama Tukad Pakerisan.
Bhatara Indra dan pasukannya kemudian mengejar Mayadanawa yang telah melarikan diri dengan patihnya. Dalam pelariannya Mayadanawa merubah wujudnya menjadi 'manuk raya' (unggas yang besar). Tempat ia mengubah wujudnya, kemudian dikenal dengan Desa Manukaya. Bhatara Indra yang sakti tidak dapat dikelabui oleh Mayadanawa.
Kemudian Mayadanawa kembali merubah wujudnya beberapa kali menjadi 'buah timbul', 'busung', 'susuh', menjadi 'bidadari' dan akhirnya mengubah dirinya menjadi batu paras bersama Si Kala Wong. Kedua batu paras ini kemudian berhasil dipanah oleh Bhatara Indra, sehingga raja dan patihnya menemui ajalnya.
Darah keduanya terus mengalir dan menjadi sungai yang disebut Tukad Petanu. Sungai ini dipastu/dikutuk, jika air sungai itu dipergunakan untuk mengairi sawah, padinya akan menjadi subur, tetapi bila dipetik akan mengeluarkan darah dan berbau bangkai. Pastu/kutuk ini berlaku selama 1000 tahun.
Desa tempat Mayadanawa merubah wujud menjadi buah timbul selanjutnya disebut Desa Timbul, tempat ia berubah menjadi busung dinamai Desa Blusung, tempat merubah dirinya menjadi susuh disebut Desa Penyusuhan, dan tempat ia merubah wujudnya menjadi bidadari dinamai Desa Kedewatan (Ubud).
Kematian raja Mayadanawa ini merupakan kemenangan bagi umat beragama terhadap kaum Atheis (tak beragama). Hari kemenangan ini lalu diperingati enam bulan sekali (atau 6 kali 35 hari = 210 hari) yang dinamai Hari Raya Galungan. Ada kemungkinan karena Hari Raya Galungan jatuh pada wuku Galungan, maka disebut Hari raya Galungan, seperti juga Hari Raya Kuningan yang jatuh pada wuku Kuningan.
Pelaksanaan Hari Raya Galungan dan Kuningan bertitik tolak pada Tumpek Wariga atau Tumpek Pengarah disela tonggak persiapan Galungan dan Kuningan sampai dengan Budha Keliwon Pahang yang juga disebut Budha Keliwon Pegat Wakan.
Memasang Penjor
Penjor merupakan perlambang dari Gunung Agung sekaligus perlambang kehadiran Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan. Penjor sendiri sebetulnya sarat akan makna/penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti padi, jagung, kelapa, jajan, dll. Juga terdapat barang sandang seperti kain/kasa, serta uang. Ini merupakan sebuah peringatan/tanda yang perlu diingat oleh semua manusia, bahwa apa yang kita nikmati di dunia ini adalah atas karunia-Nya.
Pemasangan penjor dilakukan paling lambat pada Hari Penampahan Galungan. Penjor adalah perlambang Gunung Udaya/Tohlang kir atau Gunung Agung, untuk menyatakan rasa terima kasih dan bersyukur atas hasil bumi yang dianugerahkan. Gunung Agung merupakan perlambang kesucian sebagai perantara terhadap Gunung Semeru, Gunung Himalaya atau Mahameru yang dipercaya sebagai tempat sthananya Bhatara Putra Jaya.
Atas apa yang bisa kita nikmati, kita boleh bergembira dan merayakannya. Akan tetapi dalam merayakannya hendaklah digunakan cara- cara yang berlandaskan pada ajaran kebenaran/dharma yaitu ajaran agama. Kegembiraan selalu mengacu pada batas-batas kesusilaan seperti mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra, olah raga, dll.
Kita hendaknya berani untuk meninggalkan cara-cara lama yang tidak berdasarkan ajaran susila. Namun dalam pelaksanaannya mengacu kepada Desa, Kala, dan Patra.
Uraian Hari Raya Galungan dan Kuningan
Wrespathi Wage Sungsang, adalah Hari Sugimanek Jawa, hari pesucian para Dewa, turunnya para Bhatara-Bhatari yang diiringi oleh para Pitara-Pitari. Pada hari ini merebu di Merajan Parhyangan dengan sesajen pengerebon dan pengeresikan puspa wangian.
Sukra Keliwon Sungsang, adalah Hari Sugimanek Bali, hari yang khusus untuk menyucikan diri. Menyucikan diri dari pengaruh keduniawian. Pada hari ini sebaiknya matirtha yatra (matirtha gocara) artinya pergi ke tempat-tempat suci sambil menghayati ajaran-ajaran suci yang kita dapati dari petunjuk agama.
Saniscara Umanis Sungsang, adalah bersiap-siap untuk hari berikutnya. Bersiap-siap menghadapi ujian lahir dan batin dalam ketenangan, kesabaran, kewaspadaan, dan ketawakalan.
Panyekeban/Panapean, Redite Pahing Dungulan ialah hari dimulainya umat Hindu melakukan Yoga Samadhi, karena pada hari ini turunnya Sang Kala Tiga Wisesa menjadi Bhuta Galungan, untuk menggoda bathin umat manusia. Mulai Redite, Soma, dan Anggara Wuku Dungulan ini sebagai turunnya Bhuta Galungan, Bhuta Dungulan, dan Bhuta Amangkurat. Pada hari ini dilakukan Nyekep/peram bahan yang perlu diperam misalnya tape, pisang, yang dipersiapkan untuk Galungan. Juga membuat jajan- jajan untuk sesajen Galungan.
Penampahan, Anggara Wage Dungulan, ialah hari dimana godaan datang dari Bhuta Amangkurat. Kalau kita lengah dan tidak kuat akan dapat digoda oleh Sang Bhuta. Pada hari ini melakukan Bhuta Yadnya di Catuspata, caru tiap pekarangan, segehan berwarna menurut urip dan tempat, misal tumpeng lima buah di Timur, Selatan 9 buah, Barat 7 buah, Utara 4 buah, dan Tengah 8 buah. Dihaturkan kepada Sang Bhuta Galungan.
Galungan, Budha Keliwon Dungulan adalah hari untuk bergembira, karena tercapainya pikiran yang galang/tenang, setelah menghadapi ujian lahir bathin dari Sang Bhuta Galungan atau dihubungkan dengan kemenangan Dharma melawan Adharma. Pada hari ini ngaturang sesajen kehadapan para Dewa, Bhatara-Bhatari, serta Dewa Pitara sebagai pengiringnya turun ke bumi.
Umanis Galungan, Wrespathi Umanis Galungan adalah hari nyarinin Galungan. Umat disilahkan menikmati semua anugerah yang dilimpahkan Sang Hyang Widhi Wasa. Hari ini memperbaharui sesajen/nganyarin sambil menikmati seni budaya yang keliling (ngelawang).
Pahing Galungan, Sukra Pahing Dungulan, masih dalam keadaan waspada dengan kesucian bathin.
Pamaridan Guru, Saniscara Pon Dungulan, ialah hari ngeluhurnya (naiknya) para Dewa Kabeh, dengan meninggalkan atau menganugerahkan kesejahteraan di dunia ini. Biasanya pada saat ini umat melakukan Tirthayatra ke tempat suci. Menghaturkan sesajen/banten anaman, canang raka, dan wangi-wangian sederhana.
Ulihan, Redithe Wage Kuningan ialah hari Angulihaken prikramaning pratekaning Kuningan. Saat inilah waktunya mengenang jasa para leluhur yang telah meninggalkan kita, serta melanjutkan perjuangannya menegakkan kebenaran/dharma.
Pamacekan Agung, Soma Keliwon Kuningan, ialah hari memanjatkan tekad yang baik di tengah-tengah kesucian bathin, karena hari pamacekan artinya 'Pacek' yang berarti tengah. Yaitu hari diantara Galungan dan Kuningan, tepatnya 5 hari setelah Galungan, dan 5 hari sebelum Kuningan. Filosofinya adalah kita berada di tengah-tengah kesucian bathin. Pada saat ini menghaturkan Segehan Agung di muka pintu gerbang.
Anggara Umanis Kuningan, kosong hari persiapan Kuningan. Pujawali Bhatara Wisnu, Budha Pahing Kuningan ialah turunnya Dewa Pemelihara Dunia yaitu Dewa Wisnu. Umat seyogyanya memohon wahyu untuk terpeliharanya alam semesta ini.
Wrespathi Pon Kuningan, kosong hari persiapan Kuningan.
Penampahan Kuningan, Sukra Wage Kuningan ialah hari untuk mempersiapkan bahan untuk besoknya (Kuningan).
Tumpek Kuningan, Saniscara Keliwon Kuningan, ialah hari turunnya kembali Dewa-Dewi, Bhatara-Bhatari diiringi para Pitara namun hanya sampai tengah hari (12.00 siang), sesuai dengan hari Sugimanek Jawa. Pada hari ini umat sebaiknya introspeksi diri dengan cara konsentrasi, meditasi, demi kesejahteraan umat. Sarana upacara hari ini adalah selanggi, tebog, gantung-gantungan (endongan), pada tiap- tiap bangunan rumah dan perlengkapannya. Pada halaman rumah menghaturkan Segehan Agung, umat/orangnya ngayab sesayut prayascita lewih, sesayut segan kuning, iwak itik putih, dan penyeneng.
 Pegat Wakan, Budha Keliwon Pahang ialah hari berakhirnya melakukan Tapa-Brata karena telah berjalan selama 42 hari. Terhitung dari Sugimanek Jawa sampai Budha Keliwon Pahang (Pegat Wakan). Selanjutnya umat melaksanakan atau mengamalkan hasil Tapa-Bratha yang berguna untuk masyarakat, sebagaimana menjelang permulaan hari raya. Pada saat ini umat mempersembahkan sesayut dirgayusa, penyeneng, dipersembahkan kehadapan Hyang Widhi Wasa.(ek)**
Dipetik dari: http://www.baliaga.com/indonesia/religi/religidasar_galungan.html
---ooo---

Suka Duka di Jaman Kali (Sebuah Fenomena Sosial)
 





oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa, 24 Desember 2007
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma dan pembaca yang budiman,
Sebagaimana kita ketahui bahwa Hindu mengenal empat jaman dari Treta Yuga, Kertha Yuga, Dwapara Yuga dan yang terakhir adalah Kali Yuga. Kehidupan kita sekarang ini berada pada jaman kali Yuga. Pada jaman ini banyak hal yang terjadi dan bertentangan dengan hati nurani. Anehnya kegiatan yang justru bertentangan dengan konsep hati nurani banyak penggemarnya. Inilah yang perlu kita kaji dan menjadi acuan berpikir, berkata dan bertindak untuk tetap kiranya ajeg dalam tatanan ajaran Dharma.
Kehidupan ini terikat oleh suka dan duka, dimana segala pujian akan datang ketika dalam keadaaan suka dan begitu juga sebaliknya keadaan duka segala penderitaan dan hinaan datang bertamu kepada kita tanpa diuandang. Sesungguhnya Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Kuasa tidak memberikan kita ujian berat yang melebihi kemampuan kita. Kejadian dan perbuatan asubha karma yang dilakukan oleh manusia pada saat ini merupakan contoh konkrit, bahwa ternyata antara kandungan suci falsafah agama yang begitu ideal ternyata pada pelaksanaannya tidaklah sejalan dengan ajaran agama, sistem pengendalian diri yang bersumber pada ajaran Tri Kaya Parisuda, pada saat ini tidak banyak orang yang mampu menerapkannya dengan berbagai alasan kondisi situasional. Penerapan berpikiran yang baik, saat ini sangat sulit dilakukan karena berbagai intrik pribadi maupun kelompok yang membentuk konfigurasi yang kompleks, sehingga manusia merasa saling berebut pembenaran untuk mencapai tujuan yang dianggap paling benar. Penerapan berkata yang baik sesungguhnya sulit juga dilakukan, tutur kata seseorang ibaratkan dapat membunuh orang lain meskipun tidak menyentuhnya secara phisik sedikitpun, tutur kata yang bijak menurut kelompok yang satu, belum tentu baik menurut kelompok yang lain, sehingga sulitlah berkata yang baik. Penerapan bertindak yang baik adalah hal yang lebih sulit lagi dijaman kali yuga ini. Sudah banyak hal-hal yang baik dilakukan misalnya kegiatan keagamaan, tirtayatra, korban suci dan yadnya yang menghabiskan biaya jutaan rupaih, tablik akbar, misa Gereja. Begitu juga banyak buku-buku agama yang tersedia sangat lengkap di mana-mana dan telah kita baca. Demikian pula halnya dengan banyaknya acara kegiatan solidaritas antara sesama manusia, juga telah banyak dilakukan di bumi Nusantara ini. Meditasi yang khusyuk, telah dilakukan oleh para sahabat spiritual, tetapi kenapa kekacauan ini tiada nampak berakhir?
Ada orang sedang diberikan ujian suka, hatinya gembira, hartanya melimpah, anak-anaknya berhasil, keluarganya sejahtera, sementara ada orang yang sedang diberikan ujian duka, hatinya bersedih, terperosok dalam kemiskinan, segala usaha ekonomi gagal, keluarganya morat marit. Pada hakekatnya kedua situasi di atas sesungguhnya sedang menguji umat manusia. Itulah resiko hidup di dunia yang terikat dengan material.
Bangsa Indonesia sejak dasa warsa terakhir disibukan oleh kegiatan para penguasa atau pemimpin negeri ini yang secara logika teori bisa menjadi pemimpin yang bijak, menjadi contoh ketika dia berada di garis depan atau sebagai pembangkit motivasi dikala berada di tengah-tengah masyarakat dan menjadi pendengar setia ketika berada di balik layar. Tetapi apakah kenyataan yang kita jumpai, justru para penguasa memanfaatkan kesempatan itu untuk korupsi. Inilah fenomena yang terjadi di dunia material. Kegagalan dalam melaksanakan Catur Marga disebabkan karena segala perbuatan kita tidak menggunakan hati nurani di mana jiwa atman yang bersemayam di dalamnya. Kegiatan kegamaan yang nyata nampak, seolah semua itu telah sesuai dengan idealisme agama, namun kenapa kekacauan  tetap terjadi? Kedudukan yang baik dan terhormat, posisi kuasa yang strategis, semua itu merupakan ujian bagi diri kita sendiri. Hal hal yang terjadi yang menyimpang dari Dharma merupakan timbangan tanggung jawab kita di hadapan Hyang Widhi sebagai pencipta alam raya semesta yang tengah memberikan ujian kepada kita.
Karma kita tidak bisa terhapus karena hal-hal baik ataupun buruk, tetapi semua saling mengisi dan sangat menentukan nilai perjalanan secara evolusi tentang atman. Kedudukan baik dan kesempatan baik hanyalah media uji kita, pada situasi demikian, kita harus menolong diri kita sendiri, karena ujian yang diberikan semakin sulit. Tindakan adharma adalah cerminan bagi kegagalan ujian kita, kegagalan ini harus dipertanggung jawabkan seperti yang tertuang dalam hukum karma. Pertanggung jawaban itu dapat saja datang ketika kita masih hidup di dunia, misalnya sang koruptor dapat dijebloskan ke dalam penjara, atau setelah kita tiada, sehingga dengan perbuatan yang asubha karma dapat mengakibatkan samsara, masuk neraka atau menjelma menjadi makhluk yang derajadnya lebih rendah.
Dengan demikian bahwa prinsip dengan hidup yang singkat, pergunakanlah sebaik-baiknya untuk merubah nasib kita di dunia material pada kehidupan yang akan datang. Kita sesungguhnya tidak menolong dunia, tetapi kita menolong diri kita sendiri, maka tolonglah diri kita sendiri selagi kita beruntung menjadi manusia yaitu dengan menyebarkan kebajikan, memberikan cinta kasih, bekerja tanpa pamerih untuk kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia./f-igst
Semoga berguna,
Om Santih, Santih, Santih, Om

Tuhan Ada Dimana-mana
 





oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa, 01 Agustus 2007
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Viapi viapaka nirvikara, artinya Tuhan atau Hyang Widhi Wasa itu ada dimana-mana, maka dari itu kita jangan mempersempit keyakinan kepada Tuhan, dengan beranggapan bahwa Ia hanya berada di tempat tertentu. Kita harus menghayati bahwa Tuhan itu di mana-mana. Bagaimana kita dapat mengembangkan perasaan ini? Seperti yang dikatakan oleh para pelajar, mahasiswa, masyarakat beragama dalam doa mereka, bahwa selalu meyakini diri bahwa Tuhan ada di dalam dan di luar.
Jika Tuhan hanya berada di dalam, maka kesucian batin diperlukan, itu sudah cukup. Karena Tuhan juga berada di luar, maka, maka kesucian lahir juga diperlukan. Dengan demikian, karena Tuhan berada di dalam dan di luar, kita perlu memiliki kesucian lahir dan batin. Kemudian barulah kita dapat menghayati kemaha-kuasaan Tuhan.
Apakah yang dimaksud dengan kesucian lahir ini ? Sudah tentu kesucian lahir ini, menyucikan (membersihkan) badan dengan memakai pakaian yang bersih. Akan tetapi ada arti yang lebih luas. Tempat tinggal kita harus bersih. Buku-buku yang kita baca harus tetap bersih. Baik badan ataupun pikiran kita jangan dibiarkan menumpuk kotoran dan sifat-sifat yang buruk. Pernyataan bahwa kita harus mandi dua kali setiap hari, berarti setiap kotoran pada badan dan dalam pikiran harus dibersihkan.
Bila kita mempunyai keyakinan yang kuat, bahwa prinsip ketuhanan yang sama ada di setiap hati manusia, maka segala hambatan akan bisa diatasi. Bila kita percaya sepenuhnya pada Tuhan yang bersemayam dalam diri kita, maka segala sesuatu apa saja akan menjadi milik kita. Keyakinan merupakan kunci dan dasar akar kehidupan spiritual. Peganglah prinsip itu. Itu tujuan kita bersama.
Jika kita ingin menebang pohon, kita tidak perlu memotong cabang-cabang dan daunnya. Jika kita memotong akarnya, seluruh pohon akan tumbang. Jika kita memegang prinsip ketuhanan itu, semuanya akan dapat kita selesaikan. Agar kita dapat menghayati ketuhanan yang berada di mana-mana dalam kehidupan kita sehari-hari, kita harus melaksanakan sadhana, mengembangkan rasa belas kasihan kepada semua makhluk. Juga kita harus meningkatkan kesucian lahir dan batin, menjaga agar jasmani dan rohani selalu bersih cemerlang. Hanya dengan demikianlah kita akan dapat menyadari prinsip ketuhanan yang ada di mana-mana.
Semoga berguna,
Om Santih, Santih, Santih, Om

pakah Itu Cinta?
 





oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa, 24 Juli 2007
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia, untuk lebih memahami makna cinta, kita mestinya bisa bercermin kepada reaksi dan keadaan yang ada di sekitar kita. Lihatlah bunga mawar, mungkinkah bunga mawar itu mengatakan: “Saya akan memberikan keharumanku hanya kepada orang yang berhati baik dan tidak kepada orang yang berhati jahat" ?. Dapatkan kita membayangkan sebuah lampu menolak bersinar karena akan dipakai oleh orang jahat ?. Lampu dapat melakukannya hanya kalau ia berhenti menjadi lampu. Lihatlah sebatang pohon tanpa pilih kasih memberikan tempat berteduh bagi setiap orang, baik dan buruk muda dan tua, tinggi dan rendah, kepada binatang, manusia,dan setiap makhluk hidup, bahkan kepada orang yang siap siap menebangnya. Jadi inilah sifat pertama dari CINTA yaitu tidak membeda-bedakan.
Sifat CINTA yang kedua adalah cuma-cuma atau tanpa pamrih. Seperti pohon, mawar dan lampu, cinta itu memberi dan tak meminta balas jasa. Betapa kita memandang rendah kepada pria yang memiliki istri bukan berdasarkan sifat yang dimiliki calon istri, melainkan jumlah uang yang dibawa sebagai mas kawinnya. Pria semacam itu hanya mencari keuntungan finansial yang dibawa wanita itu, bukan mencintai wanitanya.
Apakah cinta Anda berbeda bila Anda sendiri mencari teman yang memberikan kepuasan emosional dan menghindari yang tidak, bila kita bersifat baik kepada orang orang yang memenuhi keinginan dan harapan-harapan kita dan bersikap negatif dan tidak acuh terhadap mereka yang tidak? Dalam hal ini hanya ada satu yang kita perbuat untuk mencapai cinta yang tanpa pamrih itu, yaitu dengan jalan membuka mata dan melihat. Cukup melihat saja, menyingkapkan apa sesungguhnya yang selama ini kita sebut cinta. Apakah hanya sebagai kamuflase atas egoisme dan keserakahan kita saja?. Dengan melihat, kita mengambil langkah besar ke dalam Cinta yang tanpa pamrih.
Sifat CINTA yang ketiga adalah ketidak-sadaran diri. Cinta begitu membahagiakan, dengan mencintai, orang tidak sadar akan dirinya. Seperti lampu yang senantiasa bersinar tanpa perduli bermanfaat atau tidak. Seperti bunga mawar yang menebarkan keharumannya begitu saja tanpa peduli ada atau tidak orang yang mencium keharumannya. Seperti pohon yang memberikan keteduhan.
Cahaya, keharuman, dan keteduhan ada bukan karena ada manusia atau mati bila tidak ada manusia. Mereka ini, seperti juga cinta, lepas dari manusia. Cinta begitu saja ada, tanpa perlu memiliki obyek. Merekapun begitu saja ada, terlepas apakah mereka menguntungkan seseorang atau tidak. Jadi mereka tidak mempunyai kesadaran akan mendapatkan nilai atau berbuat baik. 
Sifat terakhir dari CINTA adalah bebas. Saat paksaan, kendali, atau konflik muncul, cinta bisa mati. Pikirkan bagaimana pohon, mawar, dan lampu membiarkan kita sungguh-sungguh bebas. Pohon tidak akan berusaha menarik kita ke dekatnya untuk berteduh, biarpun kita berada di terik matahari. Lampu tidak akan memaksakan cahayanya biarpun kita sedang terseok-seok dalam kegelapan.
Pikirkan sejenak saat-saat ketika kita menyerah pada paksaan dan kendali orang lain, karena ingin bertindak sesuai dengan harapan mereka dalam usaha membeli cinta dan penerimaan dari mereka, atau karena kita takut kehilangan mereka. Setiap kali kita menyerah pada kendali dan paksaan, kita akan merusak kemampuan kodrati kita untuk mencintai, karena kita hanya dapat melakukan apa yang orang lain – dengan seijin kita – lakukan terhadap diri kita. Oleh karena itu renungkanlah semua kendali dan paksaan dalam hidup kita. Kiranya perenungan itu sendiri akan menghancurkan kendali dan paksaan. Saat paksaan dan kendali itu hilang, kebebasan akan muncul. Kebebasan adalah kata lain untuk CINTA. 
Semoga berguna,
Om Santih, Santih, Santih, Om

Makna Hambatan dan Tantangan Agama Hindu
 





oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa, 22 Juni 2007
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia, Sastra Bhagawad Gita menjelaskan, bahwa kita mestinya mencari Tuhan yang bersemayam di dalam hati. Disebutkan pula bahwa orang yang Kucintai ialah orang yang tidak mementingkan diri sendiri, melepaskan segala keterikatan, dan bersikap sama dalam suka dan duka. Hal ini sangat sulit bagi orang awam yang mencari kebenaran untuk mencapai keseimbangan seperti itu dan untuk melepaskan diri dari keterikatan serta rasa keakuan. Apalagi orang-orang yang sudah memasuki masa grehasta, hal ini hampir tidak mungkin. Mereka dapat memuja Tuhan melalui berbagai jenis pemujaan, namun sangat sulit bagi mereka untuk menghancurkan keakuan dan menghilangkan rasa individualitas.
Hal ini merupakan tantangan yang sedang kita hadapi sebagai umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari. Uraian berikut merupakan ilustrasi, bahwa bagaimana kita melihat dimensi keberadaan tentang agama Hindu secara umum. Sebagai agama yang amat tua, yang memiliki pandangan yang amat luas, dengan kondisi sosial budaya dan ekonomi yang masih dalam garis kemiskinan dengan latar belakang sejarah pertumbuhannya yang khas, umat Hindu benar-benar mendapatkan satu tantangan yang cukup serius dan besar.
Agama itu sendiri sudah merupakan satu ilmu tersendiri yang harus dipahami terlebih dahulu agar dapat diterapkan secara tepat guna, khususnya dalam proses membangun bangsa dan membangun masyarakat seutuhnya, sehingga pemahaman doktrin-doktrin ajaran agama Hindu perlu mendapat perhatian secara khusus. Kemajuan teknologi dan sains, yang dihadapi manusia merupakan satu tantangan tersendiri yang dihadapi oleh umat manusia sehingga tidak jarang manusia yang kurang menyadari penting artinya agama lebih meremehkan agama dari pada ilmu teknologi.
Karena itu timbul anggapan seakan-akan yang paling penting dalam pembangunan sains dan teknologi itu saja tentunya kurang tepat. Timbulnya anggapan seperti itu pada mulanya bersumber pada satu pengertian bahwa agama hanya bersifat mistik, yang hanya mendidik orang untuk hal-hal yang tidak praktis, hanya melakukan ritual, untuk berdoa dan berdiam diri atau meditasi tanpa melakukan aktifitas. Ini dilihat jika ajaran agama Hindu sebagai ajaran yang mengajarkan Nivrtha marga saja atau ajaran yang mengajarkan untuk mengenal moksa saja. Tetapi kenyataannya ajaran agama Hindu memperhatikan pula soal-soal duniawi, seperti soal keselamatan, soal politik, soal ekonomi, sosial budaya, pengobatan yang semuanya dilakukan dengan humanisme.
Sifat kepekaan agama itu perlu dengan catatan terarah, karena apabila tidak terarah, setiap kemajuan yang timbul dalam agama akan ditentang sendiri oleh umatnya. Dalam abad perkembangan sains dan teknologi, sudah selayaknya kalau pendalaman ajaran agama sudah diarahkan pada pola berpikir kearah pada reorientasi penghayatan ajaran agama itu sendiri dan melihat ajaran agama Hindu sebagai suatu ilmu kebijakan.
Kalau agama Hindu harus kita pelajari tidak hanya sebagai keyakinan, tetapi juga sebagai ilmu, maka cara pendekatannyapun harus diarahkan sebagai satu ilmu yang dapat membantu manusia dalam mencapai tujuannya. Dari hasil penelitian para peneliti ada beberapa kesimpulan bahwa agama Hindu kalau dibahas secara mendalam dan meluas, membahas berbagai bidang ilmu, seperti:
  • Masalah alam semesta
  • Struktur dan bentuk materi
  • Makna dan kedudukan waktu
  • Sifat alam pikiran
  • Evolusi manusia
  • Sejarah manusia dilihat pada jangka waktu
  • Masalah hidup dan mati dan hidup setelah mati
  • Pengendalian pikiran dan badan jasmani
  • Pengendalian Panca Maha Bhuta
  • Pengetahuan politik dan ekonomi
  • Psikologi
  • Teori pengetahuan
  • Cara kerja
  • DLL
Dengan demikian, pada hakekatnya agama Hindu merupakan lebih dari sekedar beragama atau agama biasa dalam arti tradisional. Banyak ilmu yang masih perlu dan yang dapat kita pelajari dan kembangkan untuk dapat diabadikan bagi kepentingan pembangunan, sebagai bentuk pelayanan yang tulus dan ikhlas.
Semoga berguna,
Om Santih, Santih, Santih, Om

Aktualisasi Ajaran Tri Kaya Parisuda
 





oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa, 05 Mei 2007
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia, Ajaran Hindu yang sejak dini diajarkan, sejak kita duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 2 adalah Tri Kaya Parisuda. Semua diantara kita tahu bahwa ajaran itu sangat luhur, terpujilah para maha Rsi yang bijaksana yang telah menerima Wahyu dari Tuhan Yang Maha Pengasih, Hyang Widhi Wasa, dan sampai saat ini kita warisi. Sungguh mudah dikenal dan diucapkan setiap kali berhadapan dengan sebuah tatatan etika, moral dan budi pekerti. Di dalam lubuk hati nurani yang paling dalam ada kristal mutiara, dan sesungguhnya mutiara itu adalah sebuah manifestasi yang kita kenal dengan Tri Kaya Parisuda yang pembagiaannya adalah MANACIKA, WACIKA DAN KAYIKA.
Berikut adalah sebuah penjabaran dari masing-masing bagian yang wajib kita aktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam upaya mencari jati diri dan pencapaian Loka samgraha, serta sebagai sarana untuk mengantarkan evolusi jiwa kepada keutamaan roh di masa depan, dari lingkungan yang paling kecil yaitu di keluarga, umat, masyarakat umum, nusa dan bangsa.
Manacika
Manacika adalah pikiran, secara umum kita sebagai umat Hindu dituntut untuk bisa berpikir yang baik dan benar. Dalam kajian yang lebih luas berpikir yang baik dan benar adalah :
  • Berpikir positif
  • Berpikir Bersih
  • Berpikir jernih
  • Berpikir Obyektif
  • Berpikir yang bermanfaat.
Wacika
Wacika adalah perkataan, secara umum kita sebagai umat Hindu dituntut untuk bisa berkata atau berwacana yang baik dan benar. Dalam penjabaran yang lebih luas yang dimaksudkan berkata yang baik dan benar adalah sebagai berikut:
  • Mengandung makna yang baik dan mulia
  • Menggunakan kata dan kalimat yang sopan
  • Diucapkan secara baik dan jelas
  • Menggunakan suara yang dapat didengar secara jelas dan enak
  • Terbatas pada hal-hal yang perlu saja
  • Tidak menimbulkan kesalah pahaman dan kemarahan orang lain.
Kayika
Kayika adalah perbuatan, secara umum kita sebagai umat Hindu dituntut untuk bisa berbuat atau melakukan aktifitas yang baik dan benar. Dalam kajian yang lebih luas yang dimaksud dengan berbuat yang baik dan benar adalah sebagai berikut:
  • Melakukan sesuatu untuk keperluan memenuhi kewajiban, memberi manfaat, memperoleh kebajikan, mencapai kesejahteraan dan untuk keselamatan.
  • Mengacu pada nilai nilai agama, budaya, hukum dan alat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan nilai nilai lainnya.
  • Kepentingan diri sendiri dan orang lain diletakan secara proporsional, adil dan bermartabat.
  • Dilakukan secara tertib, teratur dan sopan.
  • Dapat mencapai tujuan, tanpa melanggar aturan dan tidak menimbulkan gangguan dan kerugian.
Batasan Trikaya Parisuda yang dimaksudkan dalam ajaran Hindu yang telah kita terima dari catur kang sunengguh guru adalah seperti yang disebutkan diatas, namun ada hal hal yang masih berhubungan dengan hal tersebut yang secara implisit terkandung makna yang luhur di dalamnya. Adapun hal hal yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
Sikap
Sikap menyangkut attitude dalam upaya mencapai tujuan yang hendak dicapai. Bagaimana cara kita bersikap sebagai seorang umat Hindu adalah sebagai berikut:
  • Selalu berpihak pada keadilan, kebenaran dan kebaikan
  • Mendorong terjadinya penyelesaian masalah, dengan semangat persatuan, kerukunan dan kebersamaan.
  • Sopan, ramah, dan rendah hati.
  • Sabar.
  • Simpatik dan tidak sombong.
Penampilan Pakaian
Dalam tata cara berpakaian keseharian ada hal hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: 
  • Bersih dan rapi
  • Bersahaja dan sopan
  • Tidak menimbulkan gangguan dan masalah lingkungan
  • Tidak melanggar ketentuan agama, nilai budaya dan adapt istiadat setempat.
  • Cocok dengan suasana, tempat dan waktunya.
Di Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan satu kesatuan utuh yang terkecil dikenal sebagai masyarakat inti kalau ditinjau dari ilmu sosiologi kemasyarakatan. Bagaimana seharusnya, agar keluarga bernuasa dan bervibrasi agamis.
  • Suasana keluarga tenang, tentram, saling mencintai dan berkasih sayang.
  • Menghuni tempat tinggal yang jelas dan legal.
  • Mempunyai sumber nafkah dari hasil kerja yang jelas, sah dan didapat berdasarkan dharma.
  • Dapat hidup bertetangga secara rukun, damai dan saling membantu.
  • Menjadi unsur masyarakat yang positif dan tidak menimbulkan masalah.
Di Tempat Kerja
Bagi seorang karyawan, tempat kerja adalah tempat kedua setelah kita melewati fase di keluarga. Tentunya seorang karyawan mempunyai atasan, bawahan dan teman sejawat. Lingkungan seperti ini sangat riskan terhadap timbulnya rasa cemburu sosial. Bagaimana kita sebagai umat Hindu yang dituntut mampu mengaktualisasikan rasa saling asih, saling asuh dan saling asah di tempat kerja. Berikut ini adalah sebuah tip yang perlu diperhatikan.
  • Disiplin dan produktif
  • Rajin dan trampil
  • Mampu bekerja sama
  • Saling menghargai
  • Menjaga nama baik
  • Tidak menimbulkan masalah
Di Tempat Tinggal dan Tempat Umum
Kita semua menginginkan tempat tinggal dan lingkungan baik dan tertata rapi, apik dan menawan. Begitu juga ketika kita berada di tempat umum, misalnya mall, terminal, tempat rekreasi, dll. Seorang umat Hindu harus mampu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  • Mengetahui dan memahami bahwa setiap orang mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama.
  • Tidak mengganggu ketertiban dan selalu menjaga keselamatan orang lain
  • Menghormati tetangga dan tamu
  • Tidak merusak dan mengotori berbagai fasilitas yang ada.
  • Mengetahui dan memahami bahwa kemanan, kenyamanan dan keselamatan adalah tanggung jawab bersama
  • Peduli terhadap berbagai hal yang mengganggu keamanan, kenyamanan dan keselamatan serta berusaha mencegahnya.
Semoga berguna,
Om Santih, Santih, Santih, Om

Berburu Para Dharma, Penyesalan Tiada Berguna
 





oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa, 03 Februari 2007
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia, Setelah beribu-ribu tahun lamanya hidup sebagai mineral, bakteri, binatang melata, binatang berbisa, binatang buas, hewan piaraan, akhirnya sang jiwa mencapai kehidupan sebagai manusia. Maka dengan demikian jangan pernah menyia-nyiakan hidup sebagai manusia, karena selain langka juga melalui perjuangan yang sangat panjang. Evolusi jiwa itu telah mengalami pengambilan bentuk berulang dan waktunya ribuan tahun.
Kita pergi ke dunia fana ini bagaikan pergi piknik, karena waktunya sangat singkat, dalam tempo waktu ke depan yang tidak bisa diprediksi kita pasti akan mengalami kematian. Itu sudah pasti saudaraku. Nah kemudian apa yang perlu kita persiapkan untuk menunggu kematian itu? Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan dan dibarengi oleh kejenuhan akan mengakibatkan ketidakseimbangan dalam jiwa, pikiran dan badan biologis kita. Ketika itu tidak seimbang, maka akan terjadi goncangan yang maha hebat yang merusak partikel energi tidak teratur. Molekul berhamburan sampai mengganggu pusat syaraf. Intimidasi pikiran yang dipengaruhi oleh kegiatan berburu pada para dharma, ketertarikan pada kegemerlapan duniawi akan menjadi toksin berat dan beracun dalam kesinambungan dan keharmonisan hidup.
Terlena dengan para dharma akan mencelakakan jiwa ke dalam lembah nestapa. Hal ini tidak kita inginkan karena jiwa akan reset kembali pada kehidupan yang lebih nista. Berbanding terbalik dengan tujuan agama Hindu yakni mencari kedamaian yang nan abadi, alam nirwana dan menyatunya atman dengan paramatman.
Coba kita hitung dan cermati dalam kehidupan yang telah kita lalui, berapa persen kegiatan itu untuk memikirkan pendekatkan kepada Tuhan, berapa persen hanyut dalam kegiatan para dharma? Berapa waktu yang kita pakai untuk tidur? Dari situ kita akan mendapat gambaran bahwa waktu kita sangat singkat. Tunggu apalagi, mulailah dengan secara terus menerus menyelami kehidupan dengan menjalankan kewajiban swadarma, dengan ikut partisipasi aktif dalam kegiatan kerohanian, apapun wujud productnya sejauh untuk penerapan dan pencapaian lokasamgraha, itu akan mendapatkan pahala pada peningkatakan pada sang jiwa kea rah yang lebih baik dan utama.
Kegiatan swadarma yang dimaksud adalah mulai mengenali diri sendiri, siapakah sebenarnya diri kita dan apakah tujuan kehadiran kita di dunia ini? Saudaraku, belum ada kata terlambat, meskipun bagaima keadaan kita sekarang. Misalnya kita bergelut menjalani kehidupan di rumah tangga dengan berbeda pandangan, apalagi prinsip agama masih berbeda. Bagaimana pengaruh orang ke tiga dalam kehidupan grehastem paricarya pradipa. Kesulitan yang dialami bak di kawah candra dimuka, betul betul mengalami treatment dalam suka dan duka, suka tan pawali duka.
Meskipun begitu, kita hendaknya tak pernah lupa dengan Tuhan, seperti bunga teratai yang hidup di air yang penuh Lumpur, dia tidak terpengaruh, tetap mempersembahkan bunga yang indah warna warni, dan seaatpun tidak pernah lupa dengan rembulan di atas sana, kerinduannya kepada bulan tak pernah pudar. Begitu juga kewajiban kita sebagai umat Hindu melalui pelaksanaan palemahan, pawongan, dan parahyangan serta kawitan pada leluhur, janganlah diabaikan. Karena sekali lupa, maka hal itu akan menjadi kebiasaan.. Begitu juga karena kita berada jauh dari orang tua, kadang ayah dan ibu bertanya tentang kesehatan kita, keselamatan kita, dan bagaimana kita melaksanan kewajiban agama di rantauan? Apabila berbeda pandangan prinsip sedang berkecamuk dalam kehidupan rumah tangga kita, apakah kita mesti berbohong kepada guru rupaka itu? Misalnya dengan mengatakan Istri saya sangat setia, patuh menjalankan ajaran agama Hindu. Saya pikir itu adalah bagian dari kemunafikan yang tidak akan mendapat manfaat dalam kehidupan mendatang.
Apa yang kita pikirkan, apa yang kita katakan dan apa yang kita perbuat, sesungguhnya itulah kita. Ketika kita berpikir untuk membual dan berbohong kepada siapapun juga sebenarnya kita dengan tanpa di sadari telah berada di jalur neraka. Apalagi ditambah dengan sadar kita tidak melasanakan swadarmaning agama, artinya kalau kita proklamirkan diri sebagai umat Hindu, maka kewajibannya apa saja, silahkan inventarisasi.
Ketahuilah, bahwa penyesalan di kemudian hari tiada berguna, karena setiap hari kita mengalami defisit atau energi negatif dalam bentuk perbuatan yang sifatnya penolakan dengan suara hati nurani. Kita harus mengarahkan pada sistem deposito yang selalu menjadi debet atau nilai plus pada setiap pikiran, perkataan dan perbuatan yang baik dan benar, sesuai dengan Tri Kaya Parisuda.
Ingatlah mulai sekarang, janganlah hanya mementingkan kegiatan para Dharma tetapi pusatkan pikiran menuju pada kegiatan swadarma. Yakinlah pada diri kita sendiri, kalau menjalankan tugas sebagai kewajiban memalui penjabaran nilai nilai luhur keagamaan, maka kebebasan pasti akan kita raih dengan suskes gemilang.
Semoga berguna,
Om Santih, Santih, Santih, Om

Tanda-Tanda Kehidupan Jaman Kali Yuga
 





oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa, 18 Desember 2006
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia, Beginilah sifat yang menonjol dari orang-orang yang hidup di jaman kali yuga. Jika ada seseorang yang sebelumnya tidak sepatah katapun, akhirnya berkat seorang guru suci dan arif, ia menjadi pandai , tetapi waktu ditanya oleh orang lain akan pongah berkata,”Bukan pendeta ini atau itu yang mengajarkan ajaran ini kepada saya tetapi memang ajaran ini saya telah ketahui sendiri dari dulu”.
Dapatlah kita katakan bahwa sudah demikianlah sifat dari orang-orang dijaman kali yuga. Jika seseorang seperti tadi setelah meninggal dan sudah selesai menikmati alam baka semua hasil perbuatan di masa lampau, yaitu hasil perbuatan yang baik maupun buruk, nantinya akan lahir dalam golongan swanayoni, yaitu menjadi anjing. Jika anjing itu mati menjelma lagi menjadi orang candela.
Bagaimanakah sifat-sifat orang candela? Beginilah sifat sifat dan tingkah laku orang cendala : Ia dilahirkan di jaman kali yuga. Ia suka menjahati orang –orang yang tidak bersalah. Ia menuduh jahat orang – orang baik. Dan ia jahati orang – orang suci. Ia tipu para pendeta, ia bunuh orang orang budiman. Ia mencuri. Ia suka menganiaya. Perangainya kasar dan pemarah. Ia suka merampok. Ia membegal. Ia membunuh. Ia suka memancung dengan keris. Ia pandai membuat racun dan suka meracuni orang.
Ia melakukan sihir dan menjadi leak jadi-jadian, memasang guna – guna, suka memfitnah dan menggunakan kata – kata keji yang tak patut didengar telinga, selalu memasang mata kepada orang kaya, dengki kepada orang – orang yang berbahagia, ingin pada milik orang lain, tidak ambil pusing pada orang orang melarat, dan sering menghina orang orang pertapa serta menjelek-jelekan dharma. Ia melakukan delapan macam perbuatan jahat, k depalan macam pencurian dan keenam penganiayaan.
Ia cendrung membunuh sapi, orang Brahmana, Sarjana, Rsi, pengikut Siwa dan Budha. Ia juga tidak segan membunuh guru dan orang tua. Ia merusak tempat suci dan mengambil segala harta benda yang ada di dalamnya. Ia tidak segan menganiaya guru dan para siswanya. Kalau ia laki –laki ia lebih suka beristri laki – laki ( homoseks ) Kalau ia perempuan ia lebih suka besuami perempuan ( lesbian). Ia melakukan perkosaan terhadap ibunya, memperkosa anak kandungnya sendiri. Tidak pemerintah dan tidak ada pendeta baginya, tidak ada tempat memuja leluhur baginya, dan tidak ada tempat pemujaan Tuhan.
Itulah perbuatan – perbuatan pemusnah di jaman kali yuga. Tidak ada tinggi dan rendah. Seluruh dunia diamuk oleh bencana alam dan angina taufan. Tanam-tanaman palawija hampa dan mati. Di seluruh Negara ada peperangan, perang saudara. Petani-petani dalam kesedihan, adapt dan agama selalu dirusak dan dilangar, kota kota hancur. Segala penyakit menular menjangkit. Timbul wabah penyakit influenza dan desentri. Di samping itu di mana-mana terjadi kebodohan, anak-anak jadi bangga atas keberaniannya melanggar hokum dan pentunjuk orang tua, tidak hormat ditunjukan kepada orang tua, keluraga dekat atau keluarga besar. Semuanya menggelisahkan dan membingungkan.
Demikianlah keadaan pikiran manusia pada jaman kali yuga yang sudah berlarut larut. Dan bagi mereka yang berbudi luhur dan mempertahankan keluhuran dharma, janganlah hendaknya bergaul dan berminat pada perbuatan jahat manusia jaman kali yuga, untuk menghindari neraka.
Satyam Evam Jayathe,
Om Santih, Santih, Santih, Om

Mewujudkan Misi Kehidupan
 





oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa, 16 Desember 2006
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia, Hindu menawarkan sebuah konsep tentang kesejahteraan hidup lahir dan bathin yaitu loksamgraha dalam kehidupan ini. Untuk mencapai tujuan itu kita harus mempunyai visi dan misi yang dasar referensinya dari kitab suci Weda. Apakah hal itu dalam Weda? Apakah nama ajaran itu yang akan mampu membuahkan kebahagiaan dan kedamaian?
Secara akumulasi bahwa ajaran itu tidak merupakan inti yang berdiri sendiri, melainkan adalah suatu tahapan dan tahapan ini ada dalam Catur Warga, dimana yang Pertama adalah Dharma yang mengandung makna sebagai landasan dasar pondasi agar dalam pencapaian berikutnya tidak terkontaminasi oleh kegiatan yang bertolak belakang dari dharma atau adharma. Untuk pengetahuan Brahma widya patut diikuti dan dilaksanakan dengan cara berguru kepada para guru spiritual yang bisa diperoleh dari bangku sekolah formal atau non formal berupa pengayaan akan ilmu pengetahuan keagamaan. Yang kedua adalah artha yang artinya sebuah konsep agar kita memiliki pangan, sandang dan papan, kita cari itu dengan berdasarkan dharma. Dalam tahapan ini dunia materi sangat signifikan berpengaruh dalam hidup.
Kita wajib tahu dalam tahapan ini kita berada dalam zona para dharma. Harus dipahami dan diberikan makna bahwa akan ada sejuta godaan dalam pencapain harta material. Yang ketiga adalah Kama yaitu keinginan akan sesuatu, sebuah nafsu akan kepemilikan sesuatu. Pengendalian diri dalam tahapan ini unsur kemelekatan, kalau dasarnya tidak kokoh maka karakter yang telah dibangun berdasarkan dharma akan cepat runtuh, tetapi kalau tetap berpegang teguh dengan ajaran dharma, maka kita akan lulus dari ikatan duniawi. Nah yang keempat adalah moksa yaitu suatu konsep yang ditawarkan oleh Hindu tentang pembebasan menuju kedamaian yang abadi.
Bagaimana upaya kita dalam hal, kita akan dihadapkan pada persoalan baru, karena dharma telah dimiliki, artha sudah ada di tangan, dan keinginan sudah terpenuhi. Tinggal sekarang bagaimana caranya melepaskan semua itu agar diri kita menjadi kosong kembali. Tidak sedikit orang terjerumus ke dalam kubangan harta yang melimpah, bukan bahagia yang akan ditemui tetapi malah tali pengikat semakin kuat dan besar. Kewajiban kita adalah melepaskan meskipun agak berat tetapi kita pahami hukum rta bahwa semua harta yang kita miliki adalah titipan dan tiba saatnya untuk diberikan kepada orang lain atau pada keturunan yang wajib menerimanya.
Dari rangkaian analisa di atas perlu adanya penjelasan yang lebih kongkrit dan kita kita kenali sarana apakah yang kita miliki untuk tujuan itu? Media apakah yang kita miliki untuk tujuan mulia itu?
Kita memiliki otak sebagai sarana dan media yang terdiri dari tiga bagian penting, yaitu otak sadar, yang terletak dibelahan kiri, otak bawah sadar, serta celah dan tempat penyimpanan ingatan yang terletak antara belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Menurut para ahli neorologi dunia, otak sadar manusia berfungsi untuk menganalisa dan membuat formulasi secara logis. Ia bekerja pada saat kita sedang tidak tidur. Sedangkan otak bawah sadar manusia berfungsi untuk mengolah dan menyalurkan yakni pancaran sinar penerangan bathin berupa bayangan yang di dalamnya ada ide-ide, visi dan misi dan pengetahuan secara intuitif kepada otak sadar. Otak bawah sadar sering dikenal sebagai ruang bisikan hati nurani dan ruang imajinasi baik kreatif maupun inovatif. Dorongan untuk bertindak adalah kapasitas dari alam otak bawah sadar. Lain dengan otak sadar, bahwa otak bawah sadar akan bekerja selama 24 jam sehari, meskipun kita sedang tidur.
Jadi bila kita berhadapan dengan berbagai persoalan yang belum dapat dibayangkan atau digambarkan secara utuh, kita dapat merekam persoalan – persoalan itu ke dalam ingatan. Kemudian hasil rekaman ini secara alami akan diproses dengan sendirinya oleh otak bawah sadar, walaupun kita sedang tidur nyenyak. Otak bawah sadar manusia berfungsi sebagai media penghubung antara energi alam sejati manusia dengan energi alam abadi, atau sesuatu yang terbatas dengan sesuatu yang tak terbatas, di mana melalui bantuan otak sadar, semua bayangan yakni visi dan misi dan pengetahuan yang tidak terbentuk dari otak bawah sadar dapat diformulasikan secara logis atau dijelmakan di dalam sesuatu yang terbentuk, yang dapat ditangkap atau dirasakan oleh panca indra.
Keberadaan dan ketidakberadaan itu saling menghasilkan, maksudnya sesuatu yang berada itu dihasilkan oleh ketidakberadaan, sebaliknya sesuatu ketidakberadaan itu dihasilkan oleh keberadaan.
Hal hal berikut perlu diwaspadai, bahwa hidup di dunia ini selalu dicemari oleh prasangka, egoisme, nafsu dan emosi yang akan meyulitkan kebanyakan orang untuk berpikir terbuka, bebas pada setiap aspek kehidupan. Tanpa berpikir terbuka bebas, orang tidak dapat melihat dengan jelas situasi kehidupan yang sedang dan akan berlangsung. Untuk menghindari kesalahan besar dalam pengambilan keputusan dan tindakan kita, hendaknya kita bekerja dengan total pikiran. Berarti dalam pengambilan keputusan dan tindakan , kita tidak boleh hanya mengandalkan logika, intuisi, atau ingatan saja, tetapi ketiga tiganya harus selaras dan seimbang, harmonis tanpa ada satupun diabaikan.
Pada saat suatu informasi yang masuk dapat diterima dan dinyatakan benar oleh logika, tetapi intuisi dari hati nurani belum yakin atau bahkan menolaknya, maka sebaiknya jangan terburu-buru mengambil keputusan, karena pasti ada sesuatu yang tidak benar dan cendrung akan menimbulkan masalah di kemudian hari.
Teknik motode yang ditawarkan oleh Hindu dari awal kehidupan ini sampai akhirnya nanti kembali dan berpisahnya antara jiwa dan raga, sudah barang tentu untuk mencapai kebebasan daru keterikatan atma dengan badan kasar. Untuk itu renungkanlah dari hal yang sangat sepele sampai kepada persoalan besar dalam kehidupan ini. Mungkin sejenak kita berpikir kenapa kita harus memikirkan pada hal yang tidak mesti harus dipikirkan? Karena sesuatu yang besar itu mulanya dari hal yang kecil dan sepele.
Uraian di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa perubahan itu adalah keabadian dan keabadian itu dari perubahan itu sendiri. Tahapan dan kendala hidup yang dihadapi, kita tuangkan dan godok serta sesuaikan dengan ajaran agama, jangan pernah berpaling, kewajiban kita mengikuti dan menuntun diri kita ke arah yang lebih baik. Di dalamnya mengandung visi dan misi dari kehidupan ini tetapi pada akhirnya semuanya menuju kepada sunialoka, suatu keadaan yang tenang nan abadi. Keterikatan itu sudah dilepas tanpa ikatan tali suka tan pewali duka kembali menjadi satu keutuhan yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini merupakan simbol keberhasilan dan kesuksesan hidup dengan menjalankan dan implementasi visi dan misi dalam hidup di dunia ini. Menyatunya ke dua zat inilah yang disebut dengan Moksartham Jaga ditha Caithi Dharma, menyatunya atman dengan paratmatman.
Satyam Evam Jayathe,
Om Santih, Santih, Santih, Om

Parisada, Generasi Muda, dan Konversi Agama
 





oleh: Drs. I Wayan Catra Yasa, 12 Oktober 2006
Sehubungan dengan pelaksanaan Mahasabha PHDI yang ke IX yang diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah dari tgl 14 – 18 Oktober 2006, maka pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan kepada generasi muda Hindu, sesungguhnya apakah yang disebut dengan Parisada itu?
Di dalam Kitab Manawa Dharmasastra Bab XII sloka 110 – 114 dinyatakan sebagai berikut:
Sloka110: “Bahwa Parisada dinyatakan sebagai kekuatan hukum yang sah dan tak seorangpun yang bisa membantahnya”.
Sloka 111: “Tiga orang yang masing-masing mengetahui satu bagian dari tiga pokok isi Weda, seorang ahli lokika, seorang ahli mamansa, seorang ahli nirukta, seorang yang menghafalkan lembaga dharma, ketiganya merupakan Parisada yang sah terdiri atas setidak-tidaknya sepuluh orang anggota”.
Sloka 112: “Seorang yang mengetahui Rg Weda, seorang yang mengetahui, Yayur Weda, dan seorang yang mengetahui Sama Weda, akan dikenal merupakan Majelis yang setidak tidaknya terdiri dari tiga anggota yang memutuskan hukum”.
Sloka 113: “Seorang Brahmana yang ahli dalam Weda harus dianggap mempunyai kekuatan hukum".
Sloka 114: "Walaupun ribuan Brahmana yang memenuhi kewajiban sucinya, yang tidak kenal dengan Weda dan hidup karena warnanya, daging, mereka belum dapat dikatakan Parisada untuk memutus perbedaan dalam dharma itu".
Begitu kira-kira petikannya, jadi Parisada sebenarnya adalah kumpulan Brahmana ahli yang duduk berhimpun memecahkan masalah agama. Parisada dimintai penjelasan dan keputusan tentang penyelesaian masalah–masalah kehidupan beragama.
Kita harus mengangkat kedua tangan dan memberikan aplaus kepada para Brahamana dulu ketika berhimpun dan bermusyawarah pada tahun 1959 di Campuan – Ubub - Bali untuk merumuskan sebuah nama yang diputuskan menggunakan nama PARISAD sebagai lembaga tertinggi agama Hindu.
Kemudian bagaimana lantas perkembangannya? Apakah masih boleh kita menyebut dengan istilah Parisad ketika lembaga ini berkembang ke seluruh penjuru nusantara, yang barangkali pengurusnya belum tentu ahli dalam Weda? Karena dalam sloka 115 disebutkan: “Dosa dari pada mereka yang bodoh menjelma ke dalam kegelapan dan tidak mengenal terhadap dharma, memerintahkan atas kewajibannya, jatuh seratus kali lebih dari pada orang-orang yang ahli akan itu. Apakah berarti berarti ada tantangan dan harapan bagi pengurus yang hukumnya wajib untuk belajar Weda sehingga dalam mengemban dharma dan aktualisasinya tidak menemui kendala dilapangan?
Semestinya kita kembali kepada jalur semula, jika lembaga tertinggi ini masih kita anggap sebagai prabawa berkarisma yang menjadi media di tengah-tengah pembinaan umat Hindu, yang kesuciannya ajeg tidak dikotori oleh muatan politik penguasa seperti terjadi pada masa lalu.
Lantas, bagaimana generasi muda Hindu harus bersikap?
Sebagai ujung tombak Hindu di masa depan, generasi muda Hindu diharapkan agar berusaha semaksimal mungkin peduli akan keberadaan Parisada dengan jalan mengikuti kegiatannya, dan pro aktif dalam usaha ikut pembinaan keagamaan di intern umat atau barangkali ikut bhakti sosial ketika kita melaksanakan kegiatan ekstern, sehingga peran serta bisa dirasakan, ambil azas manfaatnya sehingga ketika menginjak pada masa Grehastem tidak lagi merasa canggung untuk memberikan pelayanan kepada umat karena sudah terbiasa dari mudanya.
Pada masa brahmacari yakni masa menuntut ilmu pengetahuan, maka wajib juga dibarengi dengan mempelajari Weda, sumber dari segala sumber hukum suci dan diresapi dalam hati agar kita menjadi orang –orang yang budiman yang tidak pernah punya rasa benci maupun cinta yang berlebihan. Belajar Weda tidak mesti di pendidikan formal seperti UNHI. Bagi generasi muda Hindu yang sedang belajar di luar Bali, setidaknya ada buku Weda di dalam kamar, begitu dekat dan sebelum belajar ilmu yang lain hendaknya buku Weda dibaca terlebih dahulu paling lama 15 menit setiap harinya, sehingga memang benar bahwa ilmu yang akan didasari oleh ilmu pengetahuan yang bersumber dari Weda.
Kata kunci adalah aktualisasi brahmacari. Hendaknya dia melihat semua wanita sebagai perwujudan ibunya, begitu pula hendaknya dia melihat semua pria sebagai perwujudan ayahnya, maka dengan demikian kita akan dapat lebih mudah berkosentrasi untuk menutut ilmu pengetahuan sampai akhirnnya berhasil dan memperlihatkan prestasi belajar yang mengagungkan kepada orang tuanya sebagai salah satu catur guru bhakti kepada yakni guru rupaka. Keberhasilan ini akan menambah kebanggaan orang tua, sehingga anak siap dilepas ke tengah masyarakat tanpa menjadi sampah masyarakat. Orang tua mengharapkan agar anaknya dapat tumbuh berkembang sebagai generasi muda hindu yang militan yang mampu menjadi contoh dan corong cahaya keluarga.
Kontribusi yang diharapkan dari elite intelektual muda Hindu adalah bagaimana caranya mencari satu format baru agar Parisada menjadi organisasi yang modern yang menerapkan SWOT atau mengadopsi management yang bermutu dalam mengantisipasi persoalan yang dihadapi. Aktualisasi pemaknaan Tri Hita Karana harus dilaksanakan secara murni dan konskuen, bukan saja dalam batas wacana. Keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia sebagai landasan untuk ikut bermusyawarah untuk mencari mufakat.
“Om Hyang Widhi, kami berkumpul di tempat ini, hendak berbicara satu sama lain untuk menyatukan pikiran sebagaimana halnya para Dewa yang selalu bersatu”. Begitulah petikan dalam Rg Veda. Begitu juga hubungan antara manusia dengan alam di sekitar, seharusnya kita menjaga keseimbangan sehingga aksi dan reaksi berbanding lurus. Lebih-lebih pelaksanaan hubungan antara manusia dengan Tuhan / Hyang Widhi,.
“Jalan apapun yang engkau tempuh untuk mendekat padaKu, Aku terima dengan senang hati asalkan berlandaskan keheningan dan kesucian serta ketulusan. Petikan Bhagawadgita ini jangan diplesetkan untuk berpindah agama, bukan begitu makna yang dimaksud, melainkan menjalankan dengan baik dan benar tentang bhakti marga, jnana marga, karma marga dan yoga marga. Keempat jalan itu memang kontras namun sebenarnya sama tujuan yakni menuju kepada penyatuan dengan Brahman.


Melatih Diri Menjadi Lebih Sabar
 





oleh: SiPutu Sumardhaya, 21 September 2006
Peradaban modern melatih dan membuat kita selalu berkompetisi untuk menjadi lebih cepat. Apapun yang dilakukan dengan lebih cepat dan jika menghasilkan kesuksesan, akan menjadikan diri kita mendapatkan decak kagum dari orang lain. Yah begitulah tuntutan jaman modern yang serba cepat dan harus terburu-buru, sampai sampai kita tidak bisa melihat apa yang telah kita perbuat sampai detik ini. Bagi kita yang baru memulai karir baru di suatu perusahan, karena tuntutan kompetisi sudah harus memikirkan bagaimana memikirkan posisi atasan dalam 2 atau tiga tahun lagi. Bagi teman kita yang baru berumah tangga sudah harus memikirkan bagaimana cepat cepat punya anak atau bagi saudara kita yang baru menjadi pedagang, harus buru-buru mencari usaha baru yang lebih menguntungkan.
Tidak ada yang salah memang dengan kompetisi yang sangat cepat ini, hanya saja kalau kita larut didalamnya, kita akan mendapatkan diri kita berjalan sangat jauh, dan tidak bisa lagi mengingat makna dari tahapan yang kita lalui. Proses yang kita lalui akan menjadi gersang, dan kehilangan makna serta akan hilang dengan berjalannya fungsi waktu. Inilah apa yang disebutkan oleh orang tua perjalanan yang terburu-buru. Melihat makna dari langkah demi langkah yang kita jalani memerlukan sikap yang lebih sabar.
Tidak mudah menjadi sabar kalau kita tidak tahu apa yang harus kita sadari.Dalam Agama Hindu, sikap sabar dijabarkan begitu luhurnya dalam ajaran Panca Yama Brata. Sikap sabar hendaknya menjadi landasan spiritual didalam memandang masalah yang dihadapi. Orang yang sabar lebih banyak mendapatkan berkah dari yang tidak sabar. Tutur katanya akan dijaga dengan intonasi yang enak didengar. Ucapannya akan mengalir dalam wacika yang tidak mungkin akan menyakiti orang lain. Inilah yang akan membuat mereka yang sabar menjadi orang yang mulia dalam pemujaan kehadapan Hyang Widi, menyucikan sang Atman dalam diri dan diterima oleh orang lain karena ketulusannya.
Agama Hindu mengajarkan umatnya untuk menjadi orang yang sabar dan bersyukur, tidak dengan ucapan ucapan yang mubazir, tetapi melalui praktek praktek spiritual yang melatih Panca Karmendria dan Panca Budindria menjadi seorang yang satwika. Inilah ajaran Hindu Diet Code yang sangat dikagumi.
Kalau kita telusuri lebih jauh, banyak faktor yang mempengaruhi kita menjadi orang yang tidak sabar. Karma Wasana kita masa lalu, Pengetahuan kita tentang tatwa, minimnya pratek spiritual dan Keterikatan kita yang sangat besar adalah beberapa hal diantaranya.
Karma wasana kita di masa lalu sangat menentukan pola kebribadian yang kita miliki. Orang yang berasal dari kelahiran utama akan terpatri dalam dirinya awidya yang sangat sedikit sehingga melahirkan pola kepribadian yang lebih sabar. Akan tetapi bagi kita yang mungkin berasal bukan dari kelahiran utama, mungkin akan terpatri sikap sikap yang menonjolkan Rajas atau Tamas. Ajaran Hindu yang sangat luhur menganjurkan agar kita tidak perlu mempermasalahkan dari mana kelahiran kita, yang lebih diutamakan adalah bagaimana melatih pola kepribadian kita menjadi lebih satwika. Disinilah melatih lidah dan pikiran dengan Sadana dan Kirtan sangat dianjurkan. Semakin sering kita menyebut samaranam Tuhan, semakin lembutlah hati, pikiran dan ucapan kita serta awidya dalam diripun akan menipis.
Pengetahauan kita tentang tatwa dan susila yang sangat minim adalah masalah kedua kenapa kita menjadi orang yang tidak sabar. Mungkin sebagian besar dari kita menganggap ini adalah pernyatan klise, akan tetapi pengalaman empiris di keseharian menunjukkan saudara saudara kita yang berjalan di dunia spiritual Hindu mempunyai kesabaran yang sangat mengagumkan. Tingkatan jnana kita dan praktek spiritual kita yang membedakan tingkatan kesabaran kita. Kalau kita tidak pernah menyadari di tingkat mana kecerdasan spiritual kita, maka selamanya kita akan menjadi orang yang kerdil. Kerdil dalam arti kebijaksanaan kita dalam menyelesaikan masalah sangat rendah. Tidak sedikit persoalan yang dihadapi harus diselesaikan dengan Hati Nurani, bukan dengan Logika yang mengedepankan benar dan salah. Kalau sudah menyangkut Hati Nurani, hanya orang yang sabar dan memiliki kecerdasan Jnana yang baiklah yang menjadi sukses. Kalau sudah begini, kapan kita akan mempelajari dan mempraktekkan jnana tentang tatwa dan Susila ?
Latihan latihan spiritual adalah faktor yang ketiga. Memliki Jnana yang sangat tinggi jika tidak dilatih dengan latihan latihan spiritual yang berkesinambungan bukannya menjadikan kita orang yang sabar dan rendah hati, akan tetapi membawa kita kedalam penonjolan kesombongan diri, dengan cirri sikap Rajas dan Tamas yang sangat kental. Kalau Rajas sudah sangat menonjol dalam sang diri, maka semua tindakan akan dilakukan atas dasar pembenaran diri. Tidak sedikit kita menjumpai anak anak muda kita memiliki Jnana yang baik tetapi larut dalam minuman keras dan sikap tamas lainnya. Oleh karena itu, melakukan praktek praktek spiritual dengan teratur, sangat dianjurkan karena akan melatih pola pikir, perkataan dan sikap yang rendah hati.
Faktor yang terakhir adalah keterikatan kita yang sangat besar akan segala hal. Seorang atasan dengan keterikatan jabatan dipundaknya cenderung menjadi orang yang lebih mudah marah dan tidak sabar. Demikian pula keterikatan seorang majikan atas pembatunya. Keterikatan yang terlalu besar kadang kadang membuat kita celaka karena semua dilakukan atas pembenaran diri. Oleh karena itu, Githa mengajak kita untuk melepaskan segala bentuk keterikatan agar kita menjadi orang yang rendah hati dan sabar. Menjadi orang yang bisa merasakan kesenangan dan kesedihan dalam kejernihan sang Atman, “Sama dukha dukha diram, moksartham ca iti darma”.
Dengan menyadari faktor faktor ini, Hindu mengajarkan tidak mudah melatih diri menjadi orang yang sabar. Diperlukan kejujuran, sikap mental dan semangat untuk berubah. Namun, ada satu hal yang sering disampaikan oleh para spiritual Hindu agar kita menjadi lebih Sabar. Mulalah dari pengendalian Lidah. Berilah lidah makanan yang banyak mengandung unsur Satvika. Latihlah bagian tubuh kita yang paling penting ini dengan mengucapkan nama nama Beliau setiap saat. Dengan memulai dua hal ini secara terus menerus dan konsisten, niscaya awidya dalam angga sarira menipis, dan kita menjadi orang yang rendah hati, lemah lembut, sabar serta mulia dihadapan Hyang Widhi dan sesama manusia.

Jalan Kebenaran
 





oleh: Nengah Santa (nengahsanta@yahoo.com), 07 Mei 2006
(Yajurveda. I.5)
Agne vratapate vratam carisami
Tac-chakeyam. tan-me radhyatam.
idam aham anrtat satyam upaimi.
Ya Sang Hyang Agni, penguasa peraturan-peraturan suci,
kami akan menjalankan janji kebenaran itu.
Semoga kami dimahkotai dengan keberhasilan dalam menjalankan janjiku.
Kami menderapkan langkah dengan tegap pada jalan kebenaran,
dengan menahan diriku sendiri dari kebohongan (dusta)
Kebenaran/kejujuran adalah salah satu ajaran etika hidup yang paling dasar yang harus diikuti oleh manusia dalam menjalankan hidupnya. Mereka yang mengikuti jalan kebenaran/kejujuran, hidupnya akan selamat, sejahtera dan terhindar dari bahaya.
Dari mana kebenaran itu berasal?
Dari dalam hati nurani setiap manusia. Jangan jauh-jauh mencarinya. Tuhan telah baik sekali menyediakan kepada masing-masing umatnya. Tinggal maukah umatnya menjalankan kebenaran/kejujuran itu?
Tidak ada yang susah dalam hidup ini. Semuanya berawal dari keyakinan. Begitu juga dengan kebenaran kejujuran, harus dilandasi dengan keyakinan. Kemerosotan moral dalam pergaulan di masyarakat akibat dari hilangnya benih-benih kebenaran/kejujuran.
Pernahkah anda memiliki teman, rekan kerja, bawahan atau atasan yang suka tidak jujur?
Semakin sering orang tersebut tidak jujur (berbohong) pasti lama kelamaan akan ketahuan juga belangnya. Orang tersebut lama kelamaan akan dikucilkan oleh orang-orang disekelilingnya. Pergaulan di masyarakat yang tidak didasari oleh kebenaran/kejujuran, akan melahirkan kepalsuan, kepura-puraan, kebohongan dan bahkan kejahatan sosial. Ini jelas akan merusak kualitas kehidupan masyarakat dan orang yang bersangkutan.
Jika menemukan orang yang berprilaku sering tidak jujur (berbohong), orang tersebut sangat berbahaya bagi orang lain. Ini bisa sebut kejahatan spiritual. Virus ini jauh lebih berbahaya, karena bisa mempengaruhi orang lain untuk bersikap sama dengannya. Mereka akan membentuk jaringan kejahatan spiritual untuk menguatkan dirinya.
Kenapa kejujuran orang lama-kelamaan bisa luntur? Bukankah sejak bayi sudah dibekali penuh kejujuran?
Bayi lahir hatinya masih mulus-seperti salju. lama-kelaman bisa luntur sejalan dengan pergaulan hidupnya. Pergaulan yang keliru telah mengerogoti hatinya sehingga energi negatif dalam dirinya meningkat. Energi negatif tersebut adalah prasangka, nafsu, ego dan emosi negatif. Emosi negatif meliputi marah, dengki, irihati, licik dan serakah Peningkatan energi negatif akan melemahkan keyakinan (sraddha) yang tertanam. Dengan berkurangnya keyakinan ini, maka kejujurannya mulai dirusak.
Jadi kuncinya ada pada keyakinan. Keyakinan yang kuat dan terjaga akan selalu menopang kebenaran/kejujuran.

Megalung kok Melalung?
 





oleh: Nengah Santa (nengahsanta@yahoo.com), 07 Mei 2006
Saya tidak meminta anda melalung di hari Galungan. Terlebih jika anda memang benar melalung. Anda tidak sekedar memamerkan buah dada, pusar atau pantat yang seksi. Hati-hati…! Anda akan bisa ditanggap orang. Sekelompok massa bisa mengancam atau menyerang anda kalau memang benar anda telanjang. Bahaya,kan? Cukup Majalah Playboy yang menjadi korban kekerasan karena dinyatakan porno.
Melalung berarti telanjang, sebagaimana dikenal dalam bahasa Bali. Sedangkan Megalung, juga dalam bahasa Bali, berarti merayakan galungan. Kedua kata sangat mirip tapi hanya berbeda satu huruf saja.
Pada kesempatan ini, bukan melalung itu yang saya maksudkan!
Melalung, hanyalah sebuah kiasan. Melalung dalam pikiran saya adalah sebuah ungkapan kesederhanaan dan kepolosan. Kesederhanaan itulah yang mesti saya tekankan dalam megalung atau merayakan Galungan.
Jadi ungkapan kesederhanaan itu saya sebut saja dengan “melalung”.
Seperti yang saya tulis dalam judul ini: ”Megalung kok Melalung?” Mengapa saya justru mengajak anda larut dalam kesederhanaan?
Anda sudah pasti akan bertanya-tanya: ”Kok merayakan Galungan disuruh dengan cara sederhana, bukankah Galungan harus dirayakan dengan meriah untuk menyambut kemenangan dharma?” Hmmm, pertanyaan itu masih wajar saja! Namun dibalik kemeriahan yang anda inginkan, saya masih menyimpan harapan kesederhanaan yang bisa anda lakukan.
Sekarang saya yang bertanya kepada anda: ”Apakah kemeriahan yang anda maksudkan sama dengan meceki, hura-hura, pakai perhiasan mentereng, mabuk-mabukan, kebut-kebutan di jalan atau metajen?” Saya berharap bukan kemeriahan itu yang anda maksudkan.
Pada hari Galungan yang berbahagia ini, ijinkan saya mengajak anda, sesuatu yang lain dari kebiasaan anda. Terlebih jika memang kebiasaan anda seperti yang saya pertanyakan diatas. Ada banyak kemeriahan dibalik kesederhanan yang bisa anda dapatkan saat anda merayakan hari Galungan. Kemeriahan dalam kesederhanaan yang anda lakukan tidak akan mengurangi makna anda untuk merayakan kemenangan dharma.
Justru jika anda bisa merayakannya dalam kesederhanaan, maka anda akan mendapatkan kemenangan dharma yang sejati. Sebaliknya jika anda merayakan kemenangan itu dengan kemeriahan yang berlebihan (lawan dari kesederhanaan) maka anda justru telah menghancurkan makna kemenangan dharma itu.
Apakah bisa anda memeriahkan Galungan dalam kesederhanaan?
Tentu saya jawab: BISA
Ada beberapa poin yang bisa saya tuturkan jika anda ingin memeriahkan Galungan dalam kesederhanaan tersebut:
Pertama, anda sudah tentu menjauhkan dari kemeriahan yang saya pertanyakan diatas. Kemeriahan dengan meceki, hura-hura, pakai perhiasan mentereng, mabuk-mabukan, kebut-kebutan di jalan, dan metajen, semua itu adalah bagian dari menghamburkan nafsu yang justru sangat bertentangan dengan dharma.
Kedua, kemeriahan dalam kesederhanaan itu anda betul-betul lakukan terhadap diri anda dengan melakukan bhakti kepada leluhur dan juga mungkin anda datang ke kuburan untuk melakukan penghormatan kepada keluarga yang telah meninggalkan anda.
Ketiga, kemeriahan dalam kesederhanaan itu anda lakukan dengan cara menyama braya, baik itu saat gotong-royong membersihkan lingkungan pura, membuat penjor atau segala persiapan galungan lainnya.
Keempat, kemeriahan dalam kesederhanaan anda lakukan dengan mengunjungi keluarga anda, atau biasa dikenal dengan sebutan anjang sana. Jika anda jauh dari keluarga, maka anda juga cukup dengan menelponnya dan mengucapkan selamat hari Galungan.
Kelima, kemeriahan dalam kesederhanaan itu anda bisa lakukan dengan membuat hiburan yang merakyat. Entah itu tarik tambang, lari karung, atau berjoged. Yang ini peran muda-mudi cocok untuk menggerakkan.
Keenam, kemeriahan dalam kesederhanaan itu anda lakukan dengan membuat makanan sederhana, namun tanpa mengurangi makna kemeriahan itu. Contohnya: membuat lawar klungah atau jukut ares. Terasa lebih meriah jika dihidangkan dengan makan rame-rame, bukan?
Ketujuh, kemeriahan dalam kesederhanaan itu anda lakukan dengan menggunakan buah-buahan lokal. Galungan tidak pernah mengharuskan anda untuk memakai buah impor. Himbauan di Bali TV sangat tepat untuk mengingatkan umat hindu menggunakan buah lokal. Tebu, pisang, salak, wani, manggis, sawo, nenas dan banyak lagi, tidak pernah kalah menariknya jika ditata dalam sebuah gebogan yang indah.
Kedelapan, kemeriahan dalam kesederhanaan yang sejati, jika anda turut melakukan persembahyangan bersama baik itu di sanggah keluarga, pura di masing-masing desa atau anda melakukan tirtayatra bersama keluarga atau kelompok masyarakat.
Jadi banyak, bukan? Silakan anda kembangkan lagi.
Jadikan kemeriahan dalam kesederhanaan selalu anda lakukan dalam setiap merayakan hari Galungan.
Dengan berbekal kesederhanaan diatas, saya haturkan:
“Selamat merayakan hari raya Galungan”
Semoga kita senantiasa berada pada jalan yang benar.
(Rgveda III.16.5)
Ma no agne amataye
maviratayai riradhah
magotayai sahasaputra ma nide
apa vdesamsi-a krdhi
Kami akan mengikuti jalan yang benar,
Seperti jalannya matahari dan bulan
Kami akan menyertai yang pemurah, yang
penyayang dan yang maha mengetahui

Persahabatan Sejati
 





oleh: Nengah Santa (nengahsanta@yahoo.com), 07 Mei 2006
Dalam persahabatan sejati tidak mengenal batas-batas siapa orangnya, darimana asalnya, apa agamanya, apa ediologinya, apa warna kulitnya, apa jenis kelaminnya, berapa umurnya dan apa bahasanya. Persahabatan sejati hanya mengenal satu hal yang sama yaitu warna darah yang sama.
Sejak kecil, manusia sudah dididik untuk bersahabat, mencari teman. Persahabatan lama-kelamaan berkembang setelah masuk bangku sekolah. Mereka mengenal teman dari berbagai daerah. Demikian berlanjut mereka akan mengenal persahabatan yang lebih jauh sejalan dengan semakin jauh mereka mengenyam pendidikan.
Ketika mereka bekerja, manusia akan mulai banyak bersahabat dengan berbagai karakter orang. Persahabatan akan jauh lebih indah lagi jika sudah melampui batas-batas negara. Bagi orang yang sudah merasakan ini, mereka tidak lagi melihat perbedaan yang ada. Yang ada dalam hati mereka adalah bahwa kita adalah manusia yang sama dengan warna darah yang sama: merah. Belum pernah saya mendengar Tuhan ada menciptakan manusia di bumi dengan warna darah yang berbeda. Inilah yang mesti di syukuri kodrat kita sebagai manusia. Dan jadikanlah ini sebagai bagian benih-benih untuk menumbuhkan persahabatan sejati.
Jika anda sudah bisa merasakan persahabatan sejati, anda tidak pernah merasa tersesat dimanapun anda berada di muka bumi ini. Anda akan merasakan pelukan kasih sayang yang sama. Anda akan merasakan keramahan yang sama. Anda akan mendapatkan kegembiraan yang sama. Anda akan merasa senasib. Anda tidak akan pernah merasa sendiri. Anda tidak kesulitan untuk mendapatkan pertolongan. Anda tidak akan kesulitan minta bantuan.
Jadi akan terasa aneh jika baru bisa merasakan persahabatan sejati setelah melampui batas-batas Negara. Jika pandangan dipersempit, hanya melihat batas Negara di Indonesia misalnya, sepertinya persahabatan sejati sudah mulai pudar. Memudarnya persahabatan sejati ini tidak terlepas dari tumbuh suburnya paham sektarian yang sempit pada era belakangan ini. Paham ini telah menyatakan dirinya paling benar dan paling besar. Yang lain sepertinya dilihatnya sangat hina. Paham pluralisme sudah dicampakkan begitu saja. Mereka lebih banyak bicara atas nama suku atau daerah. Mereka lebih senang jika berada dalam satu paham agama. Tumbuh suburnya berbagai organisasi yang mengatas namakan suku, daerah atau agama mengindikasikan hal tersebut. Organisasi tersebut tidaklah salah. Yang salah adalah mereka sudah larut ke dalam bentuknya tanpa mau lagi melebur dengan yang lainnya.
Kondisi ini sangatlah menyakitnya, terlebih jika dibiarkan tumbuh subur dimasa yang akan datang. Bukankah para pendahulu kita telah menciptakan suatu paham kebersamaan dan kebangsaan melalui ideologi Pancasila? Bukankah sebelumnya jelas-Jelas dimunculkan jiwa persatuan seperti yang terucap: Bhinneka Tunggal Ika?
Semua harus cepat sadar dengan kenyataan ini. Jangan biarkan ini berlalu menuju ke jurang perpecahan dan kehancuran. Tekad harus tetap ditanamkan bahwa kita adalah manusia yang sama. Tumbuhkan kembali hidup dalam suasana persahabatan.

(Yajurveda XXXVI.18)
Mitrasya ma caksusa sarvani
Bhutani samiksantam,
Mitrasyaham caksusa sarvani
Bhutani samikse,
Mitrasya caksusa samiksamahe
Semoga semua mahluk memandang kami dengan pandangan mata seorang sahabat,
semoga saya memandang semua makluk sebagai seorang sahabat,
semoga kami berpandangan penuh persahabatan.

Manusia Hanya Berusaha
 





oleh: Nengah Santa (nengahsanta@yahoo.com), 22 Maret 2006
Orang sering mengungkapkan orang lain bodoh padahal orang yang mengatakan itu lebih bodoh. Orang juga sering mengungkapkan orang lain itu hina padahal orang yang mengatakan itu lebih hina.
Kenapa orang yang mengatakan itu disebut lebih bodoh atau lebih hina? Ini yang telah membuat saya larut dalam renungan. Sedikitnya ada beberapa uraian yang bisa menuturkan penjelasan diatas.
Pertama, Orang tersebut menjadi lebih bodoh atau lebih hina karena dia sudah melupakan kodratnya sebagai manusia. Manusia berkewajiban untuk berusaha dalam hidupnya, sedangkan segala keputusan hendaknya diserahkan kepada Tuhan yang menentukan. Jadi wajar dia disebut lebih bodoh atau lebih hina karena telah melampui wewenang yang dimilikinya.
Kedua, Orang tersebut menjadi lebih bodoh atau lebih hina karena dia sudah lupa sama kodratnya bahwa manusia adalah sama. Oleh karenanya sudah sepantasnya orang tersebut menempatkan manusia itu sama untuk saling mengasihi.
Ketiga, Orang tersebut menjadi lebih bodoh atau lebih hina karena dia sudah salah dalam membanding-bandingkan manusia. Setiap manusia tidak berhak membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain karena setiap manusia memiliki kekurangan dan keunggulan masing-masing.
Keempat, Orang tersebut menjadi lebih bodoh atau lebih hina karena dia sudah melupakan prinsip persahatan sejati. Dalam persahabatan sejati sudah tidak mengenal siapa orangnya, darimana asalanya, apa agamanya, apa warna kulitnya, apa status sosialnya dan sebagainya. Yang dikenal hanyalah warna darah yang sama.
Kelima, Orang tersebut menjadi lebih bodoh atau lebih hina karena dia sudah terjebak dalam belenggu pikirannya. Pikiran telah membuat sekat-sekat untuk membeda-bedakan setiap orang. Sekat-sekat ini harus dilewati dengan mengunakan bahasa cinta yang ada di dalam hati.
Mengatakan orang lain bodoh atau hina adalah salah satu bagian sifat buruk yang harus di hentikan sebagaimana ditegaskan dalam Rgveda berikut.
(Rgveda III.16.5)
Ma no agne amataye
maviratayai riradhah
magotayai sahasaputra ma nide
apa vdesamsi-a krdhi
Ya Sang Hyang Agni (Tuhan Yang Maha Esa), semoga engkau tidak menaklukkan kami kepada ketidaktahuan, kepengecutan,kemiskinan dan penghinaan.
Semoga Engkau menjauhkan lawan-lawan kami.
(Rgveda VII.94.3)
Ma papatvaya no nara
Indra agni ma-abhisastaye
Ma no riradhatam nide
Ya, Sang Hyang Indra dan Sang Hyang Agni yang gagah berani, jangan jadikan kami pelaku-pelaku perbuatan jahat, pembunuhan dan penghinaan.
Berangkat dari penuturan di atas, sudah selayaknya setiap manusia untuk tetap mensejajarkan dirinya dengan orang lain dan bersama-sama berusaha, bersama-sama untuk saling memperbaiki kekurangan, bersama-sama belajar dari kesalahan masa lalu dan bersama-sama menyerahkan sepenuhnya keputusan ditangan Tuhan. Tidak lagi saling menghakimi. Semua berjalan sesuai dengan peran masing-masing. Jika ada suatu kesalahan atau kejahatan biarkan hukum yang telah disepakati yang bicara, dan sudah ada orang memiliki peran tersebut untuk melakukan penuntutan terhadap suatu kesalahan atau kejahatan tersebut. Jadi tidak perlu memutuskan sendiri. Jika tidak puas dengan keputusan hukum yang dibuat maka serahkan sepenuhnya keputusan tersebut kepada Yang Di Atas.

Nyepi di Hati
 





oleh: Nengah Santa (nengahsanta@yahoo.com), 22 Maret 2006
Nyepi di Hati adalah sebuah perenungan mendalam didalam hati tentang makna brata penyepian ke dalam kehidupan sehari-hari. Nyepi di hati tiada lain agar diri kita tentram, damai dan hawa nafsu terkendali.
(Bagawad Gita Bab VI, 27)
PRASANTA – MANASAM HY ENAM
YOGINAM SUKHAM UTTAMAM
UPAITI SANTA RAJASAM
BRAHMA BHUTAM AKALMASAM
Kebahagian tertinggi datang pada seorang yogi yang pikirannya tentram, damai, yang hawa nafsunya terkendali,
mereka yang tiada noda akan bersatu dengan Brahma, Tuhan Yang Maha Esa.
Hendaknya setelah anda menjalankan Brata penyepian selama satu hari penuh, anda bisa memetik makna yang lebih mendalam terhadap Catur Brata Penyepian untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Catur Brata Penyepian yang anda lakukan satu hari penuh menekankan pada pengendalian diri yang diterjemahkan secara phisik. Seperti dalam penjabaran yang sudah umum didengarkan, Catur Brata Penyepian dibagi menjadi : Amati Geni (tidak menyalakan api), Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelungan (tidak bepergian), Amati Lelanguan (tidak menikmati hiburan).
Mungkinkah Catur Brata Penyepian dilaksanakan setiap hari? Jawabannya jelas tidak mungkin, kalau diterjemahkan maknanya seperti diatas. Dan sudah tentu jawabannya menjadi bisa dilaksanakan tiap hari, jika kita bisa menggali makna pengedalian diri yang terkandung didalam Catur Brata Penyepian lebih dalam lagi.
Pertama, Amati Geni (tidak menyalakan api); maksud tidak menyalakan api ini diterjemahkan dengan mengendalikan energi negatif. Energi negatif yang terkandung didalam tubuh manusia diiantaranya: prasangka buruk, egois, marah, iri hati, benci, serakah, licik dan sebagainya. Energi negatif ini sangat berbahaya jika menyelimuti spirit (atma) kita. Sudah tentu akan menimbulkan penderitaan. Bagaimana menghilangkan energi negatif tersebut? Salah satu yang bisa dilakukan dalam keseharian adalah dengan menjalankan meditasi yang teratur.
Kedua, Amati Karya (tidak bekerja). Setiap hari sudah tentu kita harus bekerja. Maksud yang ditekankan adalah bagaimana kita dalam bekerja dengan tidak lupa memperhatikan diri sendiri, keluarga, lingkungan, orang tua, pemerintah dan Tuhan. Ada sebuah cerita tentang seorang ayah yang bekerja sering sampai larut malam dan hari minggu pun ayah tersebut harus bekerja sehingga hampir tidak ada waktu bermain dengan anaknya. Suatu ketika, anaknya bertanya kepada ayahnya,” Berapa gaji Ayah setiap jam?”. Ayahnya sangat kaget dengan pertanyanan tersebut. Ayah tersebut pun mau menjawab, “ 20 ribu rupiah nak”. “ Kalo begitu, saya punya tabungan 20 ribu rupiah akan saya berikan kepada ayah untuk membayar gaji ayah untuk menemani saya bermain”, demikian anak tersebut membujuk ayahnya agar mau bermain dengan anaknya. Alangkah malunya kita sebagai seorang ayah jika harus sampai dibujuk oleh anak kita hanya untuk diajak bermain. Menyediakan waktu bermain dengan anak tentu juga akan membantu kita yang sibuk bekerja meredakan ketegangan kita.
Kembali lagi ke cerita seorang ayah diatas. Karena kesibukannya, bisa jadi ayah tersebut lupa untuk mencukur jengkot dan kumisnya. Waktu untuk berolah raga pun tidak ada. Ayah tersebut lupa sama sekali dengan dirinya. Biasanya orang seperti ini akan sadar setelah ada penderitaan, misalnya sakit jantung atau sakit stroke karena terlalu berat memikirkan pekerjaan dan lupa memikirkan dirinya.
Sediakanlah waktu sedikit dengan menarik nafas yang panjang dan melihat diri sendiri apa yang kira-kira yang bisa dilakukan untuk diri sendiri, mungkin potong kuku atau cukur kumis atau duduk santai sambil minum teh dan bertanya pada diri sendiri.
Karena kesibukan orang bekerja, sering lupa memperhatikan lingkungannya. Bagaimana bisa ada waktu menyapa tetangga kalau pulangnya sering sampai larut malam? Sisihkan waktu anda untuk menyapa tetangga, karena dengan menyapa tetangga pasti tidak ada ruginya.
Contoh nyata yang bisa diambil manfaatnya adalah ketika rumah kita ada seorang yang asing wajahnya, yang pura-pura menjadi tukang kebun namun akhirnya mencuri, tetangga terdekatlah yang akan menegurnya karena sudah pasti tetangga kita akan lebih tahu dan memperhatikan rumah kita. Kalau kita tidak pernah bertegur sapa, sudah tentu tetangga terdekat kita akan membiarkan pencuri tersebut. Jangan-jangan jika ada kebakaran pun tetangga tersebut tidak mau membantu karena keangkuhan kita tidak pernah bertegur sapa.
Kaitan bekerja dengan orang tua. Kita bekerja tentu digunakan untuk kebutuhan keluarga. Jangan lupa menyisihkan sebagian kecil penghasilan untuk orang tua kita yang telah membesarkan dan membimbing kita. Membahagiakan orang tua semasih hidup adalah sangat mulia. Jangan sampai kita baru sadar setelah orang tua mendekati kematian, apalagi sadar setelah meninggal.
Bagaimana kaitan bekerja dengan pemerintah? Contoh yang baru kita lakukan adalah pemilihan presiden dengan menyisihkan waktu untuk memilih pemimpin bangsa kita dengan hati nurani, tertib dan demokratis. Ini juga bentuk pengabdian kepada pemerintah. Kaitan bekerja dengan Tuhan. Bagi orang Hindu dengan berusaha menyisihkan waktu setiap hari Tilem dan Purnama untuk bersembahyang bersama, sekaligus waktu tersebut digunakan untuk beranjang sana dengan teman-teman. Setiap harinya pun kita jangan sampai lupa untuk berdoa kepada Tuhan. Lebih baik jika melakukannya dengan Meditasi teratur pagi dan malam harinya.
Ketiga, Amati Lelungan (tidak bepergian). Tidak bepergian diarahkan kepada pikiran kita agar jangan sampai pikiran kita liar, pergi kemana-mana. Pikiran yang liar ini sangat berbahaya jika tidak dikendalikan. Hendaknya pikiran diajak untuk fokus atau kosentrasi. Disamping itu yang lebih penting adalah dalam bekerja hendaknya menggunakan pikiran terlebih dahulu sebelum berbuat.
Keempat, Amati Lelanguan (tidak menikmati hiburan). Wajar saja kesibukan kita sehari-hari perlu dipulihkan. Biasaya orang melakukannya dengan menikmati hiburan berupa nonton tv, baca Koran atau majalah. Jangan sampai ada yang menghibur dirinya dengan hiburan sesat seperti narkoba atau berkunjung ke tempat lokalisasi. Dan yang terpenting, jangan sampai lupa pula kita untuk untuk menghibur jiwa kita agar selalu tenang dan harmonis. Ini bisa dilakukan dengan yoga dan meditasi.
Dengan konsep pengendalian diri melalui penerapan ajaran Catur Brata Penyepian ke dalam kehidupan sehari-hari akan membantu kita mencapai kesuksesan hidup yang damai, bahagia dan sejahtera.
---ooo--

Hindu Menyongsong Abad Informasi
 





oleh: Nengah Santa (nengahsanta@yahoo.com), 27 Januari 2006
Zaman ini layak disebut Zaman informasi. Bagi anda yang gemar mencari informasi, anda dengan mudah mendapatkannya, dengan berbagai sajian yang kian menarik. Contohlah, jaringan internet telah berkembang dengan pesat dan bisa diakses dengan biaya yang terjangkau. Berbagai media televisi juga telah membanjiri dunia dengan pilihan acara yang menarik dan kompetitif. Kini berbagai media televisi juga telah sampai ke pelosok desa berkat jasa TV kabel. Media cetak juga tidak mau ketinggalan. Berbagai ragam berita dan informasi tersaji dengan rapi. Telekomunikasi juga telah menjangkau berbagai lapisan masyarakat sampai kepelosok daerah, dengan menjamurnya berbagai operator telepon genggam. Perkembangan Teknologi Informasi sebagai pendukungnya juga berkembang dengan pesat. Anda bisa dengan mudah memilih berbagai merek komputer dengan berbagai macam fasilitas pendukungnya.Sisi inilah yang mesti harus disadari bagi kita semua. Kita tidak bisa dosa itu dibiarkan larut begitu saja. Dosa itu mesti diperbaiki sejak dini mulai dari dalam diri. Jika anda bisa menekan dosa dari dalam diri anda maka anda akan mendapatkan nilai dari kualitas tersebut yaitu sebuah kedamaian.
Bagaimana Hindu menyikapi perkembangan informasi ini? Sudah siapkah Hindu menyongsong abad Informasi ini? Jika anda seorang Hindu, pertanyaan ini patut ditanyakan ke dalam diri masing-masing, demi kejayaan Hindu di masa depan.
Hindu adalah selalu sejalan dengan perkembangkan zaman. Artinya Hindu selalu siap untuk menyesuaikannya. Bahkan Hindu mesti menggunakan perkembangan suatu zaman sebagai media penyadaran umat manusianya.
Berbicara perkembangan informasi yang kian semarak, pelan tapi pasti umat Hindu sudah semakin terbiasa menikmatinya. Sekarang sudah banyak para pemberi dharma wacana atau penceramah dalam sebuah diskusi Hindu membawa Laptop untuk memudahkan memberikan pencerahan kepada umatnya. Pemberian dharma wacananya pun bisa menggunakan proyektor untuk membuat apa yang disampaikan mudah dipahami dan sudah tentu lebih memikat. Umat Hindu juga sudah dimanjakan dengan berbagai tayangan Dharma Wacana dari berbagai stasiun televisi. Contoh lain, Ketika anda hendak bertemu seorang Pinandita atau Nabe atau seoarang Guru, anda cukup memberi tahu terlebih dahulu melalui Telepon Genggam atau Telepon Rumah untuk memastikan kesediannya. Berbagai kegiatan Hindu pun panitia dibuat lebih mudah berkomunikasi karena sebagian besar sudah membawa telepon genggam. Seorang Pinandita juga tidak perlu harus bersuara lantang dalam memimpin upacara, karena sudah tersedia microphone yang sederhana. Tidak mau ketingggalan, sekarang sudah banyak para Pinandita yang aktif berdiskusi agama melalui media email.
Mengaitkan perkembangan informasi demi Kejayaan Hindu patutlah disyukuri. Jika perkembangan teknologi informasi ini tersedia dan dikelola dengan baik oleh masing-masing lembaga atau organisasi yang mengatas-namakan Hindu, maka akan sangat menghidup komunikasi antar sesama Hindu dari berbagai daerah. Jika masing-masing tersedia fasilitas Komputer, maka pengelolaan data base nya akan lebih rapi. Jika semua sudah bisa berkomunikasi berbasis email, maka segala informasi akan didapat dengan mudah, lancar dan murah. Bukan mustahil suatu saat nanti, jika ada perayaan hari besar Hindu, bisa ditayangkan secara langsung dari berbagai daerah dengan berbagai keunikan yang dimilikinya.
Oleh karenanya, mari kita mendukung sepenuhnya segala program penyiaran Hindu demi kejayaan Hindu. Dan juga hendaknya umat Hindu tidak ragu lagi bertanya atau memberi informasi tentang Hindu melalui program-program penyiaran Hindu yang ada, asalkan dengan prinsip saling asah,saling asih dan saling asuh.
(RgvedaX.32.7)
Aksetravit ksetravidam hyaprat
sa praiti ksetravidanusistah
stad vai bhadram anusasanasyo
ta sruti vindatyas njasinam

Orang yang tak mengenal suatu tempat bertanya kepada orang yang mengetahui;
ia meneruskan perjalanan, dibimbing oleh orang yang tahu;
inilah manfaat pendidikan, ia menemukan jalan lurus.
 
(Rgveda I. 12.6)
Agnina-agnih samidhyate
Seperti kobaran api, pengetahuan menyebar dari seseorang ke orang yang lainnya.


Antara Pengetahuan dan Agama
 





oleh: Nengah Santa (nengahsanta@yahoo.com), 27 Januari 2006
Jika pengetahuan tanpa dibekali agama, maka pengetahuan tersebut akan tidak jelas arahnya. Dan bisa-bisa mengancam kehidupan manusia. Sebaliknya jika agama tanpa didampingi pengetahuan, maka pemahaman manusia akan agama yang dianutnya akan terbatas, sehingga kesadarannya pun akan terhambat.
Pengetahuan dan Agama akan selalu hidup berdampingan. Kemana pengetahuan pergi, Agama pun akan setia menemani. Demikian juga, jika Agama pergi, maka harus mengajak pengetahuan. Intinya mereka tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Semuanya memiliki keunggulan masing-masing. Keunggulan pengetahuan dan agama jika disinergikan maka akan sangat bermanfaat untuk kemajuan peradaban manusia di bumi ini.
Oleh karenanya, setinggi-tingginya orang mencari ilmu pengetahuan mesti harus didampingi agamanya. Mereka harus tetap dilindungi oleh agamanya agar tidak terancam atau mengancam kehidupan dunia ini. Contoh yang paling sederhana jika pengetahuan tidak didampingi agama adalah munculnya kreativitas manusia yang banyak meresahkan orang lain. Ada orang jail, berkat kemampuan yang digali dari pengetahuan yang dipelajarinya, mereka iseng menempelkan photo presiden dengan photo artis sedang berciuman misalnya. Ini jelas menurunkan martabat presiden. Contoh lain yang sangat parah adalah baru bisa bikin bom kecil-kecilan berkat pengetahuan yang dipelajari namun karena dibekali agama yang sesat maka mereka seenaknya membunuh orang lain. Berkat pengetahuan hipnotisnya mereka seenaknya menipu orang lain. Dan masih banyak contoh lainnya.
Setinggi-tingginya orang belajar agama, tetap harus berbekal pengetahuan yang cukup. Belajar agama, tanpa pengetahuan yang cukup akan menyebabkan sempitnya pandangan manusia terhadap agama tersebut. Sempitnya pemahaman orang terhadap agama yang dianutnya bisa berakibat merendahkan orang lain. Mereka merasa apa yang dianutnya paling benar. Yang lain adalah salah atau keliru. Bukti nyata dari keadaan ini adalah munculnya kekacauan di bumi ini yang banyak mengatas-namakan agama. Kekacauan tersebut tidak lain karena mereka sangat sempit memahami ajarannya. Dan juga tidak pernah mau mengerti tentang ajaran yang dianut orang lain. Munculnya perang antar agama, ancaman teroris dimana-mana adalah buah dari pemahaman agama yang sempit. Sempitnya pemahaman agamanya tiada lain karena tanpa dibekali pengetahuan Agama yang cukup. Akibatnya mereka tidak memiliki kecerdasan akal budi, intelektualitas dan pengetahuan spiritual yang benar. Mereka telah mengacaukan tentang perbuatan yang baik dan yang buruk.
(Yajurveda XXXIV.2)
Yat prajnasnam uta ceto dhrtisca
Yajjyotirantar amrtam prajasu,
Yasmanna’rte kincana karma kriyate
Tanme manah sivasamkalpam astu

Yang menjadi sumber pengetahuan utama,
dan merupakan kecerdasan dan kekuatan pikiran,
yang merupakan api yang tak kunjung padam pada mahluk hidup,
apa adanya itu kita tidak mampu berbuat apa-apa,
semoga pikiran kami selalu mengarah kepada yang baik.
Kemana pun anda pergi dan dimana pun anda berada, gunakanlah pengetahuan dan pemahaman tentang agama untuk selalu pada jalan yang benar.


Antara Pengetahuan dan Agama
 





oleh: Nengah Santa (nengahsanta@yahoo.com), 27 Januari 2006
Jika pengetahuan tanpa dibekali agama, maka pengetahuan tersebut akan tidak jelas arahnya. Dan bisa-bisa mengancam kehidupan manusia. Sebaliknya jika agama tanpa didampingi pengetahuan, maka pemahaman manusia akan agama yang dianutnya akan terbatas, sehingga kesadarannya pun akan terhambat.
Pengetahuan dan Agama akan selalu hidup berdampingan. Kemana pengetahuan pergi, Agama pun akan setia menemani. Demikian juga, jika Agama pergi, maka harus mengajak pengetahuan. Intinya mereka tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Semuanya memiliki keunggulan masing-masing. Keunggulan pengetahuan dan agama jika disinergikan maka akan sangat bermanfaat untuk kemajuan peradaban manusia di bumi ini.
Oleh karenanya, setinggi-tingginya orang mencari ilmu pengetahuan mesti harus didampingi agamanya. Mereka harus tetap dilindungi oleh agamanya agar tidak terancam atau mengancam kehidupan dunia ini. Contoh yang paling sederhana jika pengetahuan tidak didampingi agama adalah munculnya kreativitas manusia yang banyak meresahkan orang lain. Ada orang jail, berkat kemampuan yang digali dari pengetahuan yang dipelajarinya, mereka iseng menempelkan photo presiden dengan photo artis sedang berciuman misalnya. Ini jelas menurunkan martabat presiden. Contoh lain yang sangat parah adalah baru bisa bikin bom kecil-kecilan berkat pengetahuan yang dipelajari namun karena dibekali agama yang sesat maka mereka seenaknya membunuh orang lain. Berkat pengetahuan hipnotisnya mereka seenaknya menipu orang lain. Dan masih banyak contoh lainnya.
Setinggi-tingginya orang belajar agama, tetap harus berbekal pengetahuan yang cukup. Belajar agama, tanpa pengetahuan yang cukup akan menyebabkan sempitnya pandangan manusia terhadap agama tersebut. Sempitnya pemahaman orang terhadap agama yang dianutnya bisa berakibat merendahkan orang lain. Mereka merasa apa yang dianutnya paling benar. Yang lain adalah salah atau keliru. Bukti nyata dari keadaan ini adalah munculnya kekacauan di bumi ini yang banyak mengatas-namakan agama. Kekacauan tersebut tidak lain karena mereka sangat sempit memahami ajarannya. Dan juga tidak pernah mau mengerti tentang ajaran yang dianut orang lain. Munculnya perang antar agama, ancaman teroris dimana-mana adalah buah dari pemahaman agama yang sempit. Sempitnya pemahaman agamanya tiada lain karena tanpa dibekali pengetahuan Agama yang cukup. Akibatnya mereka tidak memiliki kecerdasan akal budi, intelektualitas dan pengetahuan spiritual yang benar. Mereka telah mengacaukan tentang perbuatan yang baik dan yang buruk.
(Yajurveda XXXIV.2)
Yat prajnasnam uta ceto dhrtisca
Yajjyotirantar amrtam prajasu,
Yasmanna’rte kincana karma kriyate
Tanme manah sivasamkalpam astu

Yang menjadi sumber pengetahuan utama,
dan merupakan kecerdasan dan kekuatan pikiran,
yang merupakan api yang tak kunjung padam pada mahluk hidup,
apa adanya itu kita tidak mampu berbuat apa-apa,
semoga pikiran kami selalu mengarah kepada yang baik.
Kemana pun anda pergi dan dimana pun anda berada, gunakanlah pengetahuan dan pemahaman tentang agama untuk selalu pada jalan yang benar.


Siwa Ratri : Pencarian di Dalam Diri Menjalani Peran
 





oleh: Nengah Santa (nengahsanta@yahoo.com), 21 Januari 2006
Siwa Ratri berasal dari kata Siwa dan Ratri. Siwa salah satu sebutan nama Tuhan. Ratri berarti malam. Kalau di gabungkan maknanya menjadi malam pemujaan kepada Siwa. Lho kenapa mesti ada perayaan pada malam Purwaning tilem kapitu kepada Siwa Ratri? Inilah malam tergelap sepanjang setahun yang sangat baik digunakan sebagai momen penyadaran diri.
Umumnya orang lebih mengenal malam Siwa Ratri adalah malam saat Sang Lubdaka bermalam di tengah hutan. Beliau naik diatas sebuah pohon Bilwa untuk menghindari ancaman dari dari binatang buas. Kini malam Siwa Ratri telah menjadi tradisi bagi umat Hindu untuk melakukan Jagra semalam.
Bukan maksud berseberangan dengan apa yang dikenal oleh umat Hindu umumnya, yang menekankan malam Siwa Ratri sebagai malam peleburan dosa. Ijinkan pada kesempatan ini saya melakukan pencarian ke dalam diri.
Bagi saya, terlalu mudah rasanya jika orang yang berbuat dosa misalnya, kemudian dengan melakukan Brata saat malam siwa ratri maka dosanya sudah diampuni? Sekali lagi, ijinkan saya berada pada sisi yang lain. Bagi orang yang melakukan perbuatan dosa kemudian melakukan brata saat malam siwa ratri tidak berbeda jauh dengan jika anda dimisalkan memproduksi sebuah produk. Anda biarkan produk itu ada kesalahan atau cacat, kemudian hanya pada bagian akhir dari proses produksi dilakukan pengecekan kualitasnya. Pada bagian terakhir ini anda baru melakukan perbaikan kualitas. Bukankah sepatutnya kualitas itu ditanamkan sejak dari awal, bukan hanya menunggu di belakang?
Sisi inilah yang mesti harus disadari bagi kita semua. Kita tidak bisa dosa itu dibiarkan larut begitu saja. Dosa itu mesti diperbaiki sejak dini mulai dari dalam diri. Jika anda bisa menekan dosa dari dalam diri anda maka anda akan mendapatkan nilai dari kualitas tersebut yaitu sebuah kedamaian.
Pada kesempatan yang baik ini, dalam rangka menyambut malam Siwa Ratri, mari kita bersama untuk lebih menekankan pada pencarian kedamaian di dalam diri. Kapan kedamaian itu akan muncul? Kedamaian akan muncul jika anda bisa terhindar dari ancaman binatang buas. Binatang buas tersebut bukanlah makhluk lain seperti dalam cerita Lubdaka. Binatang buas itu justru datang dari dalam diri anda. Binatang buas itu bernama: Emosi Negatif.
Emosi negatif merupakan bagian dari dosa yang bisa berbentuk marah, iri, dengki, serakah, malas dan benci. Kalau saya misalkan emosi negatif ini sebagai binatang, maka binatang ini senang hidup dalam suasana gelap. Demikian pula jika dalam diri anda penuh dengan kegelapan, maka emosi negatif ini akan merasa senang. Dia akan menari-nari untuk mengacaukan diri anda, mengusik ketenangan dalam diri anda.
Inilah ancaman yang muncul dari dalam diri anda. Anda harus cepat sadar dan keluar dari ruang gelap tersebut dan mencari sebuah sinar yang mampu melenyapkan emosi negatif tersebut. Setiap manusia sebenarnya sudah memiliki bekal sinar dari Hyang Maha Kuasa. Sinar tersebut tiada lain adalah percikan sinar suci Tuhan yang mesti digunakan untuk menerangi diri anda mengarungi bahtera kehidupan ini.
Munculnya sinar dalam diri anda dapat dirasakan dengan segarnya pikiran dan bathin anda. Tubuh anda pun terasa ringan dan bugar. Anda melakukan Aktivitas sehari-hari dengan penuh semangat dan ceria.
Ketika diri anda merasakan pikiran yang kalut, perasaan mau marah, badan terasa loyo dan malas melakukan aktivitas hidup maka sinar tersebut sudah tertutupi oleh selimut kegelapan. Jika ini terjadi, maka anda sudah mulai terperangkap dalam emosi negatif tersebut.. Anda harus cepat sadar dan segera melakukan langkah sederhana seperti berikut ini. Pertama, ambil segelas air putih dan munumlah. Air putih ini disamping bisa menyegarkan tubuh anda, juga bisa sebagai simbolis pembersihan diri anda. Kedua, rauplah muka anda dengan air bersih atau lebih baik jika anda melakukannya dengan mandi. Ketiga, tariklah nafas panjang tiga kali. Nafas panjang ini disamping untuk mengalirkan oksigen sebanyak-banyaknya kedalam aliran darah anda, juga bisa sebagai simbolis untuk berterima kasih karena anda telah disadarkan. Keempat, lakukan doa Gayatri Mantra dengan pelan, penuh hening tanpa suara dimanapun anda berada.
Semoga anda selalu berada dalam kesadaran dan mendapatkan kedamaian dimanapun anda berada dan kemanapun anda pergi. Dan jadikanlah malam siwa ratri untuk melakukan pencarian dari dalam diri:"Sudah berapa kedamaian yang anda berikan" dan bukan mengatakan: ”Sudah berapa dosa yang harus anda lebur saat malam siwa ratri”.
Damai selalu!

Kerja Keras dan Ketekunan
 





oleh: Nengah Santa (nengahsanta@yahoo.com), 14 Januari 2006
Ada sebuah plesetan yang mengatakan: ”Orang menjual Bakso untuk membeli Tanah. Sebaliknya orang menjual Tanah untuk membeli Bakso”.
Pernyataan diatas tidaklah hanya sebuah plesetan. Kenyataan memang banyak orang yang mau bekerja keras dan tekun, walaupun hanya menjual bakso bisa sukses bahkan ada yang bisa membeli tanah. Sedangkan bagi orang yang tidak mau bekerja keras dan tekun, bisa jadi untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dengan menjual tanah warisan.
Siapapun orangnya, dari manapun asalnya semuannya adalah manusia yang memiliki warna darah yang sama. Ini berarti setiap manusia sebenarnya dibekali perangkat yang sama. Hanya maukah manusia tersebut menggunakannya dengan penuh kerja keras dan tekun? Inilah salah satu yang menyebabkan perbedaan manusia, ada orang sukses dan tidak sukses.
Dalam era globalisasi ini, hanya orang yang mau bekerja keras dan tekun yang akan mampu bersaing dan bisa menjadi pemenang. Sebaliknya jika anda tidak mau bekerja keras dan tekun, siap-siaplah anda jadi pecundang dalam hidup ini. Lubang penderitaan sudah tersedia di depan anda, jika anda yang tidak mau bekerja keras dan tekun. Jembatan sudah tersedia didepan sana, yang akan mengantarkan anda menuju pulau kesuksesan jika anda mau bekerja keras dan tekun.
Cara yang baik agar anda mau bekerja keras dan tekun adalah membuang virus yang menggampangkan hidup, membuang virus kemalasan, membuang virus putus asa dan membuang virus hura-hura. Jangan lagi anda bermalas-malasan sambil menunggu durian runtuh atau hanya berharap dari undian lotre untuk menjadi jutawan. Jangan lagi anda bermalass-malasan sambil berjudi sabung ayam.
Sikap putus asa dalam hidup ini juga harus dikubur. Cobaan dan rintangan dalam hidup ini mesti anda harus lalui. Janganlah anda berhenti disebuah pohon besar yang bernama:putus asa. Jangan lagi anda membayangkan berapa hektar tanah warisan yang anda miliki. Warisan tersebut akan sangat cepat habis jika anda menjalaninya cukup dengan berhura-hura. Anak- cucu anda hanya akan mendapat warisan penderitaan.
Vitamin yang perlu anda minum agar bisa bekerja keras dan tekun adalah vitamin disiplin diri dan semangat hidup. Anda harus membedakan disiplin mana yang anda jalani. Disiplin alami adalah disiplin yang digali dari dalam diri. Disiplin palsu adalah disiplin jika ada orang lain yang menggerakkan. Jadilah anda disiplin alami agar tetap mekar sepanjang hari. Disiplin palsu hanya bisa mekar jika ada orang yang menyiraminya. Semangat hidup perlu anda dukung dengan kesehatan yang prima. Kesehatan yang kurang, akan menyebabkan anda loyo seperti mobil yang tidak bertenaga karena kampas koplingnya sudah habis. Oleh karenanya anda harus tetap menjaga kesehatan agar bisa tetap bersemangat dalam menjalani hidup ini.
Akhirnya anda sekarang sudah siap untuk menyongsong hari esok dengan kerja keras dan ketekunan. Tuhan akan senang mendengar kabar ini. Tuhan akan menyambutmu di pintu kesuksesan.
(Atharvaveda XX.18.3)
Icchanti devah sunvantam
na svapnaya sprhayanti
yanti pramadam atandrah.
"Para dewa menyukai orang-orang yang bekerja keras.
Para dewa tidak menyukai orang-orang yang gampang-gampangan
dan bermalas-malasan.
Orang-orang yang selalu waspada mencapai kebahagian yang agung".
(RgvedaI.41.6)
Sa ratnam martyo vasu
Visvam tokam uta tmana
Accha gacchati-astrtah
"Orang yang tidak kenal lelah memperoleh permata-permata,
segala macam kekayaan,
dan anak cucu berkat ketekunannya".
(Rgveda VII.32.9)
Ma sredhata somino daksata mahe
Krnudhvam raya atuje.
Tanarir ij jayati kseti pusyanti
Na devasah kavatnave.
"Wahai orang-orang yang berpikiran mulia, jangalah tersesat.
Tekunlah dan dengan tekat yang keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang tinggi.
Bekerjalah dengan tekun untuk memperoleh kekayaan.
Orang yang bersemangat (tekun sekali) berhasil, hidup berbahagia dan menikmati kemakmuran.
Para dewa tidak menolong orang yang bermalas-malas".

Mudah-mudahan kutipan sloka-sloka diatas bisa menjadi lem perekat untuk tetap berada pada jalur kerja keras dan ketekunan.


Dharma Sebagai Poros Pengendali
 





oleh: Wayan Catra Yasa (wayan@id.beyonics.com), 26 Desember 2005
Om Swastyastu,
Dharma sebagai tujuan hidup yang utama dan mengabdi terhadap sesama makhluk dan beramal-kebaikan untuk kesejahteraan serta menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran, maka orang itu akan mendapat Wara Nugraha yang berlimpah dari Hyang Widhi yakni kebahagiaan dan atma itu bila menjelma kembali akan menikmati kebahagiaan hidup di dunia. Oleh sebab itu Hindu menekankan hendaknya berlaku tidak menyimpang dari tuntunan dharma. Karena akibat perbuatan jahat akan menerima hukuman yang sangat berat dari suatu pengadilan yang tidak nampak yang berkuasa menenggelamkan manusia yang jahat ke dalam kawah candra dimuka atau neraka.
Di dalam Vrshaspati Tattva, 25 dinyatakan tentang “Sila" yang artinya perbuatan baik dan "Yajnya" yang artinya melakukan pemujaan api. Disebutkan juga tentang "Tapa" yang berarti melakukan tapa brata, tentang "Anasika Bhiksu" yang artinya seseorang harus didiksa, dan "Yoga" adalah melakukan meditasi.
  • Sila menekankan hendaknya setiap manusia melakukan perbuatan yang baik yaitu perbuatan mulai yang tidak merugikan masyarakat, berusahalah agar masyarakat menjadi bahagia.
  • Yajnya menuntun orang untuk melaksanakan pemujaan api untuk memohon kepada Hyang Widhi yang bergelar Dewa Agni dengan harapan agar beliau menuntun dan memberikan penerangan kepada umat manusia, sehingga terhindar dari perbuatan jahat.
  • Tapa menuntun umat manusia agar mampu mengendalikan diri dari perbuatan perbuatan jahat yang muncul dari sufat rajas yakni pengaruh yang berasal dari diri manusia, sehingga kita tetap berada dijalan dharma.
  • Anasaka bhiksu menuntun umat manusia hendaknya mengikuti prilaku orang suci yaitu yang tiada mudah terpengaruh harta benda, kesenangan-kesenangan dunia yang ke semuanya itu didapat dengan jalan yang benar sesuai dengan ajaran dharma.
  • Yoga, menuntun umat manusia memiliki konsep konsep tertentu di dalam melakukan langkah-langkah perbuatan sehingga dengan memiliki konsep yang pasti maka pengaruh-pengaruh yang jahat, sulit mempengaruhi orang tersebut dan orang tersebut akan dapat menuju jalan dharma.  
Setiap orang menginginkan hidupnya berarti dan lebih bermakna, hendaknya harus berpegang teguh pada dharma. Walaupun hidupnya nampak sederhana, namun mereka memiliki jiwa yang tenang dan penuh bahagia. Bagi mereka yang tiada memiliki prinsip hidup Dharma, maka mereka mudah digoyangkan oleh perbuatan-perbuatan Adharma. Walaupun mereka memiliki harta benda yang berlebihan, namun hatinya penuh dengan penderitaan yang mengancam dirinya karena mereka selalu merasa was-was, yang disebabkan seringnya mereka melakukan perbuatan yang kurang baik terhadap masyarakat dan lingkungannya.
Semua perbuatan yang dilakukan oleh seseorang di dunia akan melekat pada pikiran, dan setelah manusia meninggal, maka yang hancur hanyalah badan kasar, akan tetapi alam pikiran atau Citta yang terdiri dari Budhi, Manah, Ahamkara, Panca Kamendrya dan Panca Jnanendrya dan dibungkus oleh Panca Tanmatra serta diberikan kekuatan hidup oleh atman, maka akan muncul Suksme Sarira atau badan astral. Pada Suksma Sarira inilah segala bekas–bekas perbuatan yang dilakukan semasa hidup akan melekat dan disebut Karma Wasana. Perbuatan yang terdapat dalam Karma Wasana dibagi menjadi dua bagian yakni Subha Karma dan Asubha Karma. Perbuatan Subha Karma membawa atman ke alam sorga, sedangkan perbuatan Asubha Karma akan membawa atman ke alam neraka.
Hindu menghendaki agar umatnya dapat bebas dari belenggu kesengsaraan sehingga mereka memperoleh kebahagiaan yang kekal abadi yang disebut dengan moksa. Untuk itulah para maha bijaksana, para Maha Rsi manyajikan ajaran dharma agar umatnya melakukan ajaran dharma dengan harapan untuk dapat hidup dengan tentram dan bahagia.
Demikian, semoga berguna.
Om Santih, Santih, Santih, Om

Dana Punia dan Maknanya
 





oleh: Wayan Catra Yasa (wayan@id.beyonics.com), 22 Desember 2005
Om Swastyastu,
Dalam kitab Slokantara terdapat bagian yang menyiratkan untaian ajaran etika. Saya telah mencermati sloka demi sloka yang sangat baik untuk disimak dan dilaksanakan dalam kaitannya dalam pelaksanaan dana punia. Salah satunya dalam sloka 17, yaitu:
Tithau dasagunam danam grahane satamewa ca,
Kanyagate shasrani anantam yugantakale.
Arti dari sloka tersebut adalah : Dana yang diberikan di bulan purnama dan bulan mati akan mendatangkan sepuluh kali kebaikan. Dana yang diberikan pada waktu gerhana akan mendatangkan pahala seratus kali. Dana yang diberikan di hari suci sraddha akan mendatangkan pahala seribu kali lipat. Dana yang diberikan dan jika dilakukan di akhir yuga, pahala kebaikan akan tidak terbatas.
Sloka di atas memiliki persamaan dengan sloka yang terdapat di kitab Sarasamuscaya (sloka 174) yaitu:
Arthavan artham arthibyo,
na dadatyatra ko gunah,
Ekaiva gatirarthasya,
danamanya vipattayah.
Sloka 174 ini berarti: jika orang kaya menggembar-gemborkan diri telah bersedekah kepada orang miskin, hal itu tidaklah aneh, karena memang sudah menjadi fungsi kegunaan uang itu untuk disedekahkan. Jika dipakai untuk keperluan hal yang lain daripada itu, maka dikatakan menderita kemiskinan.
Demikianlah, jika diwaktu bulan purnama dan bulan mati itu para dermawan memberi sedekah balasannya akan berlipat sepuluh. Jika diwaktu gerhana bulan dan gerhana matahari para dermawan memberi dana, maka akan dibalas seratus kali oleh Tuhan. Jika dana itu diberikan pada pemujaan arwah leluhur, maka balasannya kepada para dermawan itu akan berlipat seribu. Kalau di akhir yuga sang dermawan memberi dana itu, maka dari satu kembali dalam jumlah yang tak terhitung. Inilah yang harus diingat oleh mereka yang ingin akan ketinggian jiwa hidupnya.
Demikian, semoga berguna.
Om Santih, Santih, Santih, Om

Menyia-nyiakan Waktu adalah Menyia-nyiakan Hidup
 





oleh: Wayan Catra Yasa (wayan@id.beyonics.com), 26 Desember 2005
Om Swastyastu,
Dalam Bhagawad Gita dituliskan: “Siapa terus menerus mengingat Aku, sangat Kucintai. Karena itu, ingatlah Aku selalu. Persembahkan kepada-Ku pikiran dan akal budimu. Serahkan segala-galanya kepada-Ku, maka engkau pasti akan mencapai Aku.”
Selain itu dikatakan pula bahwa suka duka, panas dingin, untung rugi, kritik dan pujian, harus dihadapi dengan pikiran yang seimbang. Keseimbangan pikiran ini adalah salah satu dari 64 buah sifat dari seorang pengabdi. Dari 64 sifat pengabdi ini secara umum bisa dibedakan menjadi 2 bagian utama yakni : Abhyasa (pengamalan dharma terus menerus), dan Wairagya (pengunduran diri atau ketidak terikatan pada duniawi).
Pengamalan merupakan gabungan dari tiga jenis tapa atau mati raga, yaitu tapa jasmani, tapa mental, dan tapa ucapan. Sedangkan pengunduran diri berarti mengenal cacat cela benda, dan hidup tanpa keterikatan pada benda-benda itu, dengan kata lain hidup sebagai saksi.
Jika kita ingin mengembangkan dua sifat ini, kita harus mulai sejak dini dengan cara yang suci dan mulia. Dewasa ini orang baru melaksanakan kegiatan spiritual setelah mencapai usia tua, setelah sepenuhnya mereka menikmati benda-benda yang mewah, dan setelah muak serta bosan dengan semua kesenangan duniawi, barulah mereka mempertimbangkan untuk mulai menempuh jalan spiritual. Setelah melewatkan hidup mereka dengan perkiraan bahwa ada kebahagiaan sejati pada obyek-obyek indra, pada kehidupan keluarga, pada anak-anak, pada harta kekayaan, dan pada nama dan kemasyuran, mereka akan menemui kekecewaan pada hari tua mereka.
Mereka akan menyadari bahwa tidak ada kebenaran pada benda-benda ini dan kedamaian batin serta kebahagiaan abadi tidak datang dari dunia yang kasat mata atau usaha-usaha mengejar obyek-obyek duniawi. Maka setelah dihantui oleh kekosongan pengalaman mereka dan senja kehidupan mulai menjelang, mereka melakukan kegiatan spiritual.
Sebelum masa tua itu datang, sebelum kelemahan fisik dan mental itu datang, maka berpikir dan bertindaklah sekarang juga. Jalinlah dan laksanakan Tri Hita Karana pada proporsi yang selayaknya. Begitu juga hubungan antar umat beragama juga jangan dilupakan. Lakukanlah melalui kegiatan kegiatan yang berkaitan dengan hal yang dimaksud.
Demikian, semoga berguna.
Om Santih, Santih, Santih, Om

Mendidik Anak Adalah Investasi Citra Diri
 





oleh: Wayan Catra Yasa (wayan@id.beyonics.com), 26 Desember 2005
Om Swastyastu,
Hal yang paling penting dalam mendidik anak adalah pendidikan agama dan budi pekerti. Jika kita telah menanamkan kedua poros pendidikan ini maka kita akan memetik hasil investasi citra diri di masa yang akan datang. Kita akan merasakan kebahagiaan dan kedamaian di usia sore nanti. Betapa tidak, kita akan melihat keberhasilan anak-anak sebagai anak yang suputra yang jelas tahu dengan kewajiban sebagai anak, pewaris tahkta agama Hindu dan peduli terhadap kedua orang tuanya.
Bagaimanapun juga anak merupakan harapan setiap keluarga dan orang tua. Kita mendapat kesempatan memperoleh karunia Tuhan Yang Maha Kuasa berupa kelahiran anak, tidak boleh disia siakan, apalagi tidak memberikan pendidikan sama sekali. Dan jangan pula salah langkah, mentang mentang secara lahiriah anak telah mendapat pendidikan di sekolah elit dan mahal, kemudian kita tidak mengantarkan anak-anak ke dalam lingkungan sekolah agam Hindu dan budi pekerti. Sungguh sia-sia pendidikan seperti itu, karena pendidikan seperti itu akan menjadikan anak-anak penuh berlogika dengan kaca mata phisik saja. Bisa jadi setelah besar dia akan memberikan kita uang sesuai dengan kebutuhan tanpa ada sentuhan kasih sayang kepada orang tuanya.
Sejak perkawinan ketika bayi masih berada dalam kandungan seseorang istri, suami dan seluruh keluarga mengharapkan lahirnya Putra yang suputra. “ Putra suputra sadhu gunawan mamadangi kula wandhu wandhawa”, anak yang berbudi luhur, prilakunya baik, bakatnya menonjol, menjadi terang keluarga dan masyarakat. Seorang anak yang berbudi pekerti luhur disebutkan dapat mengangkat harkat dan martabat orang tuanya dan seluruh keluarganya.
Secara kodrati, pendidikan anak sangat mendapatkan perhatian dari ibu dan bapaknya, miskin sekalipun, kedua orang tua ingin memberikan pendidikan sekolah yang terbaik. Dalam kitab suci Weda dinyatakan anak yang berbudi pekerti dan seorang bapak yang penuh pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan kemanusiaan. Oleh karena itu pendidikan terhadap anak, khususnya pendidikan bagi calon ibu atau seorang anak wanita sangatlah mutlak.
Keberhasilan meniti karier, profesionalismenya seorang anak tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan pendidikan, khususnya pedidikan agama dan budhi pekerti yang diberikan oleh orang tuanya. Keteladanan orang tua, motivasi dan kemampuan seorang anak untuk mengembangkan karakter atau kepribadiannya sangat ditentukan oleh keberhasilan menanmkan dan menumbuh-kembangkan pendidikan budhi pekerti kepada anak.
Bagaimana melaksanakan pendidikan budhi pekerti yang baik, diupayakan referensi, pengetahuan dan pengalaman orang tua untuk memahami karakter anak, disamping keteladanan orang tua, guru dan tokoh masyarakat, diperlukan juga suasana yang menunjang untuk hal tersebut. Suasana tersebut dapat diciptakan dalam keluarga, dalam lingkungan sekolah dan dalam lingkungan pergaulan di masyarakat.
Demikian, semoga berguna.
Om Santih, Santih, Santih, Om 

Akur
 





oleh: Nengah Santa (nengahsanta@yahoo.com), 25 Agustus 2005
Akur bisa dikatakan ada dua tipe yaitu akur ke dalam dan akur ke luar. Akur ke dalam artinya bisa akur dengan Sang Jati Diri (atman) yang selalu setia mendampingi setiap orang. Sedangkan akur ke luar adalah akur dengan orang lain dan juga dengan lingkungan sekitar.
Kedua akur ini berhubungan erat. Akur ke dalam bisa mempengaruhi akur ke luar. Demikian juga akur keluar bisa mempengaruhi akur ke dalam. Namun kejadian ini tidak mutlak berlaku demikian. Ada orang yang tidak akur di dalam, namun masih bisa menjaga keakuran di luar. Demikian juga ada orang yang tidak akur diluar tapi masih bisa mengendalikan akur di dalam.
Sepintas saya coba menelusuri bagaimana prilaku hewan peliharaan terhadap kata “akur”. Coba diamati satu contoh hewan peliharaan, kambing. Sejenak pikiran saya dikelabui oleh prilakunya untuk mengatakan bahwa ada kemiripan prilaku hewan dan manusia untuk kondisi akur. Kambing akan selalu berteriak (embek..yang lantang) bertanda dia sudah tidak akur keluar. Ini bertanda kambing itu sudah berada pada kondisi lapar. Teriakannya untuk minta makan kepada sang majikan yang setia memeliharanya. Manusia juga kadang demikian. Jika sudah lapar yang di dalam, maka cendrung untuk tidak akur ke luar, mungkin bisa di tuangkan dalam bentuk marah misalnya.
Terkait dengan kata akur, di pemerintahan Indonesia juga sama, mulai dari tingkat desa hingga ketingkat pemerintah pusat. Prilakunya sering tidak akur untuk melayani masyarakat. Akhirnya para preman dan pengusaha jika berhubugan dengan pemerintah selalu berusaha meredam agar pemerintah tersebut selalu bisa akur sehingga tujuannya bisa terpenuhi. Yang penting baginya semua lancar. Para preman dan pengusaha sebagian besar melakukan dengan tiga cara. Pertama, mereka kepalkan tangan kanannya , kemudian buka jempolnya bertanda mereka memuji pemeritahan tersebut. ”Good!, Good!”, demikian mereka memuji sambil mengeluarkan jempol kanannya. Ada sebagian orang yang duduk dipemerintahan jika sudah diberi jurus pertama ini sudah langsung takluk. Untuk yang masih tidak bisa ditaklukkan maka keluar jurus kedua. Setelah mengepalkan tangan, membuka jempol ,kemudian dia buka jari telunjuknya dan jari telunjuk dan jempol digesekkan. Jadinya berbunyi uang. Artinya mereka siap menyuap uang agar bisa mengakurkan pemerintahan tersebut. Prilaku ini sedang banyak bergentayangan. Preman dan pengusaha oke-oke saja asal apa tujuannya terpenuhi. Ada juga pemerintah yang sudah dipuji dan disuap masih juga tidak akur. Akhirnya para preman dan pengusaha mengeluarkan jurus pamungkasnya dengan menggabungkan jempol, jari telunjuk dan jari tengah, sehingga berbunyi kencan. Mereka bisa menyuguhkan cewek ataupun juga bisa cowok (jika orang di pemerintah itu seorang cewek).
Semua prilaku diatas tidak bisa disamakan terhadap semua manusia. Dan juga tidaklah mesti disimpulkan demikian. Banyak juga orang menghadapi kondisi tidak akur. Orang ini prilakunya biasa saja. Orang melihatnya seperti tidak ada masalah pada dirinya. Kenapa orang ini bisa mengendalikan diri agar tetap akur? Ada beberapa hal yang larut dalam pengamatan saya.
Pertama, mereka itu sudah terbiasa dengan kata prihatin. Ini juga mempengaruhi untuk tetap akur ke dalam dan juga ke luar. Mereka sudah biasa dengan hidup prihatin. Yang penting baginya bagaimana untuk tetap menjaga kelangsungan hidupnya. Mereka sudah bisa bersyukur bisa makan seadanya, minimal dia sudah bisa bertahan untuk hidup.
Yang kedua, mereka itu selalu lengket dengan kata syukur. Setiap apa yang dilakukan, apa yang dihasilkan selalu berakhir dengan kata syukur. Jadinya, mereka seolah-olah tidak pernah merasa kekurangan. Kalau sudah tidak pernah merasa kekurangan sudah pasti akan bisa mengendalikan akur ke dalam dan juga akur ke luar.
Yang ketiga adalah mereka itu sudah mulai bisa meminimalkan terhadap kemelekatan duniawi. Saya tidak bisa mengatakan terbebaskan. Dengan meminimalkan kemelekatan duniawinya, mereka bisa untuk tetap stabil, tidak pernah terpengaruhi dan akhirnya tetap akur ke dalam dan akur ke luar.
Ke empat, mereka bisa memandang bahwa manusia itu diciptakan sama, hanya perannya yang berbeda. Yang penting baginya bagaimana menjalankan peran tersebut dengan baik. Kalau sudah bisa menjalankan dengan baik akan selalu bisa akur ke dalam dan juga akur ke luar. Walaupun mereka sebagai seorang miskin misalnya, mereka tetap jalankan peran tersebut sebagai orang miskin yang baik. Bagaimana mereka menjadi orang miskin yang baik? Mereka tetap bekerja keras ,walaupun dengan hasil yang minimal. Intinya ada yang dikerjakannya dilakukan dengan semangat dan tulus. Demikian juga dengan peran orang kaya, mereka jalankan peran sebagai orang kaya yang tidak serakah dan selalu mau membantu yang kekurangan.
Jika pemerintah dalam melayani masyarakat menerapkan ke empat rumus diatas (prihatin, syukur, meminimalkan kemelekatan duniawi dan menjalani peran dengan baik), maka pasti akan akur-akur selalu dan siap melayani masyarakat yang membutuhkannya. Janganlah lagi, pemeritah hanya mau akur jika diberikan jurus pujian, uang, dan kencan. Semoga di pemeritahan ini terwujud pemerintahan yang bersih, berwibawa dan sudah tentu akur-akur selalu!

Purnama dan Tilem
 





oleh: Wayan Catra Yasa (catrayasa_wayan@id.beyonics.com) , 08 September 2005
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Coba perhatikan dan berikan makna kitab Menawa Dharma Sastra V.109
Adhirgatrani sudhyanthi
manah satyena sudhayanti
vidyatapobhyam bhutatma
budhir jnana sudhyanti
Artinya : Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pengetahuan (pelajaran suci dan tapa brata), kecerdasan dibersihkan dengan kebijaksanaan dan pengetahuan yang benar.
Dari sloka di atas secara siklus bahwa hari yang paling dekat perputarannya untuk intropeksi adalah Purnama dan Tilem yang merupakan hari suci bagi umat Hindu, dan yang harus disucikan dan dirayakan melalui penyucian diri, anyekung jnana sudha nirmala dan dianjurkan juga melakukan sembahyang bersama di pura untuk memohon Wara Nugraha dari Hyang Widhi.
Ketahuilah bahwa pada hari Purnama adalah payogaan Hyang Candra sedangkan pada hari Tilem payogaan Hyang Surya. Kedua duanya merupakan kekuatan suci dari Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai pelebur segala mala atau kekotoran yang ada baik di bhuana agung ataupun bhuana alit.
Kondisi bersih secara lahir bathin di dalam kehidupan ini sangat perlu karena di dalam tubuh dan jiwa yang bersih akan muncul pikiran, perkataan dan perbuatan yang bersih pula, sehingga akan senantiasa tercapai kebahagiaan dan kedamaian, lebih-lebih dalam hubungannya dengan pemujaan kepada Hyang Widhi, maka kebersihan secara lahir bathin merupakan syarat mutlak.
Demikian semoga berguna.
Om Santih, Santih, Santih, Om,
Wayan Catra Yasa - Batam

Kadang Titik Lemah Itu Tidak Tampak
 





oleh: Wayan Catra Yasa (catrayasa_wayan@id.beyonics.com) , 26 Agustus 2005
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Bila kita bisa mengubah satu hal saja tentang hidup untuk membuat hidup lebih baik, apa yang menjadi pilhan kita, maka banyak rintangan yang kita temui, dan kendala yang paling berat adalah bahwa kita tidak mengetahui titik lemah yang ada pada diri kita.
Rintangan itu mulai dari hal yang sangat pribadi, rintangan tentang hubungan percintaan, kasih sayang dengan istri, atau menjadi power sindrom tentang masa lalu kelabu dengan mantan pacar. Terus berkembang dengan perjalanan karier, bagaimana hambatan relasi dengan partner kerja, bawahan dan atasan kita.
Coba kita tanyakan kepada mereka tentang kelemahan yang ada pada diri kita dalam kurun waktu tertentu, jawaban apakah yang akan kita dengar dari mereka?
Percayalah, bahwa kita memiliki sedikitnya satu titik lemah, suatu kekurangan, kegelisahan, atau kerentanan yang membuat kita tetap kesandung, tetapi ini bukan patologi atau masalah psikologi yang telah berakar dalam. Sebenarnya orang bersikeras mempertahankan dirinya tidak memiliki titik lemah, atau satu bentuk semu kemunafikan yang tersembunyi, bagaimana caranya titik lemah itu tidak ada. Titik lemah yang tersembunyi bagaikan kotoran kuda yang nampak halus dan licin, bagaimanapun halusnya sebuah kotoran, maka tetap saja bahwa jati dirinya adalah sebuah onggokan sampah yang sudah bau.
Masih banyak orang beranggapan bahwa titik lemah yang tersembunyi disamakan dengan bentuk kesempurnaan sehingga tiada beda antara kelebihan yang dimilikinya. Dengan kemampuan kita untuk membedakan dan mengetahui titik lemah maka akan menjadi karakteristik yang secara terus menerus memasuki jalan kita untuk segera berbenah.
Semua orang perlu menguasai ilmu pengetahuan tentang Sri Krishna demi kepentingannya sendiri. Karena itu apabila Sri Krishna bersabda tentang dirinya, itu mujur bagi seluruh manusia di dunia. Orang jahat mungkin menganggap penjelasan seperti itu dari Sri Krishna sendiri terlihat aneh, sebab mereka selalu mempelajari Sri Krishna dari segi pandangan pribadi mereka.
Hampir semua orang belum pernah mencoba psikoterapi atas titik lemah mereka, sekalipun kita telah menderita beberapa kerentanan yang menghalangi persahabatan intim kita, karier kita dan kepuasan spiritual pribadi. Menemukan atau mencari titik lemah akan menjadikan kita sebuah awal dari perubahan kelemahan menjadi kekuatan.
Titik lemah mengacu kepada bagian diri kita yang merupakan hambatan kita paling besar dan tantangan paling besar yang harus kita berikan solusi penyelesaian dan memberikan pemaknaan kepadanya. Bisa belajar menerima dan belajar dari titik lemah kita, maka hal itu bisa merupakan sumber tenaga, suatu perangsang pada pertumbuhan energi kita, bagian yang esensial dari kemanusiaan.
Demikian semoga berguna.
Om Santih, Santih, Santih, Om,
Wayan Catra Yasa - Batam

Orang Besar
 





oleh: Nengah Santa (nengahsanta@yahoo.com), 26 Agustus 2005
Ada yang menyebut dirinya orang besar. Karena sekarang merasa dirinya sudah besar. Besar dari segi umur. Mereka mengira sudah bisa melakukan semuanya. Masukan dari orang lain dicampakkan begitu saja. Tetangga berteriak dibiarkan meraung-raung. Kenapa sampai begini? Karena dia sudah melihat dirinya sudah besar, sepertinya yang diluar nampak jadi kecil.
Begitulah sekelumit kisah orang yang mengaku sudah besar. Benarkah mereka sudah besar? Apakah orang besar yang sebenarnya diharapkan oleh kebanyakan orang?
Orang besar tapi sudah salah kaprah. Dia sudah menutupi wajahnya dengan penuh kebohongan. Karena sudah ditutupi, maka yang diluar akhirnya dilihat gelap gulita. Diluar tidak ada yang benar menurutnya. Dia akhirnya membabi buta. Segala hal dilakukan sesukanya. Teriakkan orang lain tidak dihiraukan. Bahkan teriakan dari dalam dirinya pun ditanam begitu saja. Dibiarkan bungkam dengan dengan sekelumit kebohongan. Seperti srigala yang siap menerkam lawannya, hak orang lain pun dirampasnya.
Tidak akan pernah ada yang bisa menyadarkannya; kecuali dari dalam dirinya. Satu-satunya kesempatan yang ada adalah saat orang besar tadi mengalami keterpurukan. Hanya yang ini diharapkan untuk melepaskan segala selimut kebohongan yang menutupinya, menghanguskan segala nafsu serakahnya dan membiarkan dia kembali berangkat dari awal.
Saatnya sekarang dia lahir yang kedua kali nya selama hidup ini. Dia kubur jauh-jauh segala kekeliruan yang dilakukan. Mulailah dia menghadap sang jati diri yang tertanam di dalam diri. Dengan duduk bersila, dia memanggilnya dengan suara gayatri.
Ya bangkit, bangkitlah! Sang Jati Diri telah terbangun setelah ditidurkan dengan selimut kebohongan. Dengan duduk bersila, dia menghadap Sang Jati Diri, memohon ampun atas segala kekeliruannya yang telah berakhir dengan penderitaan.
Sang Jati diri meraba dan menatapnya, sambil berkata:” Kamu bisa menjadi orang besar yang sebenarnya, asal kamu bisa membuang kekeliruan mengartikan orang besar selama ini. Orang besar belum tentu orang sekolahan. Orang besar belum tentu orang berumur. Orang besar adalah orang yang bisa berjiwa besar.”
Dia terperangap mendengar penuturan Sang Jati Diri. Sepertinya dia baru tahu apa yang dilakukannya sudah keliru. Dia menyadari tidak mau terulang kekeliruan lagi. Maka dia pun mempertanyakan lagi kepada Sang Jati Diri:” Apa yang saya lakukan agar bisa berjiwa besar untuk tidak keliru yang kesekian kalinya?”
“Mulailah terbuka dengan orang lain untuk mau menerima saran orang lain. Karena sebenarnya orang lain telah menyadarkan dirimu agar tidak terjerumus kedalam lubang kehancuran. Gunakanlah selimut kejujuran agar bisa menghangatkan Sang Jati Diri. Belajarnya untuk selalu bertanggung jawab terhadap segala perbuatan yang dilakukan. Sadari segala resiko yang akan terjadi agar tidak terjebak pada ranjau penderitaan. Selalu belajar lebih peka terhadap diri sendiri, keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dan selalulah ingat untuk menghadap kepadaKu”, demikian Sang Jati Diri menasehatinya.
Setelah mendengar nasehat tersebut, raut mukanya sekejap berubah bertanda dia segera bangkit kembali. Nampak sinar dari raut mukanya. Dia pandang jauh ke depan, seperti ada jalan yang telah menuntunnya. “Terima kasih, terima kasih”, ucapnya dalam hati.


Siapa Takut ?
 





oleh: Nengah Santa (nengahsanta@yahoo.com), 26 Agustus 2005
“Siapa takut?” telah menjadi ungkapan yang memasyarakat berkat tayangan telivisi yang menyiarkan iklan samphoo. Ini berimbas sampai ke anak-anak; jika ada yang menakut-nakuti, dengan cepat mereka akan bilang: “siapa takut?”.
Kepada para orang tua, jangan dibiasakan menakut-nakuti anak, karena akan merusak mentalnya. Biarkan mereka berkembang untuk menumbuhkan keberaniannya. Rasa takut harus dilenyapkan dengan melatih keberanian. Keberanian yang tumbuh akan mendorong keyakinan diri. Keyakinan diri yang baik akan membentuknya menjadi seorang yang mandiri dan kelak setelah dewasa akan menjadi modal yang baik untuk bersaing dengan masyarakat global.
Dalam Yajurweda VI.35 sangat jelas dituliskan:
Ma bher ma samvikthah, urjam dhatsva.
“Wahai umat manusia, janganlah takut ataupun gentar, beranilah”
Ketakutan akan muncul didalam diri karena dirinya terasa kosong. Badannya seperti berjalan sendiri tanpa ada yang menuntun dan melindunginya. Kekosongan dalam dirinya akan timbul karena telah menjauhkan dirinya dari Sang Aku yang bersemayam didalam diri.
Oleh karenanya, selalulah ingat kepada Sang Aku (atman) yang selalu setia melindungi kita kemana dan dimana kita berada. Atman sering disebut suksma sarira, badan halus manusia yang berasal dari Paratman atau Brahman (Tuhan Yang Maha Esa). Atman ini mempunyai kekuatan menghidupkan semua makhluk dan memiliki sifat dapat mengenal, memiliki kemauan dan dapat bereaksi.
Itulah Taksu di dalam diri yang harus dibangkitkan dengan selalu melantunkan doa Gayatri Mantra secara rutin minimal dua kali sehari. Bahkan setiap saat jika sedang menghadapi sesuatu cukup melantumkan doa Gayatri Mantra tersebut untuk memohon perlindungan dan bimbingannya.


Manfaat Bermental Positif
 





oleh: Wayan Catra Yasa (ecatrayasa_wayan@id.beyonics.com) , 02 Agustus 2005
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Kadang dalam kehidupan ini kita menemui kesulitan untuk membedakan mana yang disebut dengan mental negatif atau mana juga yang disebut dengan sikap mental positif. Keduanya ada dalam sikap dan tingkah laku kita sehari-hari. Hanya sedikit dari kita mampu untuk menanamkan sifat mental positif meskipun dalam situasi yang sangat sulit, mereka itu adalah orang orang yang telah mampu menciptakan konsep keseimbangan dalam dirinya.
Tuntunan ajaran Hindu sangat sarat dan penuh makna dengan konsep keseimbangan, untuk itu terapkanlah ajaran itu dalam kehidupan sehari hari, jangan pernah berpaling akibat bujuk rayu dan jaminan masuk sorga oleh orang lain, atau tenggelam dalam dunia materi sesaat.
Setiap situasi harus dihadapi, dan kita harus memberikan nilai kontribusi berupa reaksi terhadap suatu situasi. Perlu disadari bahwa situasi itu adalah ciptaan Tuhan dan merupakan suatu kenyataan yang harus dihadapi. Apakah hasilnya positif, netral, atau negatif, tergantung pada reaksi kita. Di sinilah ada kesempatan untuk menunjukan bahwa kita berada dalam jalan dharma, jangan terkontaminasi pada iklan yang ditimbulkan oleh pikiran atau adanya kontaminasi pengaruh dari luar.
Sikap mental kita akan menentukan reaksi kita terhadap situasi yang sedang kita hadapi. Kita bertindak mendukung atau tidak mendukung, konstruktif atau destruktif, positif atau negatif, semuanya ditentukan oleh sikap mental atau attidute kita. Percayalah bahwa sikap mental yang kita tunjukan akan menentukan keberhasilan kita.
Umat manusia yang berpikir positif selain dinamakan sebagai orang yang bermental positif atau positif thingking, juga dinamakan kelompok orang yang optimis dalam menjalani kehidupannya. Pemikiran yang positif akan mendorong orang menggunakan kemampuannya dan membuat kegiatan usahanya lebih produktif. Secara empirisme dan sejarah telah membuktikan, bahwa tidak orang yang sukses kalau tidak bermental positif. Setiap orang sukses pasti selalu bersikap mental positif.
Hidup in hanya masalah pilihan saja, bila kita memilih untuk bersikap mental positif selamanya, maka hidup kita akan lebih sehat, lebih awet muda, lebih panjang umur, lebih makmur, lebih sukses, dan lebih bahagia penuh damai daripada kita memilih untuk bersikap mental negatif.
Dengan bersikap mental positif, kita akan percaya dengan apa yang sedang kita kerjakan dan kemampuan kita secara realitis, sehingga membuat kita menjadi berhasil dalam mewujudkan sasaran-sasaran, tujuan-tujuan dan misi kehidupan kita sebagai manusia.
Demikian semoga berguna.

Om Santih, Santih, Santih, Om,
Wayan Catra Yasa - Batam

Menanam Benih Kejujuran
 





oleh: Nengah Santa (nengahsanta@yahoo.com), 20 Agustus 2005
Suatu ketika diadakan sebuah lomba menggambar di sebuah sekolah minggu. Perlombaan ini merupakan perwakilan dari masing–masing 5 wilayah yang ada. Sebutlah nama anak tersebut yang berhak mewakili masing-masing wilayahnya: Bejo, Kaler, Putri, Diah dan Pandu. Tidak tanggung-tanggung, perlombaan kali ini memperebutkan juara satu saja dan berhak untuk menginap bersama orang tuannya di sebuah hotel berbintang. Hadiahnya dipersembahkan oleh sebuah lembaga pengembangan anak international. Anak cukup menggambar sebuah pemandangan di rumah masing-masing dan kemudian diserahkan ke panitia lomba.
Karuan saja, iming-iming hadiah tersebut membuat orang tua anak tersebut berkeinginan memenangkan hadiah yang disediakan. ”Sini Nak Putri, biar Papa yang membuatkan gambar pemandangan! Papa akan buatkan gambar pemandangan yang paling bagus, agar bisa juara! Kalo juara kan bisa nginap sekeluarga di hotel berbintang tersebut. Ini kesempatan, jangan disia-siakan. Bayangkan, seumur-umur papa ngak bakalan bisa ke hotel berbintang tersebut. Gaji papa ngak cukup disisihkan untuk menginap di hotel berbintang yang sangat mahal tersebut” Ujar orang tua Putri meyakinkan anaknya. Putri hanya terdiam, dan hanya bisa menuruti kehendak orang tuanya. Pencil, pewarna dan kertas gambar yang telah disiapkan diserahkan ke orang tuanya.
Tiba pada hari pengumpulan gambar, sekaligus pengumuman dan penilaian gambarnya. Kelima gambar yang tampil memberi corak yang berbeda. Nampak gambar Putri yang paling bagus; gambar yang paling jelek adalah gambar Bejo. Gambarnya sangat polos, sesuai dengan bakatnya. Tim juri menetapkan kepada Putri sebagai pemenang dan berhak untuk menikmati hadiah yang diraihnya, menginap di hotel berbintang bersama orang tuanya. Orang tua Kaler, Diah dan Pandu tidak puas; mereka mengeluhkan, kenapa Putri sebagai pemenang. “Mana mungkin seorang Putri baru kelas satu SD bisa menggambar seindah itu”, Keluh mereka. Protes mereka tidak dihiraukan oleh panitia, karena kriterianya saat itu ditekankan kepada keindahan. Tidak ada kriteria lainnya.
Tahun berikutnya, diselenggarakan lomba yang sama. Ketiga orang tua yang tidak puas tersebut, ingin anaknya bisa sebagai pemenang. Orang tuanya pun ikut terlibat membantu menggambar, karena tidak mau kecolongan seperti gambar Putri. Bahkan salah satu orang tua tersebut menyuruh ke tukang gambar untuk mendapatkan gambar yang paling bagus. Bejo tak mau ketinggalan untuk merayu orang tuanya. ”Pak, buatkan gambar buat Bejo, biar Bagus, seperti gambar Putri dulu. Kalo menang kan bisa sama-sama nginap di hotel berbintang!” Bapak Bejo terdiam, dan hanya menyuruh kepada Bejo yang menggambar. Bejo pun tidak bisa berbuat apa-apa, dan hanya menggambar sesuai dengan kemampuannya. Bapak Bejo hanya mengawasi dari kejauhan sambil baca koran.
Semua gambar sudah siap dikumpulkan. Juri mulai menyeleksi satu per satu. Terpilih kemudian, gambar Bejo yang menjadi pemenang. Kali ini ke empat orang tua murid lainnya protes.” Kenapa kok gambar Bejo yang juara? Gambar jelek kok bisa menjadi juara?”, Demikian keluh mereka. Protes mereka tidak dihiraukan lagi oleh panitia, karena kriterianya saat ini sudah dirubah dan ditekankan kepada kejujuran. Tidak ada kriteria lainnya.
Menanam benih kejujuran harus dilakukan dalam praktek kehidupan sehari-hari dan dilakukan sejak dini. Orang tua yang terbiasa menanam benih kebohongan kepada anaknya, maka setelah besar akan membuahkan buah kepalsuan, baik itu dalam bentuk korupsi atau pun kejahatan lainnya. Jadi untuk membentuk generasi mendatang yang tangguh dan bermoral, harus melalui benih yang bagus. Salah satunya benih kejujuran!


Menerapkan Kesadaran Spiritual dengan Model Quality Manajemen System
 





oleh: Si Putu Sumardhaya (email ada di redaksi) , 17 Juni 2005

Tingkat kesuksesan kalau diukur dari pemahaman para dharma sangat mudah kita tetapkan. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dengan bisa memiliki mobil hari ini, kita mengatakan diri kita sukes. Diangkat menjadi Superintendent dari seorang supervisor kita menjadi bangga bahwa kita suskes dalam dunia karir. Memiliki rumah mewah setelah pindah dari rumah RS, mungkin kita mengatakan kita adalah istri atau suami idaman. Demikian juga dengan kesuksesan kesuksesan yang lain, yang begitu membuat kita terkesan. Kita bangga, kita kagum dan senang dengan kesuksesan tersebut karena ada pengakuan yang bisa diukur, dilihat dan dirasakan oleh orang lain.
Kalau kita berjalan di jalan dharma, jalan penuh keheningan yang mungkin hanya Sang Diri saja yang dapat merasakannnya. Bisakah kita menjawab seberapa sukseskah kita dalam kehidupan spiritual kita. Karena topik ini hanya ada dalam dunia keheningan, pertanyaan ini akan sangat sulit dijawab. Sebagian dari kita tidak akan memusingkannya karena mungkin topic ini tidak penting. Tapi bagi teman teman yang tekun menjalani Dunia spiritual, tingkatan spiritual akan menjadi suatu yang penting. Penting karena memang bukan untuk dibanggakan, bukan untuk dipamerkan, tetapi tingkatan itu penting karena merupakan tingkatan sejauh mana sang diri bisa menerjemahkan diri ke dalam gambaran utuh yang bernama Atman.
Bagaimanakah agar kita dapat merasakan kesadaran spiritual kita tersebut? Kuncinya adalah kita mesti belajar memiliki Sistem spiritual yang merupakan sistem yang menyeluruh dan selalu menuju kesadaran Braman itu sendiri. Dikatakan utuh karena kita harus memiliki kesadaran yang Fokus akan brahman, menjadikan sang Atman sebagai pengetahuan, Jalan Spiritual sebagai Media dan Meditasi sebagai alat evaluasi diri.
1.Kesadaran yang Berfokus Kepada Brahman

Pada tahap ini, seseorang yang mengembangkan kecerdasan spiritualnya harus mempunyai visi dengan fokus pada pelanggan dengan bahasa spiritual dinamakan Brahman. Penyebutan bahasa tidak akan masalah sepanjang sentral pikiran kita adalah Sang Pencipta itu sendiri. Kalau kecerdasan spiritual kita telah difokuskan pada Brahman ini, maka bentuklah sebuah rangkaian kata-kata apa yang mesti kita lakukan dengan pelanggan kita yang bernama Brahman.
Visi ini akan ditentukan oleh pengetahuan empiris kita selama ini. Sebagian yang baru pada tingkatan Anumana Pramana bisa mengembangkan Visi: “Mengetahui arti dan makna Brahman dengan mempelajari kitab suci Weda”. Bagi yang sudah sampai pada tingkatan pratyaksa pramana mungkin visinya adalah: “Membangkinkan Kesadaran diri untuk dapat meilhat sang Brahman”.
Jadi apapun visi tersebut, sepanjang didasari oleh kesadaran Brahman atau bukan dilandasi oleh Para Dharma, adalah bersifat positif. Bisa saja visi tersebut ditulis dalam bahasa yang singkat seperti “Menjadi Pelayan sesama yang baik”. Berikanlah sebagian kecerdasan pikiran kita untuk memikirkan hal-hal yang bukan dilandasi oleh para Dharma.
Setelah memiliki visi spiritual, pertanyaan selanjutnya adalah: Kapankah hal tersebut akan dicapai? Aduh, pertanyaannya menjadi semakin sulit. Disinilah sulitnya dan titik kritisnya kalau kita mau mengukur tingkat spiritual kita. Bagi yang mempunyai keberanian spritual akan sangat mudah menetapkan visi tersebut. Katakanlah visi yang sederhana: “Saya tidak akan berbohong di tahun 2005” atau lebih sederhana lagi: “Saya tidak akan marah di tahun 2005”.
Jadi diperlukan keberanian spiritual untuk menetapkan target spiritual kita. Mungkinkah? Jawabnya sangat mungkin sekali karena kesadaran tersebut sebenarnya sudah melekat pada sang diri. Yang sulit adalah melatih dan mengembangkan kesadaran tersebut. Debu-debu kegelapanlah yang menutupinya sehingga kita dibutakan olehnya. Bahwa sebenarnya ada sinar ilahi dari Hyang Widhi yang mengalir dalam Sang Diri namun tidak tampak karena kegelapan itu sendiri. Kebodohan kita selama inilah yang kita banggakan. Bukankan kegelapan dan kebodohan tersebut menjadi ganjalan dalam keseimbangan jiwa kita ? Bila ya kenapa mesti dipertahankan? Jadi menetapkan visi, objektif dan target spiritual kita sangatlah menguntungkan bukan?
Mudah-mudahan di awal tahun Caka kemarin banyak diantara kita yang sudah menetapkan visi, misi, objektif dan target spiritualnya di tahun ini. Apabila ada, maka mudah-mudahan tidak lupa dan diingatkan oleh tulisan ini. Bagi teman-teman yang berjalan di dunia kejernihan, semoga tulisan ini menjadi system yang menarik untuk awal menentukan tingkat spiritual kita.
Jadi, apa visi, misi, objektif dan target spiritual anda hari ini ?

(Bersambung)

Sebutan Nama Tuhan Banyak, Bukan Tuhan yang Banyak
 





oleh: Wayan Catra Yasa (catrayasa_wayan@id.beyonics.com) , 20 Mei 2005

Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Selentingan bahwa Hindu menyembah banyak Tuhan bagi orang awam harus dijelaskan sesuai dengan kehidupan sehari hari. Orang selalu memojokan Hindu ke dalam hal yang bernada negatif ketimbang yang positifnya. Mari kita coba jelaskan
Sebut saja seseorang yang bernama pak Jaka. Jabatan dalam pemerintahan adalah seorang Direktur, oleh karena itu semua pegawai bawahannya memanggil dengan sebutan Pak Direktur, tetapi Pak Jaka ini juga menjadi rektor di sebuah Perguruan Tinggi, sehingga semua mahasiswanya memanggilnya dengan nama Pak Rektor, disamping itu sebagai manusia yang wajar, Pak Jaka juga sebagai seorang suami yang baik karena dia punya istri dan anak. Si istri memanggilnya dengan sebutan papa, sedangkan anak-anaknya memanggil ayah.
Dengan demikian Pak Jaka mempunyai banyak nama, setiap nama yang dipakainya itu benar dalam kaitan dengan fungsinya masing-masing. Dalam fungsinya sebagai pemimpin Universitas, nama Rektor itu benar, tetapi anak anaknya sendiri tak pernah memanggil dengan sebuatan Rektor. Apakah nama yang banyak ini berarti bahwa orangnya juga banyak? Ternyata orangnya itu hanya satu yaitu Pak Jaka sendiri.
Jadi nama ini erat kaitannya dengan fungsi atau tugas. Demikian pulalah Tuhan/Hyang Widhi, beliau disebut Brahma pada waktu menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Beliau disebut Wisnu pada waktu beliau memelihara semua ciptaanNya dengan penuh cinta kasih, dan begitu pula beliau disebut Siwa pada waktu mengembalikan segala ciptaan beliau itu ke asalnya.
Pak Jaka memang tidak sama dengan Tuhan, namun dalam ilustrasi di atas, jelas Hindu bukan menyembah banyak Tuhan, tetapi hanya satu Tuhan yang patut disembah, orang -orang bijaksana menyebut dengan banyak nama.
Demikian, semoga berguna
Namaste


Keagungan Aksara "OM"
 




oleh: Wayan Catra Yasa (catrayasa_wayan@id.beyonics.com) , 20 Mei 2005
Om Swastyastu,
Umat Se-Dharma Yang Berbahagia,
Bagi umat Hindu, aksara ini tidak asing dan selalu digunakan untuk memulai apakah itu salam sehari-hari, sembahyang, berdoa, yoga dan meditasi serta kegiatan spiritual. Mengapa Om selalu dipakai mendahului semua di atas?
Jawabannya adalah aksara OM merupakan Pranawa Mantra. Om adalah asal mula penciptaan, Om adalah Primeval sound, berdasarkan seluruh hirarki ciptaan Tuhan yang tersusun rapi.
Om merupakan bija Mantra atau Bija Suara Spiritual. Dalam keadaan hidup sehari hari, kita mengekspresikan perhatian kita dengan berfokus pada niat atau kehendak. Dalam menjalani kehidupan spiritualtas, kita bermeditasi dengan berfokus pada mata ketiga yang terletak di atas dari titik diantara kedua alis mata. Titik energi ini dinamakan ajna cakra. Dan titik ini adalah lokasi dari Bija Mantra : OM ( A......... U...............M)
Tat kala kita mengucapkan Bhargo Devasya .........., kita sebenarnya melakukan invokal spiritual , mengundang kehadiran semua makhluk yang telah mencapai pencerahan atau yang telah memakai nada yoga OM ini. Kita memohon dengan sangat seluruh kekuatan kesadaran yang bermanifestasi di Jagad Raya semesta untuk membantu kita dalam perjalanan untuk mendapatkan pencerahan spiritual.
Ada tingkatan-tingkatan pencerahan yang diwakili oleh daerah jangkauan uang individual. Sekarang kita minta bantuan mereka dalam pencapaian tujuan yang maha tinggi ini.
Demikian, semoga berguna
Namaste